Langkah Memutus Transmisi Kemiskinan

Untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kita tidak bisa hanya fokus pada apa yang menyebabkan orang miskin saat ini. Kita perlu melihat lebih dalam mengapa kemiskinan seolah menjadi “warisan” dari satu generasi ke generasi berikutnya?

Di sini, kita bertemu dengan konsep yang disebut transmisi kemiskinan atau kemiskinan antargenerasi. Secara sederhana, transmisi kemiskinan adalah proses di mana kondisi kemiskinan, keterbatasan, dan risiko-risiko yang menyertainya berpindah atau “diwariskan” dari satu generasi (orangtua) ke generasi berikutnya (anak). Biasanya, batas minimum kemiskinan antargenerasi ini minimal dua generasi.

Konsep transmisi kemiskinan berusaha menjelaskan mengapa anak yang lahir dan besar di keluarga miskin memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk tetap miskin saat ia dewasa kelak. Ini adalah sebuah “lingkaran setan” yang sulit diputus, di mana kemiskinan seolah menjadi takdir yang diwariskan.

Pertanyaannya: mengapa hal itu bisa terjadi?

Mari berkenalan dengan konsep yang disebut “Kurva Great Gatsby”. Intinya, menurut konsep ini, di negara-negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, kecenderungan kemiskinan untuk diwariskan juga lebih tinggi. Ini seperti lingkaran setan yang saling menguatkan. Semakin banyak orang miskin, semakin besar kemungkinan kemiskinan itu akan diwariskan, yang pada akhirnya akan menambah jumlah orang miskin.

Ini menyadarkan kita bahwa untuk benar-benar bebas dari kemiskinan, kita harus melakukan dua hal sekaligus: mengurangi kemiskinan yang ada sekarang, sambil mencegahnya diwariskan ke generasi mendatang.

Lima penjelasan

Dalam diskusi publik, sering kali muncul tiga model atau teori yang menjelaskan mengapa kemiskinan bisa diturunkan dari orangtua ke anak.

Pertama, model investasi keluarga. Penjelasannya sederhana: keluarga miskin hanya memiliki sumber daya yang terbatas, terutama uang dan pengetahuan, untuk diinvestasikan pada anak-anak mereka.

Karena tak punya uang, keluarga miskin kesulitan membiayai gizi yang baik (berisiko stunting), pendidikan berkualitas (sulit membayar SPP, membeli buku, atau ikut les), dan akses kesehatan yang memadai.

Akibatnya, anak dari keluarga miskin sangat rentan putus sekolah, atau hanya mendapat pendidikan seadanya, sehingga sulit mendapat kesempatan kerja yang lebih baik. Mereka juga terkadang tumbuh dalam kondisi kesehatan yang buruk.

Selain itu, karena harus berjibaku untuk survive, keluarga miskin jarang punya waktu untuk anak-anaknya. Mereka nyaris tidak bisa mendampingi anak belajar, bermain, atau memberikan stimulasi emosional.

Kedua, model sosial-budaya (budaya kemiskinan). Teori ini berpendapat bahwa keluarga miskin memiliki seperangkat nilai dan perilaku (seperti pasrah pada nasib, malas, tidak menghargai waktu) yang terwariskan turun-temurun dan membuat mereka tetap miskin. Namun, sains modern cenderung menolak teori ini, karena perilaku tersebut sering kali merupakan hasil adaptasi terhadap kondisi struktural yang sulit, bukan karena “budaya” yang cacat.

Ketiga, model genetik dan biologis. Pada intinya, teori ini berpendapat bahwa risiko kemiskinan dapat diturunkan dari orangtua ke anak melalui faktor-faktor biologis bawaan atau kondisi fisik yang terbentuk sejak dini. Misalnya, penganut determinisme genetik percaya bahwa gen yang kita warisi dari orangtua menentukan sifat-sifat kunci yang sangat mempengaruhi peluang sukses seseorang dalam hidup.

