Malam itu, 4 Juli 1927, tujuh orang berkumpul di sebuah rumah sederhana di Regentsweg Nomor 22 Bandung.
Dari tujuh orang itu, hanya Tjipto Mangoenkoesoemo yang berusia kepala empat. Sisanya anak-anak muda berusia 30 tahun ke bawah: Sukarno, Iskak Tjokroadisurjo, Sunario Sastrowardoyo, Sartono, Samsi Sastrawidagda, dan Ir Anwari.
Malam itu, anak-anak muda tersebut menulis lembar baru sejarah pergerakan politik negerinya: mendirikan partai politik paling radikal dan terbesar di zamannya.
“Pada 4 Juli 1927, dengan dukungan enam kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI, Partai Nasional Indonesia. Rakyat sudah siap. Bung Karno sudah siap,” kata Sukarno.
Saat itu, mendirikan partai politik, apalagi dengan tujuan membangun politik radikal, sama dengan mewakafkan diri untuk menerima represi Belanda.
Pasca pemberontakan PKI pada 1926/1927, Belanda sangat alergi dengan semua gerakan yang berbau politik. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda kala itu, Andries Cornelies Dirk de Graeff, tak segan-segan menangkapi aktivis politik. Saat itu, setidaknya 4.500 orang dipenjara, sekitar 1.300 orang dibuang, dan empat orang dihukum mati.
Di sisi lain, Sukarno dan kawan-kawannya tak gentar. Ancaman penjara dan pembuangan tak membuat nyali mereka surut.
“Pada setiap cangkir kopi tubruk, di setiap sudut di mana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah‐mulut orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur.”
Awalnya organisasi politik ini bernama Perserikatan Nasional Indonesia, disingkat PNI. Sukarno ditunjuk sebagai ketua, sementara Mr Iskaq Tjokroadisoerjo menjabat sekretaris merangkap bendahara.
Pada kongres pertama PNI di Stadstuin Theater, Surabaya, pada 28-30 Mei 1928, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Saat itu, kongres juga mengesahkan cabang-cabang PNI di Jakarta, Mataram, Cirebon, dan lain-lain.
Berbeda dengan organisasi kebanyakan saat itu, PNI mengambil jalan non-koperasi alias menolak bekerjasama dalam bentuk apa pun dengan pemerintah Hindia-Belanda. Tujuan politiknya terang-terangan menyebut Indonesia merdeka.
Ibarat api yang menyambar ranting kering, PNI cepat membesar. Pada Kongres pertama Mei 1928, pesertanya sudah mencapai 3.000-3.500 orang.
Kemampuan berpidato Sukarno, yang dijuluki singa podium, berhasil menyihir massa untuk berbondong-bondong mendatangi rapat-rapat akbar yang diselenggarakan cabang-cabang PNI. Sukarno benar-benar mengikuti pesan gurunya, Tjokroaminoto: “Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator.”
“Kami tidak mempunyai pengeras-suara, karena itu aku harus berteriak sampai parau. Di waktu sore aku memekik-mekik kepada rakjat jang menjemput di tanah lapang. Di malam hari aku membakar hati orang-orang yang berdesak-desak sampai berdiri dalam gedung pertemuan,” kenang Sukarno.
Selain itu, PNI punya alat untuk berbicara sekaligus menyebarkan ide-idenya ke rakyat. Alat itu adalah koran Fikiran Ra’jat dan Persatoean Indonesia. PNI juga aktif menggelar kursus-kursus politik di mana-mana untuk merekrut kader.
Pada kongres ke-2 pada 28-30 Mei 1929, PNI makin kokoh secara ideologi, politik, dan organisasi. Keanggotaannya meningkat pesat melebihi 10 ribu orang.
Rapat-rapat umumnya semakin disemuti massa. Koran-koran propagandanya menyebar menularkan virus anti-kolonialisme. Tidak hanya di Hindia-Belanda, koran-koran PNI menyeberang hingga ke Malaya. Tak hanya mempengaruhi pikiran kaum terpelajar dan rakyat jelata, corong-corong propaganda PNI bahkan membuat banyak anggota polisi keturunan bumiputera mulai terpapar virus anti-kolonialisme.
Dalam dua tahun, PNI menjelma menjadi kekuatan politik yang besar. Sayap-sayap pengorganisiran pun melebar. Untuk menghimpun para sopir, PNI mendirikan Persatoean Motoris Indonesia. Pelaut dan kelasi dihimpun dalam Sarekat Anak Kapal Indonesia. Tak ketinggalan, babu dan jongos dihimpun lewat Persatoean Djongos Indonesia.
Selain itu, demi membangkitkan ekonomi kaum marhaen, PNI menghidupkan koperasi-koperasi. Pada kongres ke-2, Sukarno sendiri yang tampil sebagai penganjur koperasi. Lantaran isu koperasi agak mencolok dibahas di kongres ini, maka muncul sebutan “kongres koperasi”.
Pada 1929, PNI juga menjadi pelopor dari sebuah front politik luas bernama Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Hampir semua organisasi politik, baik radikal maupun moderat, dihimpun dalam front luas itu.
Belanda pun ketar-ketir. Akhirnya, demi menghadang laju pembesaran PNI, Belanda menggunakan pendekatan primitif: represi. Pada akhir Desember 1929, Belanda menangkapi pimpinan PNI, termasuk Sukarno. PNI dituding sedang menyiapkan pemberontakan.
Penangkapan Sukarno dan pemimpin PNI lainnya menjadi titik balik bagi organisasi politik radikal itu. Pada Januari 1930, Belanda mulai melarang aktivitas politik PNI. Sartono kemudian mengambilalih kepemimpinan PNI agar roda organisasi tetap berjalan. Namun, dalam forum Kongres Luar Biasa pada 25 April 1931, Sartono dan pimpinan PNI justru membubarkan PNI.
Lucunya, empat hari kemudian, Sartono membentuk partai baru: Partai Indonesia atau Partindo. Secara ideologi dan politik, Partindo tak banyak berbeda dengan PNI yang sudah bubar. Bermodalkan sisa-sisa anggota PNI yang berserakan, Partindo mencoba bangkit. Namun, tak semua bekas kader PNI setuju dengan Partindo.
Pembubaran PNI sendiri menuai penolakan dari sejumlah kader. Kelompok ini menamai diri Golongan Merdeka. Mereka menerbitkan koran baru: Daulat Ra’jat. Pada 1931, kelompok ini menjelma menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) baru. Motor penggeraknya dua sekawan: Mohammad Hatta dan Sjahrir.
PNI baru mengambil jalan berbeda dengan PNI lama. Partai ini menekankan kaderisasi ketimbang kuantitas anggota. Secara politik, PNI baru juga mengambil garis radikal: non-koperasi dengan Belanda.
Pada 1931, setelah keluar dari penjara, Sukarno berusaha menyatukan Partindo dan PNI baru. Selama enam bulan, ia berusaha menjembatani kedua kubu. Sayang, jembatan itu tidak berhasil. Sukarno sendiri memilih berlabuh di Partindo.