Demokrasi bisa mati karena kudeta-atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter. Disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total pada oposisi. Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia, dan kita semua mesti mengerti bagaimana cara menghentikannya.
Sangat menarik membaca buku Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die) karya Profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dari Harvard. Buku ini sekaligus merefleksikan atas apa yang terjadi selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang lahir dari hasil pemilu. Di masa kepemimpinannya, langkah-langkah mundur dilakukan sedikit demi sedikit dan terkesan legal. Bahkan pergeseran ke otoriterianisme tak membuat alarm berbunyi. Kita terlambat menyadari bahwa demokrasi sedang dipreteli, dan di hadapkan para situasi baru; menyambut pasangan terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang lahir dari sebuah brutalitas pemilihan umum 2024.
Bahan rujukan kajian utama buku ini adalah sejarah panjang demokrasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS), dengan beberapa perbandingan dinamika demokrasi di Eropa dan Amerika Latin, serta bertepatan dengan dua tahun kepemimpinan Presiden Donald Trump (2017–2021). Sebagai pengantar, penulis memunculkan kekhawatiran akan sepak terjang Donald Trump terhadap demokrasi AS yang selama ini diyakini sebagai salah satu bentuk demokrasi liberal terbaik dan teruji di dunia (lihat Bab 8).
Sebagai sebuah sistem yang selalu dianggap rapuh, namun dengan bermodalkan kredo kebebasan dan kesetaraan, ditopang kelas menengah kuat, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang tinggi serta kuatnya peran swasta dalam perekonomian, penulis masih berkeyakinan bahwa kehancuran demokrasi yang terjadi di negara-negara lain tak akan pernah terjadi di Negeri Paman Sam itu.
Dalam kata pengantarnya penulis menyatakan bahwa pembunuhan atau ancaman terhadap demokrasi yang terjadi saat ini tidak lagi dengan menggunakan cara-cara militeristik, seperti halnya yang terjadi di Chile pada 1973 atau di Korea Selatan pada 1979. Ancaman itu justru dilakukan kaum sipil tanpa persenjataan sama sekali. Kurang dramatis tapi sama destruktifnya, jelasnya. Demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal, melainkan di tangan pemimpin terpilih―presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan. Pemerintahan-pemerintahan populis telah menyerang lembaga-lembaga demokrasi di Hungaria, Turki, dan Polandia, demikian penulis menyebutnya. Para politikus AS sekarang memperlakukan pesaing sebagai musuh, mengintimidasi pers bebas, dan mengancam akan menolak hasil pemilihan umum.
Bagaimana pemimpin otoriter terpilih merusak demokrasi, bisa dilakukan dengan sekali pukul atau perlahan (halaman 60). Tanpa mengembangkan sikap toleransi terhadap pesaing serta menahan diri secara kelembagaan, maka nilai-nilai demokrasi akan mengalami ancaman.
Dalam konteks perpolitikan di Indonesia, apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan merangkul sekaligus memasukkan pesaingnya (Prabowo Subianto) sebagai bagian dari pemerintahannya (mangku, istilah Jawanya) merupakan salah satu taktik untuk mematikan oposisi. Ini proses mematikan demokrasi yang tidak segera disadari oleh rakyat. Berlindung di balik topeng kearifan lokal, Jokowi sebagai pemimpin populis yang terpilih lewat demokrasi telah membajak proses demokrasi itu sendiri.
Bagaimana demokrasi yang rapuh bisa melahirkan seorang pemimpin populis, yang pada akhirnya mematikan pelembagaan demokrasi itu sendiri. Sebagai lembaga penjaga dan pemelihara demokrasi, peran partai politik dalam meminimalisir kemungkinan lahirnya pemimpin otoriter dimulai dari proses seleksi calon pemimpin tertinggi sebuah negara, yang dalam buku ini disebut sebagai Persekutuan Penentu Nasib (Bab I).
Dalam Bab II tentang Menjaga Gerbang Demokrasi, penulis menjelaskan ada dua peran partai dalam sebuah negara demokratis yaitu peran demokratis, peran untuk memilih calon pemimpin yang paling baik untuk mewakili pemilih, serta peran penyeleksi untuk menyisihkan para calon pemimpin yang lemah keimanannya terhadap demokrasi.
Akhirnya, dalam konteks keindonesiaan, kita akan menyongsong kolaborasi calon pemimpin yang dihasilkan oleh sebuah mekanisme pemilu brutal yang menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk memimpin Indonesia ke depan.
Warisan kekuasaan Jokowi yang diserahkan kepada calon pasangan terpilih bukanlah warisan kekuasaan dalam bentuk kue ekonomi yang gemuk dan lezat untuk dinikmati bersama. Tercatat per Agustus 2024 utang Indonesia mencapai lebih dari Rp 8.461 triliun atau setara dengan 38,6 persen dari PDB. Sementara pada akhir masa kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode kedua utang Indonesia sebesar Rp 292 triliun atau setara dengan 34,68 persen PDB.
Menurut Katadata, dalam rentang kurun waktu 2003 hingga 2018 terjadi kenaikan jumlah kelas menengah dari 5 persen menjadi 23 persen. Namun tren kenaikan tersebut berubah sejak 2018 hingga mencapai 18,8 persen pada 2023. Menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB hanya mencapai 18,3 persen, padahal sebelumnya sampai mencapai 32 persen. Beban ekonomi tersebut adalah warisan yang akan menjadi bekal pemerintahan terpilih lima tahun ke depan.
Selayaknya manusia, bangsa ini masih berkutat dengan beban masa lalu yang belum terselesaikan dan harus diselesaikan. Bangsa ini sudah harus mulai berkompromi dengan masa lalu, bagaimanapun caranya. Apalagi pasangan terpilih adalah pasangan yang bermasalah dengan masa lalu, yang hingga kini masih menjadi kontroversi. Demokrasi itu pekerjaan berat. Bisnis keluarga dan tentara bisa dilakukan secara sepihak, sementara demokrasi butuh perundingan, kompromi dan bagi-bagi (halaman 59).