Istilah “wong cilik” sering disematkan kepada mereka yang berada dalam lapisan sosial terbawah. Dalam politik, istilah wong cilik menjadi brand sebuah partai politik arus utama.
Istilah wong cilik berasal dari bahasa Jawa, yang secara harfiah berarti orang kecil. Istilah ini untuk menjelaskan lapisan sosial terbawah dalam masyarakat Indonesia: rakyat jelata.
Sekilas sejarah
Dalam sejarah, istilah wong cilik sudah dipergunakan sejak awal abad ke-20. Sebuah artikel dalam koran Medan Prijaji pada 1910 sudah menggunakan istilah “wong cilik”.
Pada 1921, Sukarno memperkenalkan sebuah istilah baru: marhaen. Kaum marhaen merujuk pada lapisan sosial menengah dan bawah dalam masyarakat Indonesia, yang meliputi petani kecil/gurem, pedagang kecil, dan pelaku usaha kecil.
Pada 1960-an, istilah marhaen meluas dan meliputi petani kecil, kaum buruh, kaum miskin perkotaan, dan kelompok marginal lainnya.
Secara historis, wong cilik mewakili sebuah identitas politik berbasis kelas: petani, buruh, kaum miskin perkotaan, dan borjuis kecil. Di sisi lain, karena merujuk pada lapisan sosial terbawah, istilah wong cilik sering menjadi basis politik populisme.
Istilah ini kerap disandingkan dengan istilah populis yang lain: ratu adil. Ratu adil mewakili ekspresi harapan dan mimpi ideal wong cilik di sepanjang lintasan sejarah Nusantara.
Ketika berhadap-hadapan dengan ketidakadilan, wong cilik menghidupkan harapan akan ratu adil. Kadang diletupkan lewat pemberontakan atau revolusi sosial. Terkadang revolusi sosial itu membawa sedikit perubahan, tetapi lebih banyak yang kalah. Tetapi harapan bernama ratu adil terus terawat dalam sanubari wong cilik.
PDI-Perjuangan dan wong cilik
Menurut Retor AW Kaligis dalam “Marhaen dan Wong Cilik”, istilah “wong cilik” mulai diadopsi oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1980-an.
Saat itu, tahun 1987, Megawati Soekarnoputri mulai debut politiknya dengan bergabung ke dalam PDI. Kehadiran Megawati memberi napas baru bagi PDI dan disambut rakyat jelata.
“Setelah itu karena pemilu kan kampanye ya, jadi saya mulai melihat dari kita selalu diberi lapangan yang kecil karena dianggap PDI itu kecil. Dibilang partai wong cilik, partai sandal jepit,” kenang Megawati.
Pada 1999, PDI di bawah Megawati berubah nama menjadi PDI-Perjuangan. Partai ini pun identik sebagai partainya wong cilik atau rakyat jelata.
Sayang sekali, dua kali memegang tampuk kekuasaan, PDI-Perjuangan justru tak berbeda jauh dengan parpol kanan dan borjuis. Kebijakan mereka lebih banyak merangkul segelintir kaum kaya dan pebisnis besar, sembari mengempas nasib wong cilik.