Ketimpangan sudah menjadi bagian dari kapitalisme. Supaya ekonomi kapitalis berjalan, ada kelompok yang menguasai sumber daya untuk produksi, sementara kelompok lain terpaksa menjual tenaga mereka hanya untuk bertahan hidup.
Pemisahan antara pekerja dan pemilik modal ini adalah langkah awal yang penting dalam perkembangan kapitalisme. Tanah umum yang dulunya bebas untuk semua disita, sehingga muncul kelas pekerja tanpa tanah yang tidak punya pilihan selain bekerja di pabrik-pabrik milik industrialis di kota.
Ironisnya, kondisi eksploitasi dan tekanan hidup yang dialami para pekerja ini justru menjadi pemicu munculnya sosialisme. Hingga hari ini, pemisahan ini tetap penting bagi kelangsungan kapitalisme global – tapi juga jadi kelemahannya yang paling besar.
Esensi Eksploitasi dalam Kapitalisme
Keuntungan besar yang diperoleh perusahaan-perusahaan raksasa di negara maju bergantung pada eksploitasi pekerja di negara-negara berkembang.
Perusahaan fast fashion seperti Shein membayar pekerja garmen di Tiongkok dengan upah sangat rendah, memaksa mereka kerja hingga 18 jam sehari tanpa libur. Produk Apple seperti iPhone dibuat dari bahan yang diambil dari negara-negara yang berkonflik, seperti Republik Demokratik Kongo, dan dirakit oleh pekerja yang dibayar rendah di pabrik-pabrik di Tiongkok. Bahkan, revolusi AI modern tidak akan mungkin terjadi tanpa pekerja yang dibayar murah untuk melakukan tugas repetitif seperti melabeli data demi keuntungan perusahaan teknologi besar.
Namun, para pekerja tidak tinggal diam. Di mana ada eksploitasi, di situ ada perlawanan. Hingga hari ini, seperti sepanjang sejarah kapitalisme, para pekerja di seluruh dunia terus mengorganisasi diri, bahkan dalam kondisi yang sangat sulit, untuk memperjuangkan kebebasan mereka.
Di Bangladesh, pekerja garmen mogok tahun lalu, menuntut kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, yang menyebabkan ratusan pabrik tutup. Pekerja Amazon di seluruh dunia – dari Inggris, Amerika Serikat, hingga Jerman dan Polandia – berusaha membentuk serikat pekerja meskipun mendapat tekanan keras dari perusahaan. Bahkan di Tiongkok, tempat negara mengontrol ketat kehidupan pekerja demi kepentingan kapitalis, jumlah pemogokan melonjak tiga kali lipat antara 2022 dan 2023.
Pertarungan kekuasaan antara pekerja dan bos ini selalu menjadi ciri khas kapitalisme. Sepanjang sejarah, kecenderungannya adalah menuju ke tingkat organisasi yang lebih kuat. Para pekerja yang dieksploitasi oleh modal seharusnya menjadi penggali kubur kapitalisme. Tapi, dalam beberapa dekade terakhir, orang-orang tampaknya mulai menerima ketimpangan yang ekstrem – seolah-olah hal ini sudah menjadi sesuatu yang wajar. Bagaimana ini bisa terjadi?
Bagaimana Ketimpangan Terasa Wajar
Faktor pertama adalah globalisasi. Modal bebas bergerak ke seluruh dunia, sementara pekerja tetap terjebak di tempat mereka. Ini membuat perusahaan besar di negara kaya bisa mengeksploitasi pekerja di negara-negara miskin. Pekerja di negara berkembang sulit keluar mencari peluang yang lebih baik, dan upaya mereka untuk berorganisasi dihancurkan oleh pemerintah yang pro-korporasi. Negara-negara kaya juga mempertahankan pembagian kerja ini dengan mengawasi perbatasan secara ketat.
Akibatnya, orang miskin tetap terjebak di negara miskin, dengan sedikit kesempatan ekonomi, bekerja untuk memproduksi barang-barang yang dikonsumsi di negara kaya. Ketimpangan ini bukan hanya tampak alami, tetapi juga dibuat seolah-olah tak terlihat. Pengguna iPhone, misalnya, tidak pernah melihat kondisi pabrik tempat ponsel mereka dibuat, dan meskipun mereka tahu, mereka tidak akan pernah mengalami kondisi kerja yang sama.
