Pungutan liar (pungli) di Indonesia udah kayak kanker yang makin hari makin menggerogoti tubuh bangsa ini. Kasus-kasus yang viral di media sosial hanyalah puncak gunung es.
Ibarat penyakit yang menggerogoti sekujur tubuh negeri, pungli nyaris ada di mana-mana: dari level pemerintah pusat hingga tingkat terendah RT/RW, dari aparat berseragam hingga pakaian warga biasa, dari Sabang sampai Merauke.
Pungli hadir dalam keseharian kita, dari parkir motor, membuka usaha kecil, urusan pendidikan anak, layanan kesehatan, hingga pengurusan administrasi kependudukan. Paling menyakitkan, melaporkan kehilangan barang di kantor polisi pun terkena pungli.
Salah satu puncak gunung es itu adalah pungli terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) dari Malaysia. Jumlahnya pun fantastis: Rp 2,5 miliar. Kasus ini tak hanya mencoreng muka Indonesia di hadapan negara tentangga dan dunia, tetapi juga menunjukkan bahwa pungli di negara kita sudah pada titik darurat kritis.
Pungli itu bukan cuma masalah administrasi. Ini masalah budaya yang bikin sistem kita lebih mirip negara mafia ketimbang negara hukum. Pungli udah jadi virus yang merusak keadilan dan memperparah ketimpangan sosial. Coba deh bayangin, kalau kita enggak segera tangani, negara ini akan terus tenggelam dalam kerusakan.
Pelaku pungli
Lagu grup band punk Sukatani yang viral beberapa pekan lalu menujukkan pungli ada di mana-mana. Ironisnya, pelaku terdepannya justru aparat berseragam.
Di negeri tercinta ini, hampir semua warga pernah merasakan atau melihat praktik pungli yang dilakukan aparat saat melakukan tilang di jalanan. Bukan cerita bisik-bisik, pengurusan SIM, STNK, pajak kendaraan, dan lain-lain, seringkali disertai dengan pungutan tambahan. Yang viral beberapa waktu lalu adalah pungli di kantor Samsat Bekasi.
Pahitnya lagi, pungli ini tak hanya berlaku pada tilang di jalanan maupun pengurusan administrasi (SIM, STNK, dll), tetapi juga saat melaporkan tindak pidana. Saya sendiri punya pengalaman pahit ketika melaporkan kehilangan ponsel beberapa tahun silam: dimintai uang jika ingin laporannya direspons. Bahkan, seperti lagu Sukatani, daftar jadi polisi pun ada praktik punglinya.
Pungli juga banyak dilakukan oleh petugas yang melakukan pelayanan publik. Mulai dari sektor pendidikan, layanan kesehatan, pengurusan dokumen, pengurusan perizinan, perpajakan, cukai, dan lain-lain. Yang paling ironis, pungli juga marak di lembaga pendidikan, tempat yang seharusnya menanamkan integritas kepada peserta didik sejak usia dini.
Misalnya, di SDN Ciater 2, kasus pungli terhadap orangtua murid yang dipaksa bayar “sumbangan” tak jelas, dan jika mereka menolak, anak mereka diancam akan dikeluarkan.
Pungli oleh warga biasa alias preman juga tak kalah mengerikannya. Mulai dari parkir, berdagang di pasar, membuka lapak takjil, membawa mobil angkutan, mengunjungi daerah wisata, bahkan membuka pabrik, kita berhadapan dengan lumpen-proletariat tukang palak.
Di medsos kita bisa melihat, sopir truk harus berhadapan dengan pungli berlapis-lapis sepanjang jalan. Bahkan, di Medan dan sekitarnya, menurunkan barang sendiri masih dikejar pungli oleh makhluk pengangguran. Ironisnya, praktik pungli ini kerap dilindungi ormas dan aparat.
Mengapa pungli tumbuh subur?
Pungli bukan fenomena yang muncul begitu saja layaknya jamur di musim penghujan. Ada faktor ekonomi, politik, dan kultural yang memberinya ruang untuk berkembang pesat.
Pertama, kemiskinan dan kesenjangan pendapatan berkontribusi pada menguatnya praktik pungli. Mereka yang berada di bawah piramida ekonomi berusaha mencari jalan pintas untuk menambah penghasilan. Situasi ini diperparah oleh sempitnya lapangan kerja, rendahnya sumber daya manusia, dan melebarnya ketimpangan ekonomi.
Kedua, birokrasi yang gemuk dan berbelit-belit, yang menciptakan banyak meja yang dilalui untuk mendapatkan pelayanan publik, juga menjadi penyebab pungli. Rantai pelayanan yang panjang, yang memakan waktu lama dan biaya, memaksa warga mencari jalan pintas: orang dalam (ordal) dan pungli.
Situasi ini diperkeruh oleh ketidakpastian aturan, minimnya transparansi, dan absennya pengawasan. Situasi itu menciptakan ruang yang leluasa bagi aparat atau petugas layanan publik untuk melakukan pungli.
Ketiga, faktor kultural seperti mental suka jalan pintas dan tak mau antre juga berkontribusi pada pungli. Perilaku yang cenderung tidak sabar menunggu dan lebih memilih untuk membayar agar prosesnya lebih cepat. Hal ini menunjukkan adanya pemakluman terhadap cara-cara tidak sah demi kenyamanan pribadi. Istilah yang familiar, seperti uang pelicin, uang rokok, uang capek, dan lain-lain, menunjukkan wajah yang seolah menormalisasi praktik pungli.
Ironi di negeri Pancasila
Pungli adalah saudara kandung dari korupsi. Ironisnya, itu justru marak di bumi yang dipayungi oleh Pancasila dan mayoritas rakyatnya adalah penganut agama.
Pungli jelas memunggungi nilai-nilai Pancasila: menginjak-injak nilai ketuhanan, melukai perasaan kemanusiaan, meretakkan persatuan, menggerus nilai-nilai demokrasi, dan menginjak-injak prinsip keadilan sosial.
Karena praktik pungli, mereka yang punya akses ke uang lebih, akan mendapatkan layanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Sementara yang tidak mampu harus menerima perlakuan diskriminatif.
Tentu saja ini ironis, manakala penyelenggara negara getol bicara penghayatan dan pembumian Pancasila, yang sering mengobarkan retorika nasionalistik, tetapi mereka justru menjadi bagian yang melekat dalam praktik pungli.
Dampak pungli
Pungli membawa dampak merusak terhadap kinerja ekonomi. Pungli menciptakan biaya tambahan yang tidak resmi, sehingga biaya produksi barang dan jasa menjadi lebih tinggi dan dampaknya merugikan konsumen.
Dalam World Enterprise Survey 2023, Bank Dunia menemukan korupsi memang masih menjadi salah satu hambatan dalam berbisnis. Sebanyak 20,3 persen perusahaan yang disurvei mengakui pernah mengalami setidaknya satu insiden dimintai pungli.
Pada gilirannya, pungli membuat ekonomi Indonesia tidak efisien dan berdaya saing. Pungli juga menjadi penghambat investasi. Di medsos berseliweran kabar tentang pabrik yang gagal buka karena praktik pungli oleh ormas. Ini juga yang menjadi keluhan banyak pengusaha.
Di level bawah, pungli membebani dan mencekik UMKM yang sudah megap-megap karena minimnya dukungan permodalan dan daya jangkau pasar. Akibatnya, tak sedikit orang yang enggan membuka UMKM karena praktik pungli.
Bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, pungli menjadi salah satu penghalang terbesar dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya.
Secara politik, pungli memperparah praktik korupsi, memperburuk tata kelola pemerintahan dan menggerus kepercayaan warga terhadap penyelenggara negara. Praktik pungli yang tersebar di berbagai instansi pemerintah menggambarkan ketidakmampuan sistem birokrasi dalam menyediakan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel.
Praktik pungli juga mencegah warga mendapatkan pelayanan publik dan memenuhi hak-haknya. Pungli juga mempengaruhi kualitas pelayanan publik: ramah pada si kaya yang bisa membayar uang pelicin, tetapi jutek dan keras kepada warga biasa dan tak punya koneksi orang dalam.
Negara jangan kalah oleh pungli
Jika mau menjadi negara maju, atau mewujudkan mimpi Indonesia emas, negara ini harus membabat habis praktik pungli hingga ke akar-akarnya. Ini bisa dimulai dari memberantas pungli di kalangan penyelenggara negara dan kemudian di masyarakat.
Pertama, harus ada penegakan hukum yang tegas, keras, dan tak pandang bulu terhadap aparat maupun petugas layanan publik yang terlibat pungli. Tak bisa lagi hanya dengan sanksi biasa, tetapi pemecatan dan pemenjaraan.
Kedua, menciptakan aturan yang terang-benderang disertai transparansi dan akuntabilitas. Jangan lagi ada peraturan yang abu-abu dan multitafsir. Ini juga menyangkut penciptaan standar pelayanan publik yang efisien, transparan, dan akuntabel.
Ketiga, mempercepat digitalisasi pelayanan publik. Penggunaan tilang digital atau tilang elektronik (ETLE) harusnya dilanjutkan dan diperluas. Berbagai proses pelayanan publik mestinya bisa dilakukan secara online.
Mengurangi interaksi langsung antara masyarakat dan pejabat dengan menerapkan sistem digital dalam pelayanan publik. E-government dan layanan online dapat meminimalisir peluang terjadinya pungli.
Keempat, melanjutkan reformasi birokrasi yang arahnya pada perampingan birokrasi, memperkuat meritokrasi, dan mendorong transparansi. Postur lembaga harus diciutkan untuk mencegah banyak meja dalam proses pengurusan dokumen, perizinan, maupun urusan publik lainnya.
Kelima, memperkuat peran dan partisipasi warga dalam memerangi pungli dengan memberikan reward kepada warga yang menemukan dan melaporkan pungli. Ini bisa dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pungli dan cara melaporkannya.
Pungli sudah terlalu lama menggerogoti negeri ini. Jika terus diam, maka kita membiarkan kemiskinan, ketidakadilan, dan kebusukan merajalela. Saatnya kita berperang total melawan pungli, tanpa ampun, tanpa kompromi! Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal masa depan bangsa. Jika kita tidak mulai sekarang, maka kita tidak akan punya peluang untuk menjadi bangsa maju.