Dalam suasana memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), mari mengenang tokoh penting dalam gerakan pendidikan nasional Indonesia, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Tokoh yang dijuluki sebagai “Bapak Pendidikan Nasional” ini sangat kaya dengan konsep dan gagasan-gagasan pendidikan. Tidak sedikit dari konsep pendidikan itu yang masih sangat relevan dengan situasi sekarang ini.
Inilah 5 konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang sangat relevan untuk saat ini.
#1 Sistem Among
Sistem Among adalah model pengajaran yang menekankan persuasi dan kemerdekaan berpikir dan mengembangkan potensi diri, bukan paksaan dan dikte. Tugas guru atau pamong adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan anak mengembangkan potensi atau kodratnya.
Dalam penerapannya, sistem among memperhitungkan kodrat alam dan kemerdekaan anak didik. Kodrat alam menyangkut potensi, minat, dan kemampuan berpikir anak didik. Sedangkan kemerdekaan menyangkut situasi yang memungkinkan si anak didik bisa merdeka berpikir, merdeka batin, dan merdeka tenaga.
Ki Hajar Dewantara punya slogan yang terkenal: Ing Ngarsa Sung Tuladha (siapa yang di depan haruslah memberi contoh yang baik), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah harus memberikan ide atau gagasan), Tut Wuri Handayani (yang di belakang harus memberikan dorongan).
#2 Pendidikan yang Holistik
Ki Hajar Dewantara meletakkan pendidikan bukan sekadar proses belajar dan mengajar di sekolah atau lembaga pendidikan. Dia melihat ruang pendidikan itu secara holistik.
Ki Hajar memperkenalkan konsep yang disebut Tripusat pendidikan, yaitu alam keluarga, alam perguruan (lembaga pendidikan), dan alam pergerakan pemuda (partisipasi dalam kehidupan sosial maupun organisasi sosial).
Jadi, bagi Ki Hajar, pendidikan itu bukan sekedar sebuah proses dalam ruang kelas, melainkan seperti kata-kata dia: “Jadikan setiap orang sebagai guru dan setiap tempat sebagai sekolah.”
#3 Konsep “Tri No” dan “Tri Nga”
Ki Hajar Dewantara memperkenalkan konsep pembelajaran yang disebut Tri No untuk pendidikan pra-sekolah dan Tri Nga untuk pendidikan dasar dan jenjang di atasnya.
Tri No berarti nonton (melihat keadaan sekitar atau objek tertentu), niteni (menandai, mempelajari, mencermati hal-hal yang disaksikan oleh panca indera), Nirokke (meniru atau mengambil pelajaran dari yang baik).
Sementara Tri Nga, yaitu Ngerti (memahami sesuatu hal ihwal), Ngerasa (merasakan, merespon, dan memetik sesuatu pelajaran), dan Nglakoni (mempraktekkan pengetahuan yang didapatkan secara bijak dan bertanggung jawab).
#4 Pendidikan untuk Semua
Prinsip pendidikan ala Ki Hajar Dewantara bersifat inklusif dan egaliter. Pintu pendidikan terbuka untuk semua, tanpa memandang suku, agama, jenis kelamin, status sosial, maupun ras.
Taman Siswa menentang hierarki sosial yang feodalistik. Karena itu, semua orang di dalam Taman Siswa mendapat panggilan yang setara: Ki untuk laki-laki, Nyi untuk perempuan yang sudah menikah, dan Ni untuk perempuan yang belum menikah.
Ki Hajar Dewantara adalah peletak dasar dari konsep merdeka belajar. Merdeka belajar bagi Ki Hajar bukan sekadar kemerdekaan berpikir, tetapi juga kemerdekaan batin dan fisik.
Merdeka belajar juga berarti pengakuan terhadap potensi, bakat, dan kemampuan berpikir siswa yang unik. Keunikan inilah yang harus dibaca oleh para guru (pamong) untuk difasilitasi, didorong, dan dikembangkan agar anak berkembang sesuai kodratnya.
“Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak yang satu dan yang lain harus diperhatikan dan diakomodasi,” kata Ki Hajar Dewantara, Pusara, 1940.
Merdeka belajar juga berarti keluwesan dalam melakukan proses pengajaran. Tidak kaku, tidak mesti di dalam ruangan, dan tidak harus terjebak dalam formalisme.