Yang versi moderat dari teori ini adalah argumentasi transmisi biologis, di mana kondisi biologis seorang anak saat dalam kandungan dan pada masa pertumbuhan awal, seperti stunting, sangat berpengaruh pada perkembangan otak sekaligus peluangnya merengkuh kesempatan kerja yang lebih baik di masa depan.

Namun, teori genetik dan biologis banyak menuai kritikan dan tak didukung oleh bukti ilmiah yang solid. Selain itu, pendekatan ini mengabaikan faktor struktural dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak.

Keempat, model stres keluarga. Teori ini melihat betapa kemiskinan berdampak langsung pada lingkungan emosional di rumah. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti cemas memikirkan cicilan, biaya sekolah, atau sekadar bisa makan besok, sering menyebabkan stres kronis pada orangtua.

Stres ini menguras energi emosional yang seharusnya digunakan untuk pengasuhan yang suportif dan penuh kasih sayang. Stres beracun ini sangat berbahaya bagi perkembangan otak, perilaku, dan emosi anak, yang pada akhirnya mengarah pada risiko kemiskinan yang lebih tinggi saat dewasa.

Orangtua yang lelah dan tertekan mungkin menjadi lebih mudah marah atau menerapkan pola asuh yang keras, bukan karena mereka tidak sayang, tetapi karena mereka kehabisan tenaga secara emosional.

Kelima, model sosial-budaya (jebakan aspirasi). Di model ini diyakini harapan dan cita-cita anak-anak dipengaruhi oleh pengalaman kemiskinan saat masa kecil. Anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan biasanya punya rasa percaya diri dan harga diri yang lebih rendah, serta aspirasi yang lebih sedikit. Hal ini berdampak pada cara mereka mengambil keputusan dan proses berpikir, yang sering kali lebih fokus pada kondisi saat ini saja tanpa banyak merencanakan masa depan. Aspirasi yang rendah ini kemudian mempengaruhi hasil pendidikan dan pekerjaan, sehingga meningkatkan risiko kemiskinan saat mereka dewasa nanti.

Video ilustrasi Bank Dunia tentang dampak ketimpangan ekonomi pada pertumbuhan anak dan kemiskinan antar generasi.

Apa yang harus dilakukan?

Lingkaran setan kemiskinan memang kuat, tapi bukan berarti tidak bisa diputus. Kuncinya adalah beralih dari sekadar “menolong orang miskin” menjadi “membangun jembatan agar anak-anak mereka tidak lagi miskin”. Ini membutuhkan intervensi yang terencana, konsisten, dan menyasar akar masalahnya.

Pertama, intervensi sejak dini. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan sangat penting, mengingat aspek kognitif dan fisik anak sangat penting di fase itu. Misalnya, memastikan ibu hamil mendapatkan gizi yang cukup dan balita tidak mengalami stunting. Juga pemberian suplemen gizi untuk anak-anak di bawah lima tahun, terutama nutrisi makro dan mikro seperti protein tinggi, zat besi, dan vitamin A.

Program makan bergizi di sekolah, terutama di prasekolah dan sekolah dasar, juga penting. Namun, agar program ini tepat sasaran dan benar-benar memperbaiki kualitas gizi anak, program makan bergizi harus dirancang targeting dengan prioritas anak-anak keluarga miskin dan di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).

Selain itu, karena ada faktor stres keluarga, dukungan pengasuhan (parenting support) dalam bentuk pusat-pusat kesehatan maupun komunitas yang membantu setiap keluarga dalam pengasuhan (daycare), ruang bermain, manajemen stres, kesehatan mental, dan lain-lain.

Kedua, memperluas akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Pendidikan merupakan jalan utama untuk membangun manusia, sehingga mereka punya kapabilitas melakukan mobilitas sosial yang lebih baik. Pendidikan membuat orang punya lebih banyak kemampuan, jejaring, dan peluang dalam memperbaiki hidupnya.

Karena itu, pembukaan akses pendidikan seluas-luasnya, misalnya program pendidikan gratis, memungkinkan semua warga negara punya peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan setara. Tidak ada diskriminasi maupun segregasi karena faktor ekonomi.

