Pada malam yang sibuk, Rishi Sunak pergi ke sinagoga. Meluncur buru-buru dengan Range Rover Sentinel berwarna gelap, dia harus tiba cepat ke Finchley United. Tiga hari sebelumnya, ribuan mil dari London, roket-roket meluncur dari tepi Laut Mediterania. Hamas menyerbu. Korban berjatuhan. Karenanya, Sunak ingin menemui Ephraim Mirvis, beserta segenap jemaat yang jiwanya tersayat.
Mirvis seorang rabi terpandang di Inggris. Pada namanya tersemat anugerah kerajaan, sehingga dia bisa dipanggil ‘Sir’. Ayahnya Lionel, rabi di Cape Town Afrika Selatan, tempat Mirvis dilahirkan. Hidup ayahnya itu tak semata mengabarkan kalam Tuhan, tapi juga menyediakan waktu mengunjungi tahanan politik di Pulau Robben. Ayah Mirvis penentang apartheid, sistem yang kemudian hari direplikasi Israel dalam versi lebih brutal.
Sunak tiba membawa wibawa ke sinagoga di pusat ibu kota. Dia memeluk Mirvis seperti seorang kekasih, menunjukkan diri sebagai sahabat Israel yang bisa diandalkan. Sunak ikut berdoa melalui lafal-lafal Talmud yang tak intim di bibir dan telinganya. Di sana, perdana menteri mengumumkan dana tambahan £3 juta demi melindungi sekolah, sinagoga, dan bangunan komunitas Yahudi di Inggris.
Episode keprihatinan yang antusias memang tampak menyebar di Barat pekan itu. Bukan semata kedatangan Sunak, Bintang Daud pun dikibarkan di Downing Street 10, sementara seluruh Istana Westminster dihiasi lampu biru dan putih. Di Berlin, Gerbang Brandenburg mengibarkan bendera Israel. Menara Eiffel yang ikonik memancarkan cahaya biru-putih ke seluruh Paris. Gedung Putih dan Empire State Building di New York turut memamerkan warna-warna serupa.
Humanisme Barat seketika menyala. Terlihat lembut, persuasif dan bersih. Mendorong pesan kemanusiaan yang dalam, setulus-setulusnya, tak berprasangka, dan otentik. Seolah saja benar begitu. Tetapi siapa pun yang menarik napas melalui hidung pasti mengenali kemunafikan imperialisme Barat. Bau busuk yang menyengat sepanjang waktu.
Kemunafikan Barat adalah pertunjukan seumur hidup. Membentang dari Raqqa, Caracas hingga Sana’a. Pada hari yang cerah mereka menampilkan diri sebagai pria bertuxedo yang santun. Membicarakan proposal perdamaian dan menyodorkan solusi tanpa kekerasan. Pada lebih banyak hari, mereka memakai celemek penuh bercak darah, atribut para jagal.
Sewindu silam, Amerika, Inggris, dan Prancis dengan gembira mulai menyokong Saudi menghujani Yaman dengan bom. Merajam kesedihan dan derita. Setengah juta orang tewas, belasan juta lainnya kelaparan dan kesulitan air. Anak-anak berkaki buntung, dipangkas peledak dari Riyadh. Imigran Etophia dimusnahkan, seolah bukan golongan manusia. Enam tahun lamanya Handramaut merapat dengan maut.
Atas alasan palsu senjata pemusnah massal, Amerika membunuh lebih dari satu juta penduduk sipil Iraq. Mereka menyiksa dan menelanjangi tawanan di penjara Abu Ghraib, sembari mendakwahi dunia tentang hak asasi manusia. Negeri Paman Sam membangun kamp penganiayaan Guantanamo di atas tanah yang dirampas dari Kuba, kegilaan yang hampir menyerupai Nazi di Auschwitz.
William Blum, dalam ‘Demokrasi: Ekspor Amerika Paling Mematikan’ (2013) mengungkapkan fakta, di Fallujah terdapat bayi lahir berkepala tiga. Angka cacat jantung bawaan tiga belas kali lipat lebih banyak dari keseluruhan Eropa. Anak-anak lain mengalami kelumpuhan otak sejak lahir. Semua itu imbas radiasi bom napalm dan fosfor yang diledakkan Amerika sepanjang pendudukan Iraq.
Barat mensponsori kelompok teror untuk pertumpahan darah kolosal sepanjang Perang Suriah. Memporak-porandakan Tripoli, kota termakmur di Afrika Utara. Menghujamkannya menjadi tanah jahanam, sembari meniupkan terompet suka cita atas tewasnya Muammar Khadafi. Lalu menulis ribuan narasi hitam perihal pria Libya ini.
