Sukarno dan Gerakan Buruh

Sejarah gerakan pembebasan nasional Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran gerakan buruh. Ketika perjuangan anti-kolonial mulai menjelma menjadi gerakan politik massa, peran kaum buruh menjadi sangat menonjol. Seperti dicatat Ruth McVey, kehadiran gerakan dan serikat buruh merupakan bagian dari perkembangan yang menakjubkan dalam situasi revolusioner Indonesia kala itu.

Sukarno, tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan nasional, tak bisa dipisahkan dari denyut gerakan buruh dan gerakan massa, terutama setelah PKI tersingkir dari panggung terbuka perjuangan nasional akibat represi kolonial pada akhir 1920-an. Sejak pidatonya yang terkenal, Indonesia Menggugat, Sukarno secara tidak langsung telah didaulat menjadi pemimpin gerakan massa. Bahkan Dr. Sutomo, tokoh nasional terkemuka, menyebut Sukarno sebagai motor penggerak utama dari barisan kiri saat itu.

Namun, meskipun Sukarno berperan besar dan memiliki kedekatan dengan gerakan buruh, namanya tidak sepopuler tokoh seperti Semaun atau Soerjopranoto di kalangan pergerakan buruh. Kini, kita mengenal Sukarno lebih melalui gagasan-gagasannya tentang perjuangan nasional, sementara pemikirannya tentang perjuangan buruh relatif tenggelam.

Sukarno menyampaikan pidato pada peringatan hari Buruh 1965. Kredit: Bettmann / Corbis

Gagasan Sukarno tentang gerakan buruh

Sukarno sangat akrab dengan para pemikir gerakan buruh Eropa, mulai dari Karl Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice Webb di Inggris, hingga tokoh-tokoh sosialis dan komunis seperti Pieter Troelstra di Belanda, Jean Jaurès di Prancis, serta Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia.

Ia pernah bilang, “Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam ‘world of the mind’; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar.”

Dari pergaulan intelektual itulah Sukarno menyerap konsep massa-actie dan machtvorming, termasuk dalam kerangka membangun gerakan serikat buruh. Dalam tulisannya yang terkenal, “Bolehkah Sarekat Sekerja Berpolitik?”, Sukarno mengkritik keras Tuan S (inisial, ditulis di harian Pemandangan) yang beranggapan bahwa serikat buruh tak perlu berpolitik.

Bagi Sukarno, perjuangan politik merupakan syarat mutlak untuk memperbaiki nasib kaum buruh. Ia menekankan bahwa “politieke toestand”—ruang politik yang lebih bebas untuk berserikat dan berkumpul—adalah fondasi bagi perkembangan gerakan buruh. Perjuangan buruh, menurutnya, tidak cukup hanya menuntut upah lebih tinggi atau jam kerja lebih pendek, tapi harus bersifat militan dan total.

Peringatan hari Buruh di masa perjuangan kemerdekaan. Kredit: ANRI

“Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal,” tegas Sukarno. Politik semacam itu, lanjutnya, tidak akan pernah mampu menghapus kontradiksi antara modal dan tenaga kerja.

Ia juga mengkritik tokoh-tokoh seperti Robert Owen, Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle yang dianggapnya terlalu mendamaikan pertentangan antara modal dan buruh. Dalam Mencapai Indonesia Merdeka, Sukarno menegaskan bahwa kaum buruh dan rakyat Indonesia harus menghancurkan sistem imperialisme dan kapitalisme.

Sementara terkait alat politik, Sukarno berpandangan bahwa harus ada partai pelopor. Partai yang radikal, disiplin, dan sepenuhnya berpihak kepada rakyat jelata. Partai itu, katanya, harus “cocok dengan natuur”, menjadi perpanjangan dari kehendak rakyat marhaen, mengubah pergerakan dari onbewust (tak sadar) menjadi bewust (sadar).

Namun dalam perjuangan konkret menuju kemerdekaan, Sukarno menganjurkan persatuan nasional yang luas untuk menggulingkan penjajahan. Dalam kerangka ini, ia menempatkan perjuangan kelas di bawah kepentingan perjuangan nasional. Sebagaimana Lenin menyebut, di negeri jajahan dan setengah jajahan masih ada tugas-tugas nasional yang bersifat demokratis dan belum terselesaikan.

