Bakat luar biasa sering terlihat seperti aksi revolusioner. Ini seperti seseorang melakukan sesuatu dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Dan banyak talenta yang tampak revolusioner ini ternyata dibangun di atas serangkaian penyesuaian kecil yang sifatnya evolusioner. Penyesuaian ini berkembang seiring waktu, sering kali untuk menutupi kelemahan atau kecemasan, sesuatu yang sering menjatuhkan orang-orang yang kurang gigih.
Ambil contoh pemain bola terbaik dunia, Lionel Messi dari Argentina.
Messi sudah memenangkan delapan kali trofi Ballon d’Or (penghargaan untuk pemain bola terbaik dunia setiap tahunnya) dan merupakan yang terbanyak sejauh ini. Dia menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang masa di La Liga Spanyol. Dia juga pemain dengan rasio gol tertinggi dalam sejarah sepak bola modern: 0,87 atau nyaris satu gol setiap pertandingan.
Tapi meski sehebat itu, Messi dikenal sebagai orang yang kerap terserang rasa cemas. Selama bertahun-tahun, dia biasa muntah di lapangan sebelum pertandingan besar dimulai.
Setelah serangkaian kekalahan Timnas Argentina, legenda bola Argentina, mendiang Diego Maradona, pernah menyindir Messi dengan mengatakan bahwa tidak ada gunanya mencoba menjadikannya pemimpin karena dia “ke kamar mandi 20 kali sebelum pertandingan.”
Bakat luar biasa tidak membuat seseorang kebal dari rasa cemas. Justru banyak orang paling hebat di dunia yang bergulat dengan kecemasan karena mereka punya ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri. Tapi Messi tidak membiarkan rasa cemas itu mematikan kejeniusan dan potensi dirinya. Karena dia menemukan cara untuk mengatasinya. Dan cara ini, secara tidak langsung, juga jadi rahasia dari kejeniusan taktisnya di lapangan.

Messi melakukan dua hal penting di menit-menit awal pertandingan. Pertama, dia menenangkan dirinya. Kedua, dia mengamati lawan.
Sepak bola berlangsung selama 90 menit (plus waktu tambahan). Kebanyakan pemain langsung aktif sejak menit pertama—mereka minta bola, ikuti taktik pelatih, dan langsung masuk ke permainan.
Tapi Messi tidak langsung onfire di menit-menit awal. Ini adalah trik kecil hasil evolusi permainannya, yang terbentuk seiring dia naik ke level permainan yang lebih tinggi. Di awal pertandingan, Messi cuma berjalan santai atau berlari kecil di tengah lapangan. Hampir enggak berinteraksi dengan rekan setim. Saat pemain lain berlari, kadang sprint, Messi hanya berjalan kecil.
Jalan santai atau berlari kecil itu bukan sekadar pemanasan. Itu cara Messi untuk menenangkan dirinya. Pelan-pelan masuk ke pertandingan agar bisa sepenuhnya fokus pada keseluruhan pertandingan. Kebiasaannya muntah pun pelan-pelan hilang, mungkin karena dia akhirnya menemukan cara yang lebih sehat untuk meredam gugup.
Yang kedua, Messi menggunakan waktu ini untuk mengamati. Kakinya mungkin bergerak pelan, tapi matanya lincah mengamati satu per satu pemain lawan: kekuatannya di mana, celahnya di mana, siapa yang suka keluar posisi, bagaimana timnya sendiri mengalirkan bola. Messi mungkin belum memberi kontribusi besar di awal, tapi momen hening ini bikin dia lebih mematikan di 95 persen di sisa pertandingan.
Kalau kita bagi pertandingan jadi dua bagian: “persiapan” dan “aksi”, maka Messi berat di bagian persiapan. Dalam salah satu pertandingan klasik antara Barcelona melawan Real Madrid pada 2017, Messi cuma berlari kencang selama empat menit dari total 90 menit pertandingan. Sisanya, berjalan santai dan lari-lari kecil. Tapi saat dia aktif, dia menciptakan sembilan peluang, mencetak dua gol, dan memberi umpan untuk satu gol lainnya.
Tapi jangan salah. Berhenti sejenak itu enggak mudah. Saat cemas dan bingung, naluri kita adalah langsung bertindak. Padahal kadang yang kita butuhkan justru diam dan tenang.
Dan ternyata, enggak cuma di sepak bola. Cara berpikir ini juga berlaku dalam hidup sehari-hari.
Seorang psikiater dan ahli saraf bernama Judson Brewer menghabiskan kariernya mempelajari bagaimana caranya untuk tidak melakukan apa-apa. Sekitar 15 tahun lalu, Brewer menciptakan metode mindfulness (kesadaran penuh) untuk membantu orang lepas dari kecanduan.
Metodenya mengajarkan orang-orang untuk menahan gelombang kecemasan saat keinginan untuk kembali ke kebiasaan buruk datang, dengan empat langkah yang disingkat jadi RAIN: Recognize—Sadari apa yang sedang muncul (perasaan, dorongan, pikiran); Allow—Biarkan sensasi itu hadir tanpa dilawan; Investigate—Telusuri apa yang kamu rasakan (Apa yang sedang terjadi di tubuhku?).

Note—Catat atau sadari perubahan dari detik ke detik.
Brewer terinspirasi dari psikolog klinis Tara Brach. Sebelum dia pakai metode ini ke pasien, dia coba dulu ke dirinya sendiri. Masalahnya, dia bukan perokok, jadi susah memahami rasa frustrasi para pasien yang merasa “kepalanya mau meledak kalau enggak ngerokok.”
Karena itu, Brewer menciptakan simulasi dia melatih diri untuk duduk bermeditasi selama dua jam tanpa bergerak sama sekali. Saat gelisah muncul, dia praktikkan RAIN. Kalau dia bergerak? Jamnya di-reset. Mulai dari nol lagi.
Kedengarannya sepele, ya? Tapi coba aja sendiri. Duduk dua jam tanpa hiburan, tanpa gerak, tanpa suara—yang bikin berat bukan sakit fisiknya, tapi rasa gelisah. “Yang paling menyiksa bukan nyerinya,” tulis Brewer, “Tapi rasa gelisahnya… Rasa ingin bergerak itu teriak, ayo bangun!”
Berbulan-bulan, dia terus gagal. Tapi suatu hari, dia berhasil duduk dua jam penuh. Setelah itu, sesi-sesi berikutnya jadi makin mudah. Karena dia sudah tahu: bisa kok. Dan kalau dia bisa, pasiennya juga bisa berhenti merokok—mereka cuma butuh alat bantu yang tepat.
Dan ternyata benar. Metode mindfulness-nya dua kali lebih efektif daripada pengobatan kecanduan paling mutakhir saat itu. Pasien-pasien dari kelompok lain sudah banyak yang kambuh, tapi kelompok Brewer tetap bersih. Mereka lima kali lebih mungkin untuk bisa berhenti merokok—hanya dengan satu prinsip sederhana: berhenti dan diam, tepat saat tubuh paling ingin bertindak.
Dari keempat langkah dalam metode RAIN, yang paling penting mungkin adalah langkah kedua: Allow—membiarkan. Kedengarannya gampang karena kamu enggak perlu ngapa-ngapain. Tapi justru di situlah tantangannya. Saat tubuhmu pengen kabur, kamu diminta untuk diam. Bertahan. Tidak bereaksi.
Tentu saja, sekalipun kita sudah hebat dalam menyiapkan diri dan mengelola kecemasan, bukan berarti hasilnya selalu sesuai rencana. Messi sudah kalah di banyak pertandingan. Dan enggak semua pasien Brewer bisa benar-benar berhenti merokok selamanya. Tapi kunci sukses jangka panjang adalah bagaimana kita menghadapi rasa cemas dan kecewa setelah gagal. Inilah yang membedakan mereka yang akhirnya bisa tembus ke level berikutnya dan dengan mereka yang terus terjebak di titik yang sama.
Adam Alter, PhD, adalah seorang profesor pemasaran dan Stansky Teaching Excellence Faculty Fellow di Stern School of Business, Universitas New York (NYU). Ia juga menjabat sebagai profesor afiliasi dalam bidang psikologi sosial di departemen psikologi NYU. Pada tahun 2020, ia terpilih sebagai profesor terbaik oleh fakultas dan mahasiswa di Stern School of Business NYU, dan pada tahun 2017 ia masuk dalam daftar Poets and Quants 40 Best Professors Under 40. Ia juga merupakan penulis dua buku terlaris versi New York Times: DRUNK TANK PINK dan IRRESISTIBLE.
Artikel ini diterjemahkan dari Ideas.Ted.com.