Di tengah ingar-bingar industri musik yang terus berganti wajah, hadir sosok-sosok legendaris di dunia musik yang menolak tenggelam bersama waktu. Mereka adalah para musisi yang meski usianya kian menua, namun tetap menyala dalam kreativitas dan performa.
Nama-nama seperti Addie MS, Eros Djarot, dan grup Bimbo menjadi bukti bahwa usia hanyalah angka, bukan batas. Mereka tak hanya bertahan, tapi juga tetap memberi warna pada lanskap musik nasional yang semakin kompleks. Fenomena ini bukan sekadar nostalgia.
Ambil contoh Addie MS, komposer dan konduktor musik simfoni Twilight Orchestra yang kini berusia 64 tahun. Di saat banyak orang seusianya mulai memasuki masa pensiun, Addie justru memperluas kontribusinya. Ia aktif menggarap orkestra digital, menggagas konser virtual, dan bahkan menjadi mentor generasi muda lewat platform media sosial. Kreativitasnya justru melesat saat usianya kian menua. Tak berlebihan jika dikatakan Addie telah menjembatani dua dunia: klasik dan digital.
Eros Djarot juga patut diapresiasi. Musisi, penulis lagu, sekaligus sineas ini tak hanya mencipta karya abadi seperti “Badai Pasti Berlalu”, tetapi juga aktif dalam diskursus kebudayaan hingga kini. Di usianya yang menginjak kepala tujuh, Eros masih menulis, mengkritisi arah budaya populer, dan bahkan terlibat dalam proyek-proyek dokumenter musik. Ia membuktikan bahwa produktivitas bukan milik mereka yang muda, tapi milik siapa pun yang terus berpikir dan berkarya.
Grup Bimbo, yang terdiri dari kakak beradik Sam, Acil, dan Jaka, adalah contoh paling nyata bagaimana konsistensi bisa menaklukkan waktu. Lagu-lagu mereka, dari yang religius hingga politis, masih relevan hingga kini. Bahkan dalam kondisi fisik yang sudah tidak semuda dulu, mereka tetap tampil dalam berbagai kesempatan, memberikan kedalaman spiritual dan intelektual pada panggung musik Indonesia yang seringkali dangkal.
Apa yang mereka lakukan bukan hanya soal mempertahankan eksistensi. Ini soal memperlihatkan bagaimana integritas, disiplin hidup sehat, dan komitmen jangka panjang bisa menjadi fondasi karier yang berkelanjutan.
Para musisi gaek itu tidak menua dengan diam, tapi menyalakan gelora yang tetap menyala. Mereka menjadi penanda bahwa musik bukan soal tren, tapi soal nilai dan perjalanan batin.
Sayangnya, keberadaan musisi-musisi senior ini sering luput dari perhatian industri. Festival musik lebih sering mengandalkan gimmick viral dan selebritas dadakan. Media pun cenderung memburu klik lewat nama-nama muda. Padahal, jika diberi ruang, Addie, Eros, Bimbo dan musisi seangkatannya mampu menjadi “guru” dalam arti yang sesungguhnya: menginspirasi, mendidik, dan menumbuhkan rasa hormat atas sejarah.
Ironisnya, banyak musisi senior lainnya tidak seberuntung mereka. Ada yang hidup dalam keterbatasan, tanpa perlindungan kesehatan, bahkan tak lagi punya akses panggung. Inilah cerminan buruk dari industri musik kita—yang hanya memuja yang muda dan populer, tanpa membangun sistem keberlanjutan dan perlindungan jangka panjang bagi para pelaku seninya.
Di sinilah seharusnya negara dan masyarakat hadir. Pemerintah lewat kementerian terkait dapat menciptakan skema jaminan sosial dan dana abadi untuk seniman. Perguruan tinggi seni dapat membuka ruang kolaborasi antargenerasi. Media bisa mengubah narasi, dari sekadar hiburan ke arah edukasi dan penghormatan pada sosok-sosok pembangun peradaban musikal bangsa.
Menjadi tua dalam musik seharusnya bukan akhir, melainkan babak baru yang lebih jernih, lebih dalam, dan lebih bermakna. Para musisi ini telah membuktikan bahwa kreativitas tak mengenal usia. Yang dibutuhkan hanyalah kesempatan, kesehatan, dan ruang untuk terus tumbuh. Dan mungkin, dari mereka kita belajar satu hal paling penting: bahwa menjadi tua bukan berarti memudar, tapi menyala dengan cara yang berbeda.