Tan Malaka dan Islam

Tertulis dalam sejarah resmi sebagai seorang komunis, Tan Malaka dianggap berjarak sangat jauh dengan agama. Tak sedikit yang secara sembrono mengecapnya sebagai ateis dan anti-Islam.

Namun, siapa sangka, meski terpapar marxisme, Tan Malaka tak pernah berjarak jauh dengan Islam. Ia adalah satu dari tidak sedikit tokoh kiri yang berusaha meletakkan Islam dan marxisme tetap seiring-sejalan.

Bahkan, tidak jarang, mereka memadukan antara marxisme dan Islamisme. Sampai lahir jargon yang sangat terkenal di zaman itu: “Kami Islam se- Islam-Islamnya. Dalam menghadapi kapitalis, kami Marxis se-Marxis-Marxisnya.”

Masa kecil yang religius

Tan Malaka lahir dari keluarga pemeluk Islam di Sumatera Barat. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat,” katanya di dalam risalah berjudul Islam Dalam Tinjauan Madilog (1948). Bahkan, melebihi orang-orang yang sering mengkafirkannya, Tan Malaka kecil sudah bisa menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi guru muda.

Tan sangat mengagumi Nabi Muhammad SAW. Semasa masih kecil, ketika ibunya menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW yang yatim-piatu, air mata Tan mengucur. Bahkan, seperti dituturkan keponakan Tan, Zulfikar, “Tan Malaka kecil, sering dipanggil Ibra, tidak pernah meninggalkan sembahyang dan hafal Al-quran.”

Ketika belajar di Haarlem, negeri Belanda, Tan Malaka tidak putus dengan ajaran Islam. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda beberapa kali ditamatkannya. Buku-buku tentang Islam, termasuk karya Snouck Hurgronje, terus dibacanya.

Berkenalan dengan marxisme

Di negeri Belanda, Tan bergaul dengan banyak bacaan baru yang sedang naik daun. Salah satunya, marxisme.

Pada 1917, revolusi Rusia menang, dan kabar kemenangannya berembus menebar optimisme pembebasan ke banyak telinga. Salah satunya, anak muda bernama Tan Malaka.

Setelah terpapar marxisme, terutama filsafat Materialisme Dialektika Historis (MDH), pandangan Tan tentang Islam memang bergeser menjadi lebih materialis.
Ketika bicara tentang konsep Tauhid, yaitu pengakuan terhadap Keesaan Allah SWT, Tan mengaitkannya dengan sejarah ekonomi dan politik masyarakat Arab.

Menurutnya, masyarakat Arab sebelum Muhammad SAW terbelah dalam banyak suku dan masing-masing menyembah bermacam-macam berhala. Akibatnya, bangsa Arab terperosok dalam konflik dan perang yang panjang.

Tan menjelaskan, ajaran Islam yang disiarkan oleh Muhammad SAW, yang menekankan Tuhan yang Esa, merupakan jawaban atas perpecahan dan konflik itu.

Tan mengatakan, “Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung di mana pun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.”

Tan Malaka juga menjelaskan, faktor kemunculan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW bukan sebagai faktor immaterial, melainkan faktor material (sesuatu yang konkret dan bisa dibuktikan).

Di sini, ada dua faktor materialnya. Pertama, pengalaman Muhammad SAW melakukan perjalanan ke negara-negara sekitar Arab memperkaya pengetahuan dan membentuk karakter kepemimpinannya. Dalam perjalanan jauh itu, ia mengamati berbagai fenomena alam, seperti bulan, peredaran bintang, dan jatuhnya hujan, sembari mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

“Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang menjatuhkan hujan yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu? Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku, memperlihatkan seteru sengketa dan menerangi gelap gulita itu: mengangkat bangsaku jadi obor dunia?“ kata Tan Malaka.

Kedua, Muhammad muda yang haus pengetahuan, yang selalu ingin mengetahui asal-usul segala sesuatu, memberinya petunjuk untuk berpikir luas dan besar. Terhadap hal ini, Tan menjelaskan, “Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.”

