Korupsi seperti awan gelap yang menutupi Indonesia. Pada 2023, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang disusun oleh Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara, dengan skor 38.
Dengan skor itu, Indonesia berada di zona merah (perceived as more corrupt). Di Asia Tenggara, Indonesia di bawah Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Timor leste. Di jajaran negara G-20, ekonomi menghuni papan bawah (tiga terkorup).
Dalam gelapnya politik kita akibat korupsi, tentu saja kita butuh inspirasi sebagai sebuah pelita. Inspirasi itu datang dari sosok-sosok yang berani melawan arus, yang tak goyah digoda keinginan menumpuk harta dengan jalan tak halal.
Di masa lalu, kita punya banyak tokoh yang tetap memilih menjadi sosok yang bersih, berintegritas, dan sederhana. Pada mereka kita bisa memetik inspirasi, bahwa bangsa ini bisa bangkit untuk melakukan perang Puputan melawan korupsi.
Inilah kisah tiga tokoh anti-korupsi di Indonesia.
Mohammad Hatta
Saat kita kesulitan menemukan sosok politisi yang bersih dan berintegritas, maka ingatlah sosok yang satu ini: Mohammad Hatta.
Suatu hari pada 1947, di Bukittinggi, Hatta hendak menumpang bendi. Tawar-menawar pun terjadi, tapi harga tak kunjung cocok. Tak sabar meladeni, sais itu menghardik dengan suara keras, “Kalau tidak punya uang, jangan naik bendi. Jalan kaki saja,” katanya.
Itu adalah sekeping cerita kesederhanaan wakil presiden pertama RI. Ia tak menggunakan jabatan politiknya untuk mendapatkan privileged. Sebagai penumpang kendaraan umum, ia tak berbeda dengan warga negara biasa lainnya.
Semasa menjadi wakil presiden, Hatta diberi jatah mobil dinas. Namun, dia tidak pernah menggunakan mobil dinas itu di luar urusan dinas.
Setelah meletakkan jabatan sebagai wakil presiden, Hatta hanya punya dana tabungan Rp 200 saja. Sementara uang pensiunnya hanya Rp 125 per bulan. Bahkan mantan wakil presiden RI ini pernah kesulitan membayar tagihan listrik. Demi menutupi kebutuhan keluarga, dia hanya berharap pada honor tulisan-tulisannya.
Hatta juga berkali-kali menolak dana taktis. Pertama, saat Hatta berkunjung ke Papua pada 1970. Saat itu dia diberi amplop berisi uang saku. Padahal, zaman itu uang saku merupakan hal lazim untuk bekal perjalanan dinas. Namun, Hatta menolak.
Kedua, ketika pulang berobat di luar negeri, Hatta memerintahkan sekretarisnya untuk mengembalikan uang sisa biaya perjalanan dan pengobatannya di luar negeri.
Hoegeng Iman Santoso
Bicara polisi yang jujur dan bersih, ada satu nama yang tak bisa dilupakan: Hoegeng Iman Santoso.
Tahun 1956, Hoegeng bertugas sebagai Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal di Sumatera Utara. Begitu tiba di Medan, dia disambut oleh pengusaha. Ia ditawari rumah dan kendaraan. Namun, semua itu ditolak oleh Hoegeng.
Tak mau menyerah, pengusaha itu mengirim perabotan rumah tangga ke rumah dinas Hoegeng. Lagi-lagi Hoegeng menolaknya.
Namun, para pengusaha bersikeras tidak akan mengambil barang-barang yang sudah dikirimkan kepada Hoegeng sebagai semacam bingkisan hadiah buat pejabat baru di Polda Medan. Karena tidak diambil juga, akhirnya Hoegeng mengeluarkan sendiri barang-barang tersebut dan meletakkannya di depan rumah hingga berhari-hari dan tak ada orang yang mengambilnya. Hingga akhirnya barang-barang tersebut rusak terkena cahaya matahari dan hujan.
Tahun 1960, saat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi, dia meminta istrinya untuk menutup usaha toko bunganya. Dia khawatir ada benturan kepentingan antara urusan imigrasi dan pemesanan bunga.
Tahun 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kapolri. Suatu hari, istrinya, Meriyati, mendapat telpon dari istri mantan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, Sihwati Nawangwulan. Sihwati mengeluh mobilnya yang hilang dan tak kunjung ditemukan oleh polisi.
Keluhan itu disampaikan oleh Meriyati kepada Hoegeng. Tidak sampai seminggu, mobil mewah itu ditemukan. Sebagai tanda terima kasih, Sihwati memberi hadiah emas 5 gram kepada Meriyati. Mengetahui pemberian itu, Hoegeng menyuruh istrinya mengembalikan hadiah tersebut.
Baharuddin Lopa
Di tengah gelap-gulita penegakan hukum pasca runtuhnya Orde Baru, ada satu sosok yang juga memberi cahaya. Dia adalah Baharuddin Lopa, putra Indonesia dari Indonesia bagian timur.
Tahun 1959, saat usianya baru 26, dia ditunjuk sebagai bupati di Majene. Tugas itu membuat Lopa berhadapan dengan seorang petinggi militer setempat yang terlibat penyelundupan kopra.
Begitu bertugas, dia ditawari uang untuk mendukung bisnis si penguasa perang lokal. Namun, Lopa menolaknya. Dia pun berhadapan dengan teror.
Saat menjadi Kepala Kejati Sulawesi Selatan, Lopa pernah menyeret seorang pengusaha lokal yang sulit tersentuh hukum, Tony Gozal. Tony terlibat kasus manipulasi dana reboisasi.
Suatu hari, saat Jusuf Kalla masih berbisnis mobil di Makassar, Lopa menelpon. Dia berniat membeli mobil sedan yang murah. Sebab, dia tak mau menggunakan mobil dinas untuk urusan harian. Saat itu JK menawarkan Toyota Corolla seharga Rp 5 juta. Padahal, harga aslinya Rp 27 juta. Lopa membeli mobil itu dengan harga asli dan mencicilnya selama tiga tahun.
Saat dilantik sebagai Jaksa Agung pada 2001, Lopa langsung menyasar kasus-kasus besar, seperti Prajogo Pangestu dalam kasus mark-up hutan tanaman industri, kasus BLBI, penggelapan dana Bulog yang melibatkan Akbar Tanjung, kasus Simpanan Wajib Khusus Petani (SWKP) Cengkih yang melibatkan Nurdin Halid, dan lain-lain.
Sayang sekali, sebelum sempat menuntaskan pekerjaan besarnya, Baharuddin Lopa dipanggil sang Khaliq saat sedang menunaikan ibadah umrah di Mekah, Arab Saudi, pada 3 Juli 2001.
Itulah kisah tiga tokoh anti-korupsi di Indonesia. Mereka bukan sekadar inspirasi, tetapi juga bisa menjadi pelita untuk membangunkan rakyat banyak untuk bangkit dan mencari jalan keluar dari ruang gelap korupsi.
Terkadang, di tengah gelapnya kehidupan politik akibat korupsi dan politik dinasti, obor keberanian menjaga integritas bisa muncul sebagai cahaya penuntun, menerangi jalan keluar dari kegelapan, dan menginspirasi langkah-langkah menuju masa depan yang lebih terang.