Bumi sedang tidak baik-baik saja. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah membunyikan “kode merah bagi kemanusiaan”. Suhu permukaan bumi telah melonjak sekitar 1,2° Celcius di atas level pra-industri, dan dekade terakhir tercatat sebagai yang terpanas dalam sejarah manusia. Tahun 2023 memecahkan rekor sebagai tahun terpanas, dan pola yang sama terus berlanjut. Ini bukan lagi ramalan, tapi kenyataan yang membuat bumi semakin panas.
Gletser di kutub mencair dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menumpahkan triliunan ton air ke lautan. Permukaan air laut naik, mengancam menenggelamkan kota-kota pesisir kita, termasuk sebagian dari Jakarta. Di satu sisi, badai dan banjir datang dengan kekuatan yang lebih menghancurkan. Di sisi lain, kekeringan memanggang lahan pertanian, mengancam lumbung pangan kita.
Diagnosisnya sudah jelas: kita keracunan bahan bakar fosil. Kecanduan kita pada batu bara, minyak, dan gas telah menyemburkan gas rumah kaca yang kini menyelimuti planet ini layaknya selimut demam yang mematikan. Gugatan terhadap energi kotor ini menggema di seluruh dunia, mendesak kita untuk berbalik arah sebelum terlambat.
Di tengah hiruk pikuk kepanikan modern ini, sebuah suara jernih pernah berbisik dari masa lalu. Suara itu digemakan Bung Hatta. Hampir seabad lalu, jauh sebelum istilah “pemanasan global” menjadi berita utama, salah satu bapak pendiri bangsa ini telah menuliskan sebuah resep untuk masa depan.

Dalam kumpulan tulisannya Beberapa Fasal Ekonomi (1935-1941), Hatta merenungkan takdir sebuah negeri yang dianugerahi begitu banyak gunung, sungai, dan air terjun. Baginya, aliran air itu bukan sekadar pemandangan indah atau rumah bagi ikan. Ia melihatnya sebagai sumber tenaga yang tak terbatas, sebuah anugerah kodrat.
“Negeri itu kaya akan tenaga listrik,” tulis Hatta dengan visi yang menembus zaman. Ia membayangkan sebuah bangsa yang tidak perlu bergantung pada batu bara yang kotor dan terbatas. Sebuah bangsa yang mampu menyalakan lampunya, menggerakkan mesin-mesin industrinya, hingga menjalankan keretanya dengan tenaga air yang bersih. “Dan ongkosnya lebih murah daripada menggali tambang,” imbuhnya, yang menjadi sebuah argumen relevan hingga hari ini.
Hatta melihat lebih jauh. Karena air adalah siklus yang tak ada habisnya, maka energi yang dihasilkannya pun abadi. Ini adalah esensi dari keberlanjutan. Dengan kebijaksanaan yang nyaris profetik, ia menyimpulkan bahwa negeri yang mampu memanfaatkan “kodrat air” pada akhirnya akan menjadi “negeri yang lebih berbahagia”.
Kini, hampir satu abad kemudian, resep Hatta itu tergeletak di hadapan kita, seolah menjadi cermin retak yang memantulkan kegagalan kita. Visi tentang kemandirian energi bersih itu terasa begitu jauh dari kenyataan.
Kita, bangsa yang diramalkan Hatta akan berbahagia dengan energi airnya, justru terperosok dalam kecanduan energi fosil. Hingga hari ini, hampir 90 persen sumber energi kita masih berbahan fosil: batu bara mencapai sebesar 38 persen, minyak bumi 31,6 persen, dan gas bumi 19,2 persen. Sementara bauran energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai 11,2 persen.
Padahal, potensi EBT kita adalah raksasa yang tertidur: 443 Gigawatt (GW) dari matahari, angin, air, hingga panas bumi. Namun, yang termanfaatkan baru secuil, tak lebih dari 3 persen dari total potensi tersebut.
Apa yang membuat kita, sebuah bangsa yang dikaruniai matahari tropis, embusan angin muson, dan gelombang samudra, justru memilih untuk terus menggali “kuburan” sendiri dari perut bumi? Jawabannya mungkin terletak pada logika profit jangka pendek yang telah membutakan kita dari kearifan jangka panjang.
Kini kita berdiri di persimpangan sejarah. Pilihan di hadapan kita bukan lagi sekadar antara energi fosil atau energi terbarukan. Ini adalah pilihan antara kebijaksanaan dan kebebalan; antara resep kebahagiaan yang diwariskan pendiri bangsa dan jalan menuju bencana ekologis. Resep Hatta tidak pernah usang. Ia hanya menunggu untuk dibaca dan dijalankan oleh generasi yang akhirnya sadar, bahwa menyelamatkan planet ini adalah cara kita untuk menyelamatkan diri sendiri.