Tragedi Semanggi, yang terjadi pada 13 November 1998, merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia. Saat itu, Indonesia berada dalam masa transisi dari pemerintahan Orde Baru menuju pemerintahan yang lebih demokratis.
Setelah runtuhnya Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, B.J. Habibie diangkat sebagai Presiden Indonesia. Meski menjadi simbol perubahan, pemerintah Habibie tetap dinilai sebagai bagian dari Orde Baru oleh rakyat Indonesia yang sudah lelah dengan kediktatoran dan korupsi.
Oleh karena itu, ketika pemerintahan transisi ini mengumumkan akan mengadakan Sidang Istimewa (SI) MPR pada November 1998, banyak pihak, terutama mahasiswa dan rakyat, merasa bahwa sidang tersebut hanyalah kelanjutan dari Orde Baru. Mereka menolak pelaksanaan sidang ini karena menganggap pemerintahan Habibie dan komposisi DPR/MPR masih didominasi oleh para pelaku politik dari rezim sebelumnya.
Selain menolak keberlanjutan Orde Baru, para demonstran juga mengajukan tuntutan besar lainnya, yaitu pencabutan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sebuah konsep yang memberikan peran ganda kepada militer, baik dalam urusan pertahanan negara maupun dalam peran sosial-politik.
Dwi Fungsi ABRI dianggap sebagai bentuk campur tangan militer dalam pemerintahan sipil, yang pada masa Orde Baru sering disalahgunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan menjaga kekuasaan politik. Dengan berakhirnya Orde Baru,gerakan pro-demokrasi menginginkan pemisahan total peran militer dari kehidupan politik. Sebab, militerisme dan senjata tidak pernah compatible dengan demokrasi.
Aksi Protes dan Represi Aparat
Saat Sidang Istimewa MPR berlangsung, gelombang protes dari berbagai kalangan pun memuncak. Pada hari pertama aksi, yaitu 11 November 1998, ribuan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan. Massa yang bergerak dari Salemba segera dihadang oleh PAM Swakarsa, sebuah kelompok sipil bersenjata yang dibentuk oleh militer di bawah kendali Panglima TNI saat itu, Wiranto.
Namun, protes ini tidak terhenti di hari pertama saja. Pada hari kedua, yaitu 12 November, jumlah massa yang turun ke jalan semakin banyak. Ratusan ribu orang yang berkumpul berusaha menuju gedung DPR/MPR untuk menyuarakan tuntutan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka dihalangi oleh barisan TNI, Brimob, dan PAM Swakarsa yang sudah siap siaga menjaga gedung parlemen. Ketegangan terus meningkat, namun massa tetap bergerak maju.
Puncak protes terjadi pada 13 November 1998. Semakin banyak massa yang turun ke jalan, memenuhi kawasan Semanggi dan sekitarnya. Mereka berharap bisa menyampaikan aspirasi langsung kepada para wakil rakyat. Namun, menjelang sore hari, aparat keamanan menggunakan tindakan represif untuk membubarkan massa. Dengan peralatan lengkap, termasuk kendaraan lapis baja, aparat mulai mendorong mundur demonstran. Bentrokan besar pun tak terelakkan.
Mahasiswa dan masyarakat yang ikut dalam aksi tersebut terpaksa mundur ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung, namun aparat tetap mengejar hingga ke dalam kampus dan bahkan melepaskan tembakan peluru tajam. Kekerasan yang terjadi di Semanggi ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka yang tidak sedikit.
Berdasarkan laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, peristiwa ini menelan 17 korban jiwa, yang terdiri dari enam mahasiswa, dua pelajar SMA, dua anggota polisi, satu satpam, empat anggota PAM Swakarsa, dan tiga warga sipil lainnya. Selain korban meninggal, ada sekitar 456 orang yang terluka akibat tembakan senjata api maupun pemukulan dengan benda keras oleh aparat.
Hambatan dalam Mengungkap Kebenaran
Setelah tragedi ini, harapan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan pengungkapan kebenaran muncul. Pada tahun 2000, tekanan dari mahasiswa dan keluarga korban membuat DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS).
Sayangnya, setelah setahun bekerja, Pansus tersebut menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM dalam kasus Trisakti dan Semanggi. Keputusan ini mengecewakan banyak pihak yang menganggap bahwa negara abai terhadap penderitaan para korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Dalam upaya memberikan penanganan yang lebih serius, Komnas HAM kemudian mengambil alih kasus ini dan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Berat Trisakti, Semanggi I dan II. Hasil investigasi pada 21 Maret 2002 menunjukkan bahwa sekitar 50 anggota TNI dan Polri diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM berat pada dua peristiwa tersebut.
Meski hasil penyelidikan ini sudah jelas, proses hukum bagi para pelaku tetap menemui banyak hambatan. Meskipun pada tahun 2000 Indonesia telah memiliki UU nomor 26 tentang Pengadilan HAM, pengadilan HAM untuk kasus ini tidak kunjung terbentuk.
Komnas HAM telah menyerahkan beberapa kasus pelanggaran HAM kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti, namun berkas-berkas itu hanya berputar-putar antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Puncaknya terjadi pada Mei 2020, saat Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat. Pernyataan ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan keluarga korban, yang kemudian menggugat pernyataan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN memutuskan bahwa pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak sesuai dengan fakta dan melanggar hukum. Namun, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada akhirnya memenangkan Burhanuddin.
Hari ini, 26 tahun setelah peristiwa kelam di Semanggi, keadilan bagi para korban masih belum terpenuhi. Pada masa pemerintahan Joko Widodo, yang pada masa kampanye Pemilu berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, belum memberikan titik terang bagi keluarga korban. Tragedi Semanggi I masih menjadi catatan pilu dalam sejarah Indonesia, mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keadilan masih panjang.