Setahun setelah Perjanjian Oslo, Barat menggelar karpet merah buat Shimon Peres demi menerima Nobel Perdamaian. Peres salah seorang tokoh generasi pertama negara Zionis. Pria yang memerintahkan ‘Pembantaian Qana’ di Lebanon Selatan. Yang membuat 106 sipil tewas, separuhmya anak-anak. Kebejatan itu dilakukan hanya berjarak 16 bulan seusai berfoto di podium Nobel Perdamaian.
Peres muda diingat sebagai salah satu pentolan Haganah. Kelompok teroris yang menjadi cikal bakal tentara nasional Israel, IDF. Haganah mesin pembunuh. Penanggungjawab Pembantaian Balad al-Shaykh, peledakan Hotel Semiramis, Pembantaian Lydda, tragedi Al Husayniyya, progrom di Ein al-Zeitun hingga pembantaian Deir Yassin.
Peres adalah belahan hati Barat, sebagaimana Netanyahu. Tahun lalu Amnesty Internasional meminta dunia menyeret Netanyahu ke Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) atas sejumlah dakwaan kejahatan perang. Tahun tersebut merupakan periode gelap yang lain bagi Palestina. Lebih dua ratus anak-anak terbunuh. Ini merupakan angka terbesar sejak Intifada Kedua.
Shireeen Abu Akleh, jurnalis Al Jazeera dibunuh oleh IDF di saat yang sama. Iring-iringan jenazah jurnalis Amerika keturunan Palestina ini diserbu serdadu Israel hingga peti matinya terlontar ke tanah. Barat pura-pura berduka sesaat, untuk kembali memunggungi keadilan. Pesannya jelas: Tel Aviv tak bersalah, Netanyahu boleh meneruskan bisnis seperti biasa. Jenayah besar inilah yang dijawab Hamas pada serangan 7 Oktober 2023.
Di bulan Januari, Macron menegaskan sikap tak akan meminta maaf atas praktik keji kolonialisme Prancis di Aljazair. Pernyataan ini mengulang apa yang dia ucap dua tahun silam. Pada 1956, sebagai tanggapan atas Pemberontakan Agustus yang dilancarkan Front Pembebasan Nasional (FLN), Prancis melakukan genosida hebat di Constantine. Lima ribu orang dibunuh. Banyak yang dipenggal kepalanya atau dimutilasi. Mayat-mayat dibiarkan berserakan di tempat umum.
Pembantaian Constantine menggenapi satu dasawarsa pembunuhan massal yang terjadi di Setif, Guelma, dan Kherata. Di tiga wilayah tersebut, puluhan ribu rakyat Aljazair dijagal, sebagai jawaban kontan atas protes menuntut janji kemerdekaan. Penjajahan Prancis pun menandai praktik rasisme yang paling jorok. Serdadu mereka biasa memanggil penduduk lokal dengan sebutan ‘lonte Arab’—sebagaimana digambarkan dalam ‘The Battle of Algiers’ (1966).
Malam di sinagoga, usai berdoa Sunak berpidato. Dia tak menahan diri untuk menghakimi Hamas. Menampiknya sebagai pejuang kemerdekaan, kecuali melabelinya sebagai komplotan teroris. Ucapan serupa keluar dari kerongkongan Joe Biden. Aksi Hamas diberi pengertian tunggal: terorisme. Perdana menteri dan presiden ini semestimya memasang mata untuk membaca testimoni Buitier.
Jenderal Smedley Buitier sosok militer penuh medali penghargaan di Amerika Serikat. Dia berperang demikian lama di banyak benua. Sebagaimana tertulis dalam ‘Addicted to War: Why the U.S Can’t Kick Militarism’ (2002), Buitier pernah berujar:
“Saya bertugas selama 33 tahun dan empat bulan dalam militer. Dan selama itu, kebanyakan saya menjadi tukang pukul elit bagi bisnis besar, Wall Street dan para bankir. Pendeknya, saya ini penjahat bayaran, gangster bagi kapitalisme.”
Kapal perang terbesar, USS Gerald R. Ford dikabarkan tiba di Laut Mediterania. Teror yang lain telah dipersiapkan. Mereka bersedu-sedan ke haribaan Netanyahu, menyalakan warna biru putih di mana-mana, tetapi tidak kepada penduduk Palestina. Sementara imperialisme Barat adalah rumah besar hipokrisi itu sendiri. Sehingga humanismenya ialah humanisme para gangster. Mereka bercakap manis perihal perdamaian, sembari di balik punggungnya memegang belati bersiap menggorok lehermu.