Bagi Tan, kendati Nabi Muhammad SAW masih buta-huruf, universitas kehidupan telah menggemblengnya mengenali berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya dan menemukan jalan pemecahannya. Pengalaman ini yang membentuk Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin besar.

Dalam konteks Madilog, kata Tan Malaka, “Yang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari undang-undang alam (hukum alam).” Menurut dia, jangkauan ‘ilmu bukti’ hanyalah pada hukum atau kodrat alam, yakni hukum yang mengatur benda-benda di alam raya ini untuk bergerak berpadu, berpisah, saling tolak, saling tarik, dan sebagainya.
Sementara “Yang Maha Kuasa”, juga surga dan neraka, jelas berada di luar “ilmu bukti”. Dan berarti di luar jangkauan Madilog. Bagi Tan Malaka, percaya dan tidaknya akan “Yang Maha Kuasa” itu tergantung dari masing-masing orang.

“Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung,” kata Tan Malaka.

Kembali ke Indonesia

Tahun 1919, Tan kembali ke Indonesia. Sempat menjadi pengajar bagi anak-anak kuli perkebunan di Deli, Sumatera Timur, sepanjang 1920-1921, Tan hijrah ke Jawa.

Ia ikut hadir di Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta pada Maret 1921. Saat itu, organisasi terbesar di tanah Hindia itu tengah dilanda perpecahan antara faksi SI Putih versus SI Merah.

Semaun, Ketua PKI saat itu, mengajak Tan ke Semarang. Di sana Semaun meminta Tan membantunya mendirikan sekolah-sekolah yang disponsori oleh SI Semarang. Namanya SI School atau Sekolahan SI Semarang. Tan Malaka menjadi pengajar utama di sekolah tersebut.

Pada Oktober 1921, setelah Semaoen meninggalkan Hindia, Tan ditunjuk sebagai ketua PKI. Di bawah kepemimpinannya, PKI kembali didorong agar rendah hati untuk bekerjasama dengan Islamisme demi melawan kolonialisme.

Di bawah kepemimpinannya, PKI membentuk Komite Haji guna mendesak pemerintah Hindia-Belanda untuk mempermudah proses penyelenggaraan ibadah haji.

Persatuan dan perpecahan

Sejak tahun 1916, pasca kegagalan kerjasama dengan Insulinde, kaum sosialis (ISDV) mulai menjajaki kerjasama dengan Sarekat Islam. Sejak itu, titik temu antara sosialisme dan Islam banyak dibicarakan. Apalagi, keduanya sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme.

Namun, sejumlah masalah pribadi mengusik kerjasama itu. Pertama, pada tahun 1920, posisi Tjokroaminoto sebagai ketua SI mulai merosot. Terutama karena kasus ‘Seksi B’, yaitu pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat. Pemberontakan yang dikaitkan dengan SI itu membuat posisi Tjokro dalam bahaya. Karena itu, Tjokro meminta agar SI mengendurkan serangan dan menghindari kontroversi yang mengganggu penguasa. SI cabang Semarang, yang memang dikuasai kaum merah, mengecam sikap Tjokro yang melemah.

Kedua, serangan Darsono, seorang tokoh ISDV, yang membongkar kasus korupsi di tubuh pimpinan SI, Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo. Tuduhan Darsono itu benar-benar menampar tokoh-tokoh SI, terutama para loyalis Tjokro.

Beruntung, pada kongres SI di Maret 1921, riak-riak itu berhasil diredam sementara. Semaun dan Haji Agus Salim sepakat menyusun program bersama berdasarkan prinsip Islam dan komunis. Salah satu poin kesepakatan itu adalah: Sarekat Islam menetapkan penindasan secara nasional dan ekonomi sebagai produk kapitalisme. Karena itu, rakyat jajahan harus melawan kejahatan itu, termasuk melawan kapitalisme, lewat pengorganisasian buruh dan tani.

Namun, kerjasama ini berumur pendek. Rupanya, sentimen anti-komunis makin merasuki segelintir pimpinan SI, terutama Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Keduanya mulai berpikir untuk menendang kaum komunis dari SI.

