Sejarah sebuah bangsa bukanlah sekadar untaian nama pahlawan dan tanggal-tanggal kemenangan. Sejarah, pada hakikatnya, adalah sebuah rumah besar ingatan kolektif. Di dalamnya ada ruang-ruang kebanggaan, namun juga ada koridor-koridor gelap yang menyimpan luka dan trauma.
Tugas kita bukanlah mengecat ulang seluruh rumah itu dengan warna yang sama, melainkan merawat setiap ruangnya dengan kejujuran, agar generasi mendatang bisa belajar dari kemegahan sekaligus kerapuhannya.
Saya menulis surat ini dengan kegelisahan yang sangat mendalam. Sebab, di bawah arahan Anda sebagai nakhoda kebudayaan, rumah besar ingatan kita ini terasa sedang direnovasi secara paksa. Beberapa koridornya yang paling perih hendak ditutup rapat, dan peran separuh dari penghuni rumah ini—kaum perempuan—seakan hendak dihapus dari denah bangunan.
Kegelisahan ini memuncak ketika kami mendengar pernyataan Anda yang meragukan adanya bukti atas kekerasan seksual massal pada kerusuhan Mei 1998. Pernyataan itu, Bapak Menteri, bukan sekadar kekeliruan data. Ia adalah sebilah belati yang kembali ditancapkan ke luka lama para korban, mayoritas dari mereka adalah perempuan Tionghoa. Ini adalah upaya menabur kabut di atas fakta yang terang-benderang.
Fakta itu ada, Bapak Menteri. Ia tercatat dalam laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh negara. TGPF, yang terdiri dari wakil pemerintah, Komnas HAM, dan LSM, menyebutkan kekerasan seksual saat kerusuhan Mei 1998 terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Hingga 3 Juli 1998, ada 168 korban perkosaan maupun pelecehan seksual yang melapor pada TGPF. Namun, setelah diverifikasi, jumlahnya sebanyak 85 orang, dengan rincian: 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan sembilan korban pelecehan seksual.
Untuk diketahui juga, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dibentuk pemerintah pada 15 Oktober 1998, berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, merupakan respons negara terhadap kekerasan seksual sistemik yang terjadi pada Mei 1998.
Dan jika ada sebuah nama yang harus dikenang dari tragedi pilu dan gelap itu, dia adalah Ita Martadinata. Dia adalah salah satu korban dari tragedi keji itu. Dan pahitnya, ketika Ita dan sejumlah korban mulai bangkit dan bersuara, justru dibunuh secara keji. Ita dibunuh hanya beberapa hari sebelum bersama ibunya, dan empat korban lainnya hendak berangkat ke AS untuk memberi kesaksian terkait tragedi pilu itu di depan Kongres AS.
Pengabaian terhadap kasus perkosaan massal pada Mei 1998 bukan hanya menambah luka korban, memperparah rasa trauma warga RI keturunan Tionghoa, tetapi juga menepikan hak-hak perempuan Indonesia di dalam sejarah. Tampaknya, dalam sejarah yang hendak Anda tulis ulang itu, yang Anda sebut ditulis dengan tone positif, memang sengaja menihilkan peran perempuan.
Penyangkalan Anda, juga kekuasaan di belakang Anda, terhadap kasus perkosaan Mei 1998 bukanlah sebuah insiden yang berdiri sendiri. Kami melihatnya sebagai bagian dari sebuah pola, sebuah arah baru dalam penulisan sejarah yang terasa misoginis. Pola itu semakin jelas ketika kami mendengar bahwa narasi tentang Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 akan ditiadakan dari pembahasan sejarah nasional.
Apakah kita lupa, Bapak Menteri, bahwa kongres itu adalah Sumpah Pemuda versi perempuan Indonesia? Di saat para pemuda mendeklarasikan satu tanah air, bangsa, dan bahasa, para perempuan dari seluruh Nusantara juga berkumpul di Yogyakarta, mendeklarasikan kesadaran politik dan hak-hak mereka sebagai subjek bangsa yang setara. Menghapus momen fundamental ini dari sejarah sama saja dengan mengatakan bahwa fondasi Republik ini hanya ditegakkan oleh kaum laki-laki, sementara perempuan hanyalah penonton pasif di tribun sejarah.
Sebagai doktor ilmu sejarah dari universitas paling ternama di Indonesia, Anda harusnya sangat paham bahwa sejarah sebagai ilmu bukanlah kumpulan dongeng, cerita fiksi, atau opini pribadi tentang masa lalu. Sebaliknya, ia adalah sebuah disiplin pengetahuan yang sistematis, berbasis bukti, dan dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis untuk merekonstruksi dan menafsirkan peristiwa yang telah terjadi.
Dengan memahami sejarah sebagai ilmu, Anda harusnya malu melontarkan sejarah dengan tone yang positif. Apakah kolonialisme yang berabad-abad itu mau ditulis dengan tone positif juga? Apakah sejarah akan ditulis sebagai bangsa yang besar, kita tak pernah dijajah bangsa mana pun.
Maka, izinkan saya bertanya, Bapak Menteri. Sejarah macam apa yang sedang ingin kita wariskan kepada anak-cucu kita? Sebuah sejarah yang jujur dengan seluruh kemenangan dan tragedinya, atau sebuah dongeng heroik yang penuh lubang dan kebisuan?
Sejarah yang sehat tidak takut pada bekas lukanya sendiri. Kami mohon, jangan paksa bangsa ini mengalami amnesia.