Banyak Siswa Keracunan, Program MBG Harus Dievaluasi Total

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan tingkat keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencapai 99,9 persen dengan kasus keracunan hanya 0,005 persen dari 3 juta penerima manfaat, menunjukkan cara pandang keliru terhadap permasalahan serius dalam pelaksanaan program ini.

Pernyataan tersebut cenderung meremehkan dampak kasus keracunan, menunjukkan sesat pikir serta kurangnya fokus pada evaluasi menyeluruh agar tidak terjadi kasus serupa di kemudian hari.

Dirancang dengan semangat meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi bagi anak sekolah, mestinya Prabowo memperkuat indikator keberhasilan program ini. Langkah ini penting untuk mengukur dampak program terhadap perubahan status gizi anak-anak.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), misalnya, mengkritik bahwa program MBG belum tepat sasaran, terutama karena distribusi yang tidak merata dan pemangkasan biaya per porsi dari Rp 15 ribu-Rp 20 ribu menjadi Rp 10 ribu, sehingga berpotensi menurunkan kualitas gizi makanan. Tanpa indikator yang terukur, seperti penurunan persentase stunting di wilayah tertentu atau peningkatan status gizi anak berdasarkan data longitudinal, klaim keberhasilan 99,9 persen menjadi tidak bermakna. Pemerintah perlu menetapkan parameter konkret, seperti pengukuran tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh anak secara berkala, serta melibatkan ahli gizi independen untuk memvalidasi dampak program.

Makan siang (MBG) bersama di SD 1 Lengkong, Tangerang. Kredit: Aljazeera.com

Kasus keracunan tak bisa diremehkan dengan persentase

Prabowo menyebut bahwa kasus keracunan hanya mencakup sekitar 200 orang dari 3 juta penerima atau 0,005 persen, seolah-olah angka ini tidak signifikan. Pendekatan ini tak cuma keliru, tapi juga berbahaya. Keracunan makanan bukanlah masalah yang dapat dinilai dari persentase semata, karena setiap kasus berpotensi mengancam nyawa, terutama pada anak-anak yang memiliki sistem pencernaan sensitif.

Seperti diungkapkan pakar komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad, pernyataan yang menganggap remeh kasus keracunan menunjukkan kurangnya empati dan dapat memicu persepsi publik bahwa pemerintah tidak serius menangani masalah ini. Satu nyawa yang bisa hilang akibat keracunan sudah terlalu banyak, apalagi jika kejadian ini berulang di berbagai daerah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dalam tiga bulan, setidaknya 320 siswa diduga keracunan akibat makanan yang disajikan dalam program MBG. Hal ini menujukkan masalah ini bersifat sistemik, bukan insidental. Pemerintah harus merespons setiap kasus keracunan ini dengan serius, bukan meminimalkan dampaknya dengan statistik.

Pelibatan tentara dalam program Makan Siang Bergizi (MBG). Kredit: The Jakarta Post.

Perlu evaluasi menyeluruh

Prabowo seharusnya lebih fokus mengantisipasi masalah dalam pelaksanaan MBG ketimbang mengklaim tingkat keberhasilannya yang tinggi. Satu kasus keracunan saja seharusnya menjadi alarm untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh rantai pasok, mulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan, hingga distribusi.

Namun, pernyataan Prabowo cenderung bersifat defensif, bahkan menyebut faktor seperti anak tidak menggunakan sendok atau belum terbiasa minum susu sebagai penyebab keracunan. Hal ini jelas menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam tentang akar masalah.

Berikut daftar kasus keracunan MBG yang terjadi sejak program ini diluncurkan:

  • 2 Oktober 2024, Nganjuk, Jawa Timur
    Tujuh siswa SDN Banaran, Kertosono, mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan MBG yang diduga tidak layak konsumsi
  • 16 Januari 2025, Sukoharjo, Jawa Tengah
    40 siswa SDN Dukuh 03 mengalami mual, muntah, dan pusing setelah mengonsumsi ayam krispi yang diduga kurang matang.
  • 19 Januari 2025, Nunukan, Kalimantan Utara
    Siswa SDN 03 Nunukan dan SMAN 2 Nunukan Selatan keracunan setelah menyantap ikan tongkol MBG yang berulat.
  • 18 Februari 2025, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur
    29 siswa SD Katolik Andaluri dilarikan ke fasilitas kesehatan karena mual dan muntah setelah menyantap sajian MBG.
  • 19 Februari 2025, Pandeglang, Banten
    28 siswa SDN 2 Alaswangi mengalami gangguan pencernaan setelah menyantap MBG.
  • 26 Februari 2025, Mangarabombang, Takalar, Sulawesi Selatan
    Tiga siswa dari tiga SD mengalami mual, pusing, dan sakit perut setelah mengonsumsi MBG.
  • 14 April 2025, Batang, Jawa Tengah
    60 siswa SDN Proyonanggan 5 mengalami mual dan sakit perut akibat mi yang diduga basi.
  • 21 April 2025, Cianjur, Jawa Barat
    78 siswa MAN 1 dan SMP PGRI 1 mengalami muntah, pusing, dan diare, sehingga ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
  • 23 April 2025, Bombana, Sulawesi Tenggara
    13 siswa SDN 33 Kasipute muntah dan sakit perut setelah menyantap ayam tepung yang basi.
  • 29 April 2025, Bandung, Jawa Barat
    342 siswa SMPN 35 mengalami diare, mual, dan muntah setelah menyantap MBG yang berbau tidak sedap.
  • 30 April-1 Mei 2025, Tasikmalaya, Jawa Barat
    24 siswa dari TK, SD, dan SMP di Kecamatan Rajapolah mengalami mual, diare, dan muntah; delapan dirawat inap, satu dirujuk ke rumah sakit.
Kepala BGN Dadan Hindayana saat menjenguk siswa yang mengalami keracunan di Cianjur, Jawa Barat. Kredit: Detik.com

Kasus-kasus ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam pengelolaan MBG, termasuk buruknya standar keamanan pangan, pengawasan yang lemah, dan ketidakpatuhan terhadap Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).

Untuk mengatasi masalah yang terus berulang, pemerintah perlu mengambil langkah tegas dengan menerapkan solusi berikut:

Pertama, moratorium pelaksanaan MBG

Program MBG harus dihentikan sementara untuk mencegah lebih banyak korban keracunan, seperti yang disarankan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio.

Kedua, evaluasi menyeluruh

Lakukan audit menyeluruh terhadap vendor, dapur umum (SPPG) dan proses distribusi, dengan melibatkan ahli independen dan lembaga seperti KPAI.

Ketiga, ubah pola kebijakan

Alihkan pendekatan berbasis proyek mejadi pendekatan berbasis komunitas, dengan menyediakan bahan makanan berkualitas yang sesuai dengan nilai-nilai lokal, seperti makanan tradisional yang kaya gizi. Hindari penggunaan produk olahan yang tinggi gula, garam, dan lemak, seperti yang ditemukan dalam 45 persen sampel menu MBG.

Keempat, libatkan fasilitas kesehatan lokal

Puskesmas, Posyandu dan rumah sakit harus dilibatkan untuk memastikan standar kesehatan dan gizi, termasuk memeriksa kualitas makanan sebelum didistribusikan.

Kelima, partisipasi orangtua

Alih-alih membangun dapur umum berbiaya tinggi dan rentan korupsi, lebih baik libatkan orangtua secara maksimal dalam perencanaan, menyediakan dan pengawasan menu untuk memberikan sentuhan psikologis yang membuat anak merasa nyaman atas makanan yang disajikan. Ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas program.

Jadi, bagaimana pun juga, pernyataan Prabowo yang meminimalkan kasus keracunan MBG sebagai persentase kecil menunjukkan kurangnya sensitivitas terhadap dampak serius dari kegagalan program ini. Tanpa indikator keberhasilan secara jelas, respons serius terhadap kasus keracunan dan fokus pada antisipasi masalah, MBG berisiko menjadi program yang justru membahayakan anak-anak. Dengan menerapkan moratorium, evaluasi menyeluruh dan reformasi kebijakan yang melibatkan komunitas lokal serta fasilitas kesehatan, pemerintah dapat memastikan bahwa MBG benar-benar memenuhi tujuannya, yakni meningkatkan gizi anak-anak tanpa mengorbankan keselamatan mereka.

Langkah ini bukan sekadar kebutuhan, tetapi tanggung jawab moral untuk melindungi generasi masa depan Indonesia.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Petisi 50: Gerakan Tokoh Bangsa Menggugat Manipulasi Pancasila

Petisi 50: Gerakan Tokoh Bangsa Menggugat Manipulasi Pancasila

Dan, di puncaknya, Soeharto, sang Presiden, Jenderal Besar, Bapak Pembangunan,

You May Also Like
Total
0
Share