Propaganda anti-komunis pun dilancarkan. Tjokro berkampanye bahwa SI berdasarkan agama Islam, sedangkan komunis tidak percaya Tuhan dan tidak mengakui agama Islam. Agus Salim, yang berada di balik proposal Disiplin Partai, menyatakan bahwa SI mendasarkan perjuangannya pada semua kelas, sementara komunis hanya pada satu kelas: proletar (lihat, Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, hal 326).

Tak hanya itu, Tjokro dan Agus Salim menuding kaum komunis sebagai “tukang pecah-belah”. Lalu, dengan meminjam tesis Komunis Internasional (Komintern) tentang Pan Islamisme, keduanya mempropagandakan bahwa kaum komunis menentang proyek Pan-Islamisme.

Akhirnya, pada kongres SI di Surabaya, Oktober 1921, proposal Disiplin Partai diajukan. Ini berarti menendang kaum komunis dari tubuh SI. Pada saat itulah Tan Malaka muncul. Menurut dia, PKI harus dikecualikan dari program Disiplin Partai. Alasannya, komunisme merupakan sekutu alami Islam dalam melawan imperialisme.

Tan Malaka menunjukkan, di luar negeri kaum komunis bisa beraliansi dengan gerakan Islam. Ia mencontohkan, kaum Bolshevik beraliansi dengan kaum muslim di Kaukasus, Persia, Afghanistan, dan Bukhara. Bagi Tan, kalau SI memang organisasi religius internasional, maka mereka harus belajar dari komunitas Islam di luar negeri yang membuka tangan untuk beraliansi dengan komunis.

Namun Agus Salim mengeluarkan bantahan. Menurutnya, semua yang disebutkan oleh Marx sudah ada dalam Al-Quran. Selain itu, kata dia, sekalipun muslim Timur Tengah menerima bantuan Bolshevik, tetapi mereka tetap merdeka dan tidak membiarkan Bolshevik memasuki masyarakatnya (lihat: Ruth McVey, Kemunculan Komunis Indonesia, hal 170–171)

Pada Desember 1921, PKI menggelar kongres. Tan Malaka menjadi pembicara penting di kongres itu. Dia menekankan, “Kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan rakyat Indonesia.”

Pasca kongres, berkat pengaruh Tan Malaka, PKI banyak menarik kesesuaian antara komunisme dan Islamisme. Misalnya, dalam aspek propaganda, mereka merujuk ke ayat Al-Qur’an untuk menunjukkan simpati kepada rakyat dengan mengecam penindasan dan keserakahan. Tak hanya itu, PKI Semarang membentuk Komite Haji untuk mengubah peraturan haji pemerintah yang memberatkan atau bertentangan dengan hukum Islam.

Dukungan Tan terhadap strategi aliansi Islamisme dan komunisme tak hanya getol disuarakan di tubuh PKI, tetapi juga di forum-forum sosialis dan komunis internasional.

Pada Kongres Komunis Internasional keempat, 12 November 1922, Tan Malaka menyatakan perlunya dukungan terhadap Pan-Islamisme dalam kerangka melawan imperialisme. Ia menceritakan pengalaman kerjasama antara PKI dan SI di tanah Hindia.

Di hadapan forum para komunis itu, Tan terang-terangan mengatakan, ketika menghadap Tuhan saya seorang muslim.

Begitulah Tan berpegang pada prinsip yang dipegang di masa itu: Kami Islam se-Islam-Islamnya. Dalam menghadapi kapitalis, kami Marxis se-Marxis-Marxisnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Pemerintahan Prabowo-Gibran: Mesin Lama, Jurus Lama (Part 1)

Pemerintahan Prabowo-Gibran: Mesin Lama, Jurus Lama (Part 1)

Sidang pembaca yang budiman, Indonesia kini berada di babak baru sejarah

Next
Pemerintahan Prabowo-Gibran: Mesin Lama, Jurus Lama (Part 2)

Pemerintahan Prabowo-Gibran: Mesin Lama, Jurus Lama (Part 2)

Sidang pembaca yang budiman, Berikut ini bagian kedua dari Situasi Nasional

You May Also Like
Total
0
Share