Sukarno dan Islam Progresif

Dari deretan pemikir Islam Nusantara, nyaris kita tidak menjumpai nama Sukarno. Padahal, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia itu punya cara pandang dan gagasan yang menarik mengenai Islam.

Ikatan Sukarno dan Islam teranyam erat. Bukan hanya karena pemeluk Islam, tapi Sukarno juga menggali semangat perjuangan dalam Islam. Saat tinggal dan berguru pada HOS Tjokroaminoto, Sukarno banyak bersentuhan dengan Sarekat Islam. Kemudian, saat menjalani pembuangan di Bengkulu, dari 1938-1942, Sukarno bersinggungan dengan Muhammadiyah.

Ketika menjalani pembuangan di Ende (NTT) dan Bengkulu, kira-kira antara 1934–1942, Sukarno seperti mendapat hidayah. Tiba-tiba ia mengirim surat kepada Haji Hasan, seorang guru Persatuan Islam di Bandung. Ia meminta buku dan kitab tentang Islam. Ia terusik dengan anggapan soal aristokrasi Islam.

“Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid,” katanya.

Sukarno menunaikan sholad Idul Adha 1962.

Sukarno banyak belajar dan menyelami Islam. Di periode itu juga dia banyak menulis dan berpolemik tentang Islam.

Usai menerima kiriman buku-buku dari Haji Hasan, lalu melahapnya satu per satu, Sukarno seperti singa kelaparan yang terjun ke medan pertarungan intelektual. Ia masuk dalam palagan perdebatan Islam. Tulisan-tulisan Sukarno ibarat “palu godam” yang menghantam golongan konservatif dalam Islam saat itu. Dia tidak segan menelanjangi kebusukan orang-orang yang memperalat Islam untuk kepentingan pribadi. Untuk orang-orang semacam ini, Sukarno menyebutnya “Islam sontoloyo”.

Sebaliknya, Sukarno berusaha menghadirkan Islam dengan wajah yang progresif dan emansipatoris. Karena itu, saya menggolongkan Sukarno sebagai pemikir Islam progresif.

Untuk memperkuat kesimpulan itu, saya memaparkan lima alasan paling mendasar.

Pertama, Sukarno selalu berusaha me-”muda”-kan pengertian Islam, menyeleraskannya dengan perkembangan masyarakat dan semangat zaman. Dia ingin menjadikan Islam sebagai agama yang hidup. Dia ingin Islam ber-panta rei: segala hal mengalir, segala hal selalu berubah, segala hal mendapat perbaruan.

Nah, agar Islam senapas dengan semangat zaman ini, berarti Islam harus melakukan pembaruan. Tentang ini, Sukarno menegaskan, “pokok tidak berobah, agama tidak berobah, Islam-sejati tidak berobah, firman Allah dan sunah nabi tidak berobah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal inilah yang berobah. Pengoreksian pengertian itu selalu ada, dan musti selalu ada.”

Jelaslah, Sukarno tidak ingin merombak ajaran dasar Islam, khususnya Al-Quran dan hadist. Sebaliknya, yang hendak dimajukan adalah interpretasi atau penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan hadist tersebut. Nah, untuk penafsiran itu, Islam harus bergandengan tangan dengan rasionalisme.

“Akal kadang-kadang tak mau menerima Qur’an dan hadits shahih itu, bukan oleh karena Qur’an dan nabi salah, tetapi oleh karena cara kita mengartikannya adalah salah. Kalau ada sesuatu kalimat dalam Qur’an atau sabda nabi yang berten­tangan dengan akal kita, maka segeralah rasionalisme itu mencari tafsir, keterangan, yang bisa diterima dan setuju dengan akal itu,” jelas Sukarno.

Kedua, Sukarno mengidentikkan Islam dengan kemajuan. Menurutnya, Islam itu kemajuan. Kata dia lagi, Al-Quran dan hadist mewajibkan umat Islam menjadi “cakrawarti” di lapangan ilmu pengetahuan dan kemajuan.

Karena itu, Islam ala Sukarno tidak anti-kemajuan dan tidak anti-teknologi. Sebaliknya, Islam itu kemajuan. Dia menentang Islam yang suka “mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an”.

Penyambutan Sukarno-Hatta di Yogyakarta setelah pulang dari pembuangan di Bangka, 6 Juli 1949. Kredit: National Library of Australia

Sukarno sadar, masyarakat selalu berkembang maju, dengan cara-cara berproduksi dan relasi sosialnya. Gerak maju masyarakat itu bersifat mutlak, tak terhindarkan. Karena itu, dengan meminjam kata-kata pemimpin Turki Kemal Attaturk, Sukarno mengatakan, “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam masjid memutarkan tasbih, tetapi Islam ialah perjuangan.” Artinya, orang Islam harus ikut dalam pergulatan sosial, termasuk dalam menyerap pengetahuan dan nilai-nilai baru yang progresif.

Ketiga, Sukarno menentang diskriminasi terhadap perempuan. Perlu diketahui, Sukarno adalah pengkritik paling keras dan paling pedas terhadap penerapan tabir yang mengurung perempuan.

Bagi Sukarno, tabir itu simbol perbudakan dan ortodoksi. Menurut dia, Islam tidak mewajibkan tabir, tetapi orang-orang Islamlah yang mengada-adakan tabir. “Saya menolak sesuatu hukum agama yang tidak nyata diperintah oleh Allah dan rasul,” kata Sukarno dalam risalahnya, Tabir adalah Lambang Perbudakan, 1939.

Sukarno sadar, memang ada batasan berpandangan wajah antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Tetapi batasan itu tidak bisa dimaknai secara kaku dengan membuat tabir. Menurutnya, umat Islam cukup menjaga hati dan matanya masing-masing.

Dia melihat tabir bukan hanya selembar kain, tetapi sebuah simbol dari maatschappe­lijke positie (posisi sosial) perempuan. Tabir menjadi penanda posisi sosial perempuan yang dianggap rendah dalam struktur sosial. Tabir tak ubahnya segregasi yang memisahkan perempuan dari masyarakat.

Padahal, kata dia, Islam hadir justru untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Bukan merendahkan, apalagi memperbudak kaum perempuan.

Keempat, Sukarno membuat Islam itu berapi. Dia selalu menganjurkan agar umat Islam mengambil intisari dari ajaran Islam, bukan kulit luarnya. Ambil apinya, bukan abunya!

Argumentasi Sukarno ini beralasan. Dia mencontohkan pada “pernikahan semalam” di Priangan. Sebetulnya itu praktik perzinahan atau pelacuran terselubung. Namun, agar terkesan sah menurut agama, maka penghulu menikahkan pasangan itu. Kendati besoknya pernikahan itu bisa bubar.

Kritik Sukarno ini juga relevan dengan kecenderungan sebagian orang yang menyerap mentah-mentah gaya orang Islam dari Arab. Sehingga kadang-kadang gagal memilah mana ajaran Islam dan mana bentuk kebudayaan Arab.

Ini persis dengan kritik Gus Dur: “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur jadi budaya Arab, bukan untuk ‘aku’ menjadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, dan ‘sedulur’ menjadi ‘akhi’… Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya.”

Kelima, keberpihakan kepada si miskin dan kaum tertindas. Sukarno mendorong praktik Islam yang punya empati atau keberpihakan kepada si miskin dan tertindas.

Seperti ditegaskannya pada 1946, “Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia, Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.”

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Jejak Timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938

Jejak Timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938

Tahun 1938, ketika dunia diambang Perang Dunia ke-II, Piala Dunia dihelat di

You May Also Like
Total
0
Share