Soeharto Tak Pantas Jadi Pahlawan Nasional

Sejarah adalah medan pertempuran ingatan. Ini persis seperti kata-kata novelis kelahiran Cekoslowakia, Milan Kundera: Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.

Di tengah krisis sejarah dan memori kolektif yang makin keruh, Kementerian Sosial kembali menggodok wacana lawas: menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Wacana ini sebenarnya sudah bergulir sejak 2010. Tapi ketika Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto dan jenderal yang kariernya bersinar di masa Orde Baru (Orba), resmi menjadi presiden RI, angin politik itu bertiup semakin kencang.

Pertanyaannya sederhana: apakah bangsa ini sudah lupa dengan dosa-dosa Orde Baru?

Soeharto, yang menjabat presiden selama 32 tahun, bukan hanya pemimpin terlama dalam sejarah Indonesia modern. Ia adalah simbol kekuasaan otoriter, tangan besi, dan praktik KKN sistematis yang menjalari seluruh sendi pemerintahan. Menjadikannya sebagai pahlawan nasional bukan hanya kekeliruan sejarah, tapi juga penghinaan terhadap nalar bangsa dan korban pelanggaran HAM di masa Orba.

Kudeta dan investor asing

Mari luruskan sejarah. Soeharto merebut kekuasaan lewat kudeta merangkak, bukan pemilu demokratis. Ia naik ke tampuk kekuasaan dengan darah. Pasca peristiwa 30 September 1965, Soeharto memimpin operasi militer yang berujung pada pembantaian sekitar 500 ribu-2 juta orang yang dituduh terkait PKI. Sebagian besar tanpa melalui proses peradilan. Amnesty International, Human Rights Watch, hingga sejarawan independen menyebut tragedi ini sebagai salah satu genosida terburuk abad ke-20.

Dari berbagai penelitian sejarah maupun arsip-arsip rahasia pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dibuka ke publik (deklasifikasi), pihak asing―terutama lewat CIA (badan intelijen AS)―punya andil dalam kudeta merangkak itu.

Dukungan asing itu dibayar mahal. Tak berselang lama setelah kudeta merangkak itu, Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan, sehingga memberi karpet merah kepada investor asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Tak menunggu lama setelah itu, deretan perusahaan asing, seperti Freeport-McMoRan, Caltex, Stanvac, Shell, Uni Royal, langsung beroperasi di Tanah Air.

Pembungkaman demokrasi

Setelah Soeharto berkuasa, dengan dalih demokrasi Pancasila, demokrasi yang sesungguhnya pun dibungkam. Pluralisme politik dihancurkan, lalu partai-partai politik dipaksa untuk fusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara Golkar, dengan motornya ABRI dan birokrasi negara, menjadi partai penguasa. Pemilu berjalan reguler, tetapi tak ada kompetisi secara bebas, adil, serta jujur dan adil (jurdil). Di zaman Orde Baru, calon presiden yang diajukan MPR selalu tunggal: hanya Suharto. Jangan coba-coba bicara mau jadi calon presiden, sekalipun itu hanya iseng-iseng, nasibmu bisa seperti Judilhery Justam dan Armein Daulay, dua aktivis mahasiswa yang iseng mendaftar sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Judil dan Armein digelandang ke Polda Metro Jaya, lalu dibawa ke Kodam Jaya, kemudian diinterogasi tentang motif mereka menjadi Capres-Cawapres. Ini kejadiannya sebelum Pemilu 1978.

Lalu, lewat doktrin Dwi Fungsi ABRI, tentara tak hanya punya tiket langsung―tanpa melalui proses pemilihan―untuk memiliki kursi dan fraksi di DPR. Tentara juga punya struktur teritorial, yang menyerupai struktur bayangan terhadap struktur pemerintahan sipil, dari provinsi (Kodam), kabupaten/kota (Korem/Kodim), kecamatan (Koramil) hingga kelurahan/desa (Babinsa).

Di masa Orba, kemerdekaan berserikat juga diberangus. Organisasi yang boleh berdiri, yang lebih menyerupai korporatisme negara, hanya yang diakui resmi: Cipayung (mahasiswa), SPSI (serikat buruh), HKTI (petani), PWI (wartawan), dan lain-lain.

Di masa Soeharto juga, media massa diawasi ketat dan pemberitaannya harus sejalan dengan kepentingan pemerintah. Media yang kritis, apalagi yang independen, langsung dibredel dan diberangus.

Di masa Orba, jangan bayangkan bisa menulis opini atau menuangkan pikiran secara bebas. Berkeluh-kesah, jika dilakukan terbuka pun bisa berbahaya. Tidak ada kebebasan berekspresi. Pementasan seni bisa dibredel jika bermuatan politik dan kritis terhadap pemerintah.

Raja korupsi dunia

Berdasarkan laporan Transparency International (TI) pada 2004, Soeharto menempati urutan pertama sebagai diktator terkaya sekaligus terkorup di dunia.

Selama berkuasa, tokoh yang mendapat gelar Bapak Pembangunan itu diduga menggelapkan uang hingga USD 15-35 miliar atau sekitar Rp 231-539 triliun (kurs Rp 15.400). Bahkan majalah Time edisi Mei 1999 secara spesifik mengungkap rekam jejak aliran dana keluarga Cendana di lebih dari 500 perusahaan, dari Singapura hingga British Virgin Islands.

Di masa Orba, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) seakan tindakan lumrah. Ia dilakukan oleh pejabat maupun pegawai di hampir semua level pemerintahan. Mereka belajar dari Soeharto.

Saat itu, Soeharto menempatkan anak-anaknya di puncak bisnis strategis: Tommy di logistik dan properti, Bambang di industri otomotif, lalu Tutut di media dan jalan tol. Seolah tak ada pemisahan antara kas negara dan kas keluarga

Tak heran, nama Soeharto secara eksplisit disebut dalam Tap MPR XI/MPR/1998 sebagai simbol KKN nasional yang harus diadili. Ironisnya, pada September 2024 lalu, MPR justru mencabut TAP tersebut. Hasilnya: pemutihan sejarah, pencucian dosa, dan jalan tol menuju gelar pahlawan.

Warisan utang

Ketika Soeharto jatuh pada Mei 1998, ia tak hanya meninggalkan krisis politik, tapi juga ekonomi yang hancur lebur. Pada masa kepemimpinan Soeharto (Maret 1967-Mei 1998), utang pemerintah mencapai Rp 551,4 triliun atau setara 57,7 persen dari PDB. Krisis moneter 1997-1998 adalah klimaks kehancuran yang dibangun dari utang, proyek mercusuar, dan kapitalisme kroni yang akut.

Menurut pengakuan Bank Dunia, sebanyak 30 persen utang di masa Orba masuk ke kantong pribadi Soeharto. Ironisnya, beban utang warisan Orba masih kita tanggung hingga sekarang.

Pembangunan top-down dan Jawa-sentris

Di zaman Orba, meskipun lagu “Dari Sabang sampai Merauke” kerap dinyanyikan, namun pembangunan sangat bercorak Jawa-sentris.

Pada masa itu, sebanyak 70 persen investasi infrastruktur hanya berputar-putar di Pulau Jawa. Jangan heran, setiap desa di Jawa punya jalan, sekolah, dan Puskesmas. Tapi, di luar Jawