Job fair jadi sorotan. Ajang yang seharusnya menjadi jembatan antara pencari kerja dan dunia usaha itu dianggap hanya sebagai seremonial dan formalitas belaka. Kejadian ricuh di Job Fair Cikarang, Bekasi, pada 27 Mei 2025, yang dihadiri lebih dari 25 ribu pencari kerja untuk memperebutkan 2.000-3.000 lowongan, dianggap sebagai bukti atas kegagalan sistem ini.
Kericuhan itu ditambah dengan pernyataan viral seorang staf HRD yang menyebut 90 persen partisipasi perusahaan di job fair hanya formalitas untuk memenuhi kewajiban pemerintah. Kontroversi ini mengungkap luka dalam sistem hubungan industrial dan ketenagakerjaan Indonesia.
Job fair seperti yang terjadi di Cikarang justru membebani dunia usaha. Ada indikasi perusahaan “dipaksa” berpartisipasi, sering kali tanpa kebutuhan rekrutmen riil, hanya untuk memenuhi regulasi atau menghindari sanksi. Ketua Perhimpunan HRD Bekasi, Doan Herison mengakui bahwa banyak perusahaan hanya membuka lowongan kecil-kecilan untuk menggantikan pekerja kontrak, bukan ekspansi. Hal ini menegaskan bahwa job fair tidak efektif dan efisien, baik dari segi biaya, waktu, maupun tenaga. Wajar jika perusahaan merasa acara ini hanya formalitas, karena tidak selaras dengan kebutuhan bisnis mereka. Alih-alih menjadi solusi, job fair justru menjadi beban administratif yang kontraproduktif.
Tidak manusiawi
Kepadatan ribuan pencari kerja yang berebut peluang sempit dalam job fair mencerminkan situasi barbar yang tidak manusiawi. Di Cikarang, lebih dari 25 ribu orang memadati acara, sementara lowongan yang tersedia hanya sepersepuluhnya. Kericuhan terjadi, beberapa peserta pingsan akibat desak-desakan, dan banyak yang kecewa karena hanya diminta memindai kode QR untuk melamar secara online—hal yang bisa dilakukan tanpa harus hadir secara fisik. Kondisi ini menciptakan penderitaan fisik dan emosional bagi pencari kerja, yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya. Job fair seperti ini bukanlah ajang harapan, melainkan ladang kekecewaan yang mempermainkan aspirasi masyarakat.
Job fair sebagai formalitas mengindikasikan ketidakhadiran negara dalam mengatasi masalah pengangguran. Data BPS Februari 2025 menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,76 persen, dengan 7,28 juta orang menganggur. Alih-alih menciptakan solusi nyata, negara seolah mengalihkan tanggung jawab kepada swasta melalui penyelenggaraan job fair yang lebih berfungsi sebagai ajang pencitraan. Acara ini memberikan kesan bahwa pemerintah peduli pada pencari kerja, padahal realitasnya menunjukkan minimnya koordinasi, transparansi, dan efektivitas. Negara gagal memastikan bahwa job fair benar-benar menjadi wadah yang produktif bagi pencari kerja dan dunia usaha.
Di sisi lain, tanggapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang menyebut pernyataan HRD viral sebagai “tidak bertanggung jawab” dan “kurang ajar”, tampak bombastis agar terkesan membela kepentingan pencari kerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) seharusnya segera mengevaluasi sistem job fair dan mengefektifkan platform digital untuk menghubungkan pencari kerja dengan dunia usaha. Platform seperti JobStreet, yang disebut HRD anonim sebagai alternatif lebih akurat, bisa menjadi solusi yang efisien. Kemnaker perlu berfokus pada inovasi teknologi untuk memastikan informasi lowongan kerja sampai ke pencari kerja dengan cepat dan transparan, bukan mempertahankan model job fair yang usang.
Fokus ciptakan lapangan kerja inklusif
Negara harus mengalihkan fokus dari seremoni job fair ke penciptaan lapangan kerja yang inklusif. Ini dapat dilakukan dengan memberikan insentif dan kemudahan bagi dunia usaha, seperti menghapus praktik premanisme, pungutan liar, dan ekonomi biaya tinggi akibat korupsi perizinan. Selain itu, dukungan terhadap UMKM lokal melalui kemudahan pendirian usaha, akses permodalan, dan pendampingan perlu digalakkan. Data menunjukkan, UMKM menyumbang 61 persen PDB Indonesia dan menyerap 97 persen tenaga kerja—menguatan UMKM merupakan langkah strategis. Selaras dengan itu, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan yang relevan dengan kebutuhan industri harus menjadi prioritas. Tanpa SDM yang kompetitif, peluang kerja akan terus terbatas, dan job fair hanya akan menjadi ajang sia-sia.
Job fair dengan konsep kuno yang memaksa ribuan orang berdesakan harus dihentikan. Negara perlu mengembangkan platform digital yang lebih efisien dan manusiawi, seperti database terpusat yang memetakan lowongan kerja dan kualifikasi pencari kerja secara real-time. Platform ini harus transparan, mudah diakses, dan mampu menyaring kandidat sesuai kebutuhan perusahaan. Dengan teknologi yang sudah tersedia, seperti aplikasi berbasis AI untuk pencocokan pekerjaan, tidak ada alasan untuk terus mempertahankan job fair yang tidak produktif. Langkah ini tidak hanya menghemat sumber daya, tetapi juga menghormati martabat pencari kerja.
Untuk mengatasi akar masalah, negara perlu menyusun kebijakan hubungan industrial nasional yang menyelaraskan kebutuhan industri dengan ketersediaan tenaga kerja sejak dini. Ini mencakup pemetaan kebutuhan industri jangka panjang, pelatihan vokasi yang relevan, dan jaminan pemenuhan hak-hak pekerja, seperti upah layak dan jaminan sosial. Sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan harus diperkuat untuk memastikan bahwa tenaga kerja yang dihasilkan sesuai dengan tuntutan pasar. Kebijakan ini juga harus menjamin perlindungan pekerja dari eksploitasi, seperti kontrak kerja yang tidak adil, yang sering kali menjadi alasan perusahaan enggan membuka lowongan baru.