Kenapa Pelajaran Sejarah Membuat Mereka yang Berkuasa Merasa Terancam?

Kalau siswa diajari bahwa rasisme di masa lalu sudah selesai dan tinggal kenangan, maka logikanya, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan—tidak ada kebijakan yang harus diubah. Tapi jika kenyataan lapangan hari ini masih tidak seimbang—kalau masa lalu masih punya efek ke masa kini—maka pura-pura lupa justru bikin ketidakadilan terus berlanjut tanpa ada yang mengoreksi.

Pendidikan sejarah tengah jadi topik panas di berbagai negara. Di Amerika Serikat, kelompok kepentingan sibuk melarang diskusi soal bagaimana rasisme membentuk sejarah negara itu—dari melarang buku sampai mengontrol kurikulum sekolah. Di India, pemerintah nasionalis Hindu dituding sedang “merekayasa” sejarah dengan menghapus jejak Kesultanan Mughal dari buku pelajaran. Di Inggris, serikat guru protes karena aturan tentang “netralitas politik” malah membungkam diskusi soal rasisme dan kolonialisme di ruang kelas.

Tapi, penghapusan atau penyangkalan sejarah bukan satu-satunya cara untuk mempertahankan privilese. Cara yang lebih halus—dan seringkali lebih berbahaya—adalah membahas sejarah tanpa mengaitkannya dengan dampaknya di masa kini.

Di Afrika Selatan, apartheid memang masuk kurikulum. Semua siswa kelas 9 (usia 14-15 tahun) wajib belajar tentang era diskriminasi rasial yang dilegalkan. Tapi, setelah berjam-jam duduk di kelas dan ngobrol dengan 170 siswa serta guru, saya menyadari sesuatu: pelajaran sejarah di sekolah diajarkan dengan cara yang membuatnya terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.

Memang, banyak hal yang berubah sejak apartheid berakhir. Tapi, meskipun sudah jadi negara demokrasi, Afrika Selatan masih termasuk salah satu negara paling timpang di dunia. Kesenjangan ekonomi masih sangat dipengaruhi oleh ras—pendapatan rata-rata orang kulit putih lebih dari tiga kali lipat pendapatan orang kulit hitam.

Tapi anehnya, pelajaran sejarah di sekolah malah gagal menghubungkan titik-titik antara ketidakadilan di masa lalu dan ketimpangan di masa kini. Sebaliknya, siswa justru diajari bahwa apartheid adalah cerita lama, dan sekarang semuanya sudah setara.

Kenapa sejarah diajarkan dengan cara seperti ini? Jawabannya simpel: banyak guru takut kalau pelajaran sejarah malah memicu konflik di kelas. Mereka tidak mau ada perasaan bersalah atau kemarahan yang muncul di antara siswa. Seorang guru bahkan bilang, “Kita pakai kesalahan masa lalu untuk menyatukan anak-anak.” Dengan kata lain, mereka sengaja mengajarkan sejarah seolah-olah itu sudah selesai, supaya siswa bisa fokus membandingkan “dulu yang buruk” dengan “sekarang yang damai.”

Masalahnya, kalau siswa diajarkan bahwa rasisme sudah tuntas, mereka jadi berpikir tidak ada lagi yang perlu diperbaiki. Padahal, kalau realitanya masih timpang dan ketidakadilan masa lalu masih berlanjut, maka menutup mata sama saja membiarkan ketimpangan terus terjadi.

Bahkan, pelajaran sejarah yang seperti ini secara tidak langsung mengajarkan siswa kulit hitam untuk diam soal rasisme yang mereka alami sekarang. Seorang guru bercerita bahwa ada murid yang menudingnya rasis. Alih-alih mendengarkan, guru itu malah bilang, “Kamu tidak punya hak buat ngomong gitu, karena kamu tidak mengalaminya langsung. Itu bukan luka yang kamu bawa.”

Ketika patung-patung tokoh perbudakan diruntuhkan di berbagai negara, sementara pemerintah sibuk mengatur kurikulum sejarah, satu hal jadi jelas: masa lalu tidak benar-benar berlalu. Sejarah tetap menuntut kita untuk bertindak di masa kini.

Karena itu, pendidikan sejarah tentang penindasan itu penting. Dalam jangka pendek, guru mungkin bisa menciptakan ilusi keharmonisan dengan membuat siswa berpikir bahwa rasisme sudah tidak relevan lagi. Tapi dalam jangka panjang, pelajaran semacam ini justru memperkuat ketimpangan dan menghambat upaya menuju keadilan yang nyata.

Kalau kita benar-benar mau memperbaiki kesalahan sejarah, kita harus berani menghadapi kenyataan: ketidakadilan masa lalu masih punya efek besar di masa kini. Menyangkal atau menghapusnya tidak akan bikin masalah hilang. Sebaliknya, itu cuma bikin ketimpangan terus berlanjut tanpa ada yang menantangnya. Kalau kita mau sejarah benar-benar jadi masa lalu, pertama-tama kita harus mengakui semua jejaknya yang masih hidup di masa kini.


Chana Teeger adalah Associate Professor di Departemen Metodologi dan anggota fakultas di International Inequalities Institute, LSE. Ia meraih gelar PhD dalam bidang Sosiologi dari Harvard University pada 2013. Sebelum bergabung dengan LSE pada 2016, ia menjalani program postdoktoral di Departemen Sosiologi, University of Johannesburg. Ia juga penulis buku Distancing the Past: Racism as History in South African Schools yang diterbitkan oleh Columbia University Press.


Diterjemahkan oleh Raymond Samuel dari sumber aslinya: London School of Economics and Political Science (LSE) blog.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Menakar Komitmen Anggaran Prabowo-Gibran untuk Perempuan

Menakar Komitmen Anggaran Prabowo-Gibran untuk Perempuan

Secara global, isu kesetaraan gender masih menghadapi hambatan signifikan

Next
Belajar dari Chavez Merespons Banjir

Belajar dari Chavez Merespons Banjir

Kita pun terpaku dengan istilah bencana alam, padahal bencana banyak disumbang

You May Also Like
Total
0
Share