PNI dan gerakan buruh

Meskipun Sukarno tidak pernah menjadi pemimpin serikat buruh seperti Semaun atau Soerjopranoto, ia sangat mendukung gerakan buruh. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang ia dirikan menjadikan pengorganisasian buruh sebagai bagian penting dari perjuangannya. Pada perayaan ulang tahun PNI, 4 Juli 1929, partai itu memutuskan untuk memperkuat kerja-kerja propaganda di kalangan buruh.

PNI kemudian membina hubungan erat dengan Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI). Ketika SKBI ditekan oleh pemerintah kolonial karena dianggap terkait dengan Liga Anti-Kolonialisme, PNI tidak mundur. Justru, pada Juli–Agustus 1929, PNI aktif mengorganisasi berbagai serikat buruh di sejumlah kota besar. Di Bandung berdiri Persatoean Chauffeurs Indonesia (kemudian menjadi Persatoean Motorist Indonesia/PMI), di Tanjung Priok berdiri Sarikat Anak Kapal Indonesia (SAKI), di Surabaya muncul Persatoean Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoean Boeroeh Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).

Pasca kemerdekaan, meskipun PNI tetap menempatkan perjuangan nasional di atas perjuangan kelas, partai ini tidak meninggalkan basis buruh. Pada 1952, PNI mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) yang bertujuan menuntaskan agenda perjuangan nasional. Dua tahun kemudian, KBKI berganti nama menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.

Tanda gambar partai politik, diantaranya PNI, Partai Buruh, PKI, Masyumi, PSII, dan Partai Sosialis Indonesia, dalam kampanye Pemilu 1955. Kredit: LIFE

Marhaenisme dan proletariat

Bagi Sukarno, marhaen adalah kaum proletar ala Indonesia, gabungan dari kaum tani melarat dan rakyat miskin lainnya: pedagang kecil, pengarit, tukang kaleng, tukang grobak, nelayan, dan sebagainya. Meski tidak menggunakan istilah proletar secara eksplisit, Sukarno menerima ajaran Marx dan mengakui pentingnya perjuangan kelas untuk merombak tatanan sosial yang kolonialistik dan kapitalistik.

Namun ia juga menekankan adanya perbedaan konteks. Di Eropa, kapitalisme berkembang lewat revolusi industri yang melahirkan sektor manufaktur kuat dan kelas proletar yang melimpah, sedangkan di Indonesia ia berakar pada perkebunan dan pertanian—industri gula, teh, karet, kina, tembakau, dan sebagainya. Karenanya, jumlah buruh industri sangat kecil, sementara yang melimpah adalah petani, pedagang kecil, dan produsen kecil.

Meski begitu, Sukarno tidak menampik pentingnya peran proletariat. Ia pernah berkata, “Tentara kita adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga kaum tani. Tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”

Marhaenisme bukanlah penolakan terhadap teori kelas, melainkan upaya menerapkannya secara kontekstual. Gagasan ini bukan hal asing bagi kalangan marxis di dunia ketiga. Di Amerika Latin, José Carlos Mariátegui juga mencoba mengembangkan marxisme sesuai kondisi lokal yang didominasi oleh petani dan masyarakat adat. Di Tiongkok, maoisme berusaha menerjemahkan marxisme dalam masyarakat yang mayoritas petani yang berjibaku melawan fasisme Jepang dan sisa-sisa feodalisme.

Kini, marhaenisme justru relevan dihidupkan kembali sebagai alat analisis kelas khas Indonesia, tentu dengan penyesuaian terhadap konteks kontemporer. Dengan 60 persen pekerja di sektor informal, pendekatan kelas perlu memperhitungkan kaum marhaen. Diperlukan teori kelas yang membumi, kontekstual, dan berpihak.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Menemukan Ulang Demokrasi: Dari Agora ke Majelis Rakyat (2)

Menemukan Ulang Demokrasi: Dari Agora ke Majelis Rakyat (2)

Menjawab skandal demokrasi berarti menuntut “rethinking” mendalam—menyadari

You May Also Like
Total
0
Share