Saya masih bocah ketika siaran Dunia Dalam Berita menyajikan peristiwa-peristiwa di Palestina pada bulan Desember. Mata dan telinga saya menyimaknya lewat TVRI—satu-satunya televisi yang diizinkan mengudara di era Orde Baru.
Saat itu pembangkangan tengah meletus di Palestina. Hujan batu mewarnai Jabaliya dan peluru-peluru berterbangan sepanjang bulan. Dunia kemudian menyebutnya sebagai Intifada Pertama.
Ketika itu saya belum mengerti benar apa yang sebenarnya terjadi. Ayah, seorang penutur yang baik dalam banyak tema, dengan telaten menjelaskan satu persatu. Siapa itu Abu Ammar, Shimon Peres, apa itu PLO dan mengapa kita harus memusuhi zionis Israel dan Amerika tanpa ampun. Penjelasan-penjelasan tersebut menancap di kepala dan kalbu. Saya kira itu adalah warisan terbaik yang bisa diberikan seorang ayah kepada putra tertuanya.
Pada 25 November, serangan yang diprakarsai PFLP-GC mengejutkan Tel Aviv. Seorang gerilyawan Palestina terbang di kegelapan malam menggunakan gantole, menembak mati enam serdadu Israel. Sejarah menyebutnya sebagai ‘Night of Gliders’. Dua pekan berselang truk militer Israel menabrak penduduk sipil Palestina. Empat tewas, tujuh terluka parah. Dan, Rabu 9 Desember 1987, intifada pun pecah. Hari ini, 37 tahun silam.
Di kala peristiwa itu bergulir, Ramzi Baroud masih berumur 15 tahun. Miskin, kurus, terlunta-lunta. Ia putra dari Muhammad, seorang pejuang kemerdekaan dari Kamp Nuseirat. Kakeknya petani yang meninggal karena patah hati, sebab tak bisa kembali ke tanah dan rumahnya yang dirampas penjajah.
Ramzi memiliki adik yang meninggal karena tak ada obat di klinik pengungsi PBB. Ibunya bernama Zarifah, yang bahkan tak mampu mengeja namanya. Meski buta huruf hatinya dipenuhi cinta bagi anak-anaknya. Perempuan yang memiliki kesabaran seorang nabi.
Dalam memoarnya Ramzi menulis, “Bagiku dan banyak generasiku, intifada bukanlah pertandingan politik. Itu adalah aksi personal, serta pembebasan kolektif. Kemampuan untuk mengartikulasikan siapa diri kita pada saat semua orang merasa kalah.”
Ramzi mengingat apa yang dirasakannya pada saat itu. “Aku mengambil sebongkah batu, dan tetap berdiri. Beberapa bocah berlari menuju tentara, dengan bebatuan dan bendera. Tentara semakin dekat. Mereka tampak menyeramkan dan asing. Ketika bocah-bocah mulai melemparkan batu ke arah tentara, kegelisahanku mereda. Aku merasa bahwa diriku nyata.”
“Aku melontarkan batu pertamaku. Lemparan yang meleset, tak mencapai sasaran. Batu itu jatuh tak jauh di depanku. Namun, entah bagaimana, aku tiba-tiba merasa terbebaskan. Di benakku sirna sudah gambaran seorang pengungsi yang berdiri terabaikan dalam antrean panjang di depan pusat makanan PBB, mengulurkan tangan untuk roti isi falafel kering dan telur yang cuma separuh.”
Waktu lamat-lamat berlalu. Hari berganti, bulan bersalin, tahun beralih. Manusia makin menua, tetapi wajah Palestina tetap serupa. Setahun sudah genosida menggelinding. Dunia seperti kakek jompo yang buntung, tak mampu berbuat apa-apa. Orang-orang yang mengklaim dirinya “mujahidin” baru saja menaklukkan Suriah. Dalam video pendek yang menyebar di sosial media, segelintir dari mereka berjanji: usai Damaskus, mereka akan menaklukkan Tel Aviv.
Janji tersebut terdengar serupa bualan di siang bolong. Orang-orang ini telah bertempur selama 12 tahun selama Perang Suriah, nyatanya tak sebutir pun peluru mereka bidikkan ke IDF. Dulu mereka bernama ISIS dan Al Nusra, sekarang berganti jubah yang lebih ramah, Hay’at Tahrir al-Sham. Mereka adalah barisan sama yang bertahun silam menyerang kamp pengungsi Palestina di Yarmouk.
Tahun ini Ramzi Baroud menginjak usia 52. Tahun ketika dia mesti menyaksikan bangsanya kembali teraniaya, persis seperti yang dialaminya saat bocah—atau bahkan lebih buruk. Sementara setiap bercerita Palestina ayah saya senantiasa berseru, “kebenaran pada akhirnya akan menang!”. Saya percaya ucapannya itu hingga kini, sebagaimana sekarang saya dipaksa percaya, mungkin kebenaran yang menang tak akan terjadi di zaman kita.