Ketiga, memperluas kesempatan dan peluang ekonomi. Berdasarkan teori investasi keluarga, ketiadaan sumber daya berkontribusi besar dalam kemiskinan antargenerasi.

Dalam jangka pendek, program bantuan langsung tunai (cash transfer) bisa membantu keluarga miskin untuk survive, sembari berusaha mencari peluang memperbaiki ekonominya.

Namun, dalam jangka panjang, harus ada kebijakan ekonomi yang memperluas kesempatan bagi kaum miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Belajar dari pengalaman negara maju maupun Asia Timur, strategi industrialisasi terbukti menjadi jalan paling efektif untuk memperluas lapangan kerja dan menciptakan banyak peluang ekonomi.

Tiongkok bisa jadi pelajaran berharga. Di negeri berjuluk Tirai Bambu itu, kombinasi antara reforma agraria dan industrialisasi berhasil mengeluarkan 800 juta orang dari kemiskinan.

Selain itu, dukungan terhadap pelaku usaha kecil (UMKM), terutama untuk mengakses permodalan, teknologi, maupun pasar, juga bisa memperluas kesempatan ekonomi bagi kaum miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan.

Selain itu, dukungan dalam bentuk pelatihan kerja, baik reskilling maupun upskilling, sangat penting untuk memastikan setiap warga negara bisa tetap relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan tuntutan kemajuan zaman.

Keempat, mendorong sistem ekonomi dan sosial yang lebih berkeadilan. Dari teori “Kurva Great Gatsby” kita diberitahu bahwa negara yang tingkat kemiskinan dan ketimpangannya tinggi juga punya peluang lebih besar bagi kemiskinan antargenerasi. Namun mengingat kemiskinan seringkali bersifat struktural, maka perombakan sistem ekonomi agar lebih berkeadilan juga harus diperjuangkan.

Ini bisa dimulai dengan mendorong sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, misalnya menggunakan skema pajak progresif. Di samping itu, reforma agraria juga penting untuk meredistribusi kepemilikan dan pengelolaan tanah agar berkeadilan.

Yang juga penting, kebijakan perumahan publik, yang memungkinkan setiap warga negara bisa mengakses tempat tinggal dan lingkungan layak, bisa mengatasi tantangan kemiskinan, seperti persoalan kesehatan, stres, dan beban keuangan yang tinggi (pengeluaran untuk tempat tinggal di Indonesia salah satu yang menyedot separuh atau lebih pendapatan kaum miskin).

Selain itu, investasi untuk memperbaiki infrastruktur dasar dan pelayanan publik juga berkorelasi dalam mendorong inklusi sosial, mengurangi beban ekonomi, dan meredam persoalan-persoalan sosial seperti kriminalitas.

Maka, inilah kesimpulan pamungkasnya. Kemiskinan yang diwariskan bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan sebuah anomali sosial yang harus dilawan secara sistematis. Memutus rantainya menuntut lebih dari sekadar belas kasihan atau bantuan sesaat. Ia menuntut sebuah desain ulang yang radikal—mulai dari menjamin gizi di 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak, membukakan gerbang pendidikan yang benar-benar setara, hingga merombak struktur ekonomi yang memberi setiap keluarga kesempatan untuk bertarung secara adil.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Urgensi Pendekatan Multidimensional terhadap Krisis Kemanusiaan dan Keamanan di Intan Jaya

Urgensi Pendekatan Multidimensional terhadap Krisis Kemanusiaan dan Keamanan di Intan Jaya

Konflik bersenjata berkepanjangan di Intan Jaya, Papua Tengah, telah menimbulkan

Next
Mengunjungi Museum MH Thamrin, Menelusuri Jejak Seorang Pejuang

Mengunjungi Museum MH Thamrin, Menelusuri Jejak Seorang Pejuang

Bagi traveler yang gandrung dengan sejarah, tempat ini seperti kilau permata

You May Also Like
Total
0
Share