Petinju legendaris Muhammad Ali menolak namanya diabadikan di trotoar ikonik Hollywood. Apa sebabnya?
Trotoar Hollywood, Los Angeles, California, Amerika Serikat, bertabur bintang. Di sekujur jalur pedestrian yang membentang pada Hollywood Boulevard serta Vine Street di kawasan itu, terpasang ribuan plakat bertuliskan nama-nama selebritas kondang dunia. Ikon kota ini dinamai The Hollywood Walk of Fame.
Bagi para pelancong, kurang lengkap mampir ke Hollywood jika tidak merekam momen saat melintas di landmark tersebut. Biasanya, mereka akan berjongkok seraya berfoto di area plakat bertuliskan nama bintang idola.
Ide pembuatan Hollywood Walk of Fame pertama kali digagas Ketua Kamar Dagang Hollywood, E. M. Stuart pada 1953. Menurut dia, sarana bagi pejalan kaki bisa dihadirkan sekaligus untuk mengabadikan tokoh-tokoh beken dunia.
Ketika jalur itu kelar dibangun, produser dan sutradara film Stanley Kramer menjadi orang pertama yang namanya dilekatkan di sana. Seiring waktu, nama-nama yang dipasang jadi semakin bertambah. Tak cuma pesohor di dunia hiburan, tapi juga politisi, atlet hingga astronaut.
Namun, di antara ribuan pesohor yang diabadikan, ada satu tokoh yang ogah namanya disematkan di sana. Dia adalah petinju Muhammad Ali.
Bukan tanpa sebab Ali menolak namanya dilekatkan di trotoar jalan. Juara tinju dunia itu tak ingin nama Muhammad―yang menjadi bagian penting dari namanya―diinjak-injak orang yang berlalu lalang di sana. Muhammad, kita tahu, merupakan nabi besar bagi umat Islam.
“Saya memikul nama nabi tercinta Muhammad SAW, dan tidak mungkin saya membiarkan orang-orang menginjak-injak namanya,” kata Ali yang mengucap syahadat pada 1964.
Untuk menghormatinya, nama Muhammad Ali urung dipasang di trotoar. Nama kondang tersebut akhirnya dilekatkan pada dinding pintu masuk Dolby Theatre, Hollywood pada 2002. Letaknya, persis di sebelah Hard Rock Cafe.
Ali digandrungi banyak orang tak sekadar dari kemilau prestasinya di atas ring tinju. Ia sangat dihormati karena emoh mengikuti wajib militer yang dicanangkan pemerintah AS untuk berperang di Vietnam.
Ali punya dalil saat menolak perintah tersebut pada 1967. Membunuh, bagi petinju yang terlahir dengan nama Cassius Marcellus Clay tersebut, merupakan hal yang dilarang dalam agamanya. Selain itu, orang-orang Vietnam tidak pernah menindasnya. Pun mereka tak pernah memperlakukannya secara tidak adil.
Dengan demikian, tak ada alasan baginya untuk memerangi orang-orang yang miskin papa di sana.
“Hati nurani saya tidak akan membiarkan saya pergi menembak saudara saya, atau beberapa orang yang warna kulitnya lebih gelap, atau beberapa orang miskin yang kelaparan di lumpur untuk Amerika yang kuat dan besar,” kata Ali.
Sikap keras Ali bergema di mana-mana. Ia berkukuh tak mau mengenakan seragam serdadu lalu pergi 10.000 mil dari rumahnya untuk menjatuhkan bom serta menembakkan peluru kepada orang-orang di Vietnam. Sementara di sisi lain, lanjut dia, orang-orang yang disebut negro di Louisville diperlakukan sangat buruk.
“Saya tidak punya masalah dengan Vietcong. Tak ada Vietcong yang pernah memanggil saya negro,” ujarnya.
Sebagai buntut dari sikapnya itu, Ali diganjar hukuman tahanan dan didenda sebesar USD 10 ribu. Bahkan, gelar juara yang digenggamnya turut dilucuti. Ali pun sempat tak memiliki izin bertanding hingga tahun 1970.
Berpulang 3 Juni 2016, pada usia 74 tahun, Ali dikenang sebagai sosok pejuang kesetaraan dan kemanusiaan. Mendapat julukan The Greatest, ia juga tetap dikenang sebagai juara sejati di hati masyarakat.