Faktor kedua adalah ideologi. Bahkan di negara kaya, orang-orang tampaknya menerima ketimpangan yang nyata. Elon Musk dan Jeff Bezos dipandang sebagai pahlawan dalam masyarakat kita, meskipun mereka memiliki peran besar dalam mengeksploitasi pekerja dan merusak nilai-nilai demokrasi seperti privasi dan kebebasan pers.
Ideologi kapitalis menyiratkan bahwa ketimpangan muncul secara alami dari pasar bebas. Individu yang cerdas, berbakat, dan pekerja keras dengan keterampilan yang berharga akan dibayar lebih daripada yang dianggap malas atau tidak berkompeten. Beberapa dari mereka yang berbakat ini memiliki keterampilan yang jauh lebih unggul, hingga mampu menciptakan perusahaan mereka sendiri dan mengubah status dari pekerja menjadi pengusaha.
Namun, kisah sukses “miliarder dari nol” ini sebenarnya adalah pengecualian, bukan aturan. Di Inggris, tempat lahir kapitalisme industri, kapitalisme muncul dari kerja sama antara aristokrat, pedagang, dan pemodal yang didukung oleh negara. Bahkan saat ini, sepertiga kekayaan miliarder adalah warisan, dan sepertiga lainnya berasal dari “koneksi” dengan pemerintah dan monopoli.
Mereka yang membangun kekayaan “sendiri” sebenarnya melakukannya dengan memanfaatkan sumber daya bersama – mulai dari sistem hukum, infrastruktur, hingga lingkungan – serta tenaga kerja orang lain. Orang-orang yang dieksploitasi dalam sistem ini bukanlah orang yang bodoh atau tidak kompeten, tapi mereka hanya lahir dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Namun demikian, ideologi ketimpangan sangat kuat dalam menormalkan kesenjangan antara kaya dan miskin. Keyakinan bahwa ketimpangan ini wajar adalah perekat yang menjaga kapitalisme tetap bertahan. Inilah dasar dari legitimasi kelas penguasa dalam masyarakat ini. Inilah yang mendasari “American Dream.”
Kemungkinan Ekonomi yang Benar-benar Setara
Ketika ideologi ini mulai dipertanyakan, barulah kita melihat perlawanan terhadap ketimpangan. Dan ideologi ini hanya goyah ketika pekerja menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan dan keterampilan untuk mengatur diri mereka sendiri.
Dalam buku Vulture Capitalism, saya menyoroti Lucas Plan, di mana para pekerja di Lucas Aerospace mengembangkan rencana untuk mengubah perusahaan senjata yang mereka miliki menjadi produsen teknologi yang berguna bagi masyarakat, dengan tata kelola demokratis. Para pekerja menyumbangkan ide untuk mengalihkan sumber daya yang ada menjadi teknologi seperti turbin angin dan mesin dialisis – dan mereka menawarkan rencana yang jelas dan koheren untuk mendemokratisasi tata kelola perusahaan.
Tentu saja, Lucas Plan menakutkan elit Inggris. Bukan karena transformasi satu perusahaan akan mengancam kapitalisme, tetapi karena itu menantang ideologi yang mendukung seluruh sistem: gagasan bahwa pekerja harus selalu diatur oleh atasan mereka.
Hari ini, semangat Lucas Plan terus hidup melalui pekerja, pengorganisir komunitas, dan aktivis yang berjuang menciptakan ekonomi demokratis. Dari pembangunan kekayaan komunitas, anggaran partisipatif, hingga gerakan penyewa dan buruh, mereka yang berjuang untuk menguasai sumber daya yang kita semua butuhkan untuk bertahan hidup ada di garis depan dalam perjuangan melawan ketimpangan.
Ketimpangan dipertahankan oleh keyakinan yang salah bahwa mereka yang di atas ditakdirkan memimpin, sementara mereka yang di bawah ditakdirkan patuh. Satu-satunya cara untuk membangun ekonomi yang benar-benar setara adalah dengan membangun ekonomi demokratis.
Grace Blakeley, penulis di majalah Tribune dan penulis beberapa buku, termasuk Vulture Capitalism: Corporate Crimes, Backdoor Bailouts and the Death of Freedom. Sebelumnya, ia pernah menjadi komentator ekonomi untuk majalah New Statesman dan peneliti di Institute of Public Policy Research.
Diterjemahkan oleh Raymond Samuel dari blog The London School of Economics and Political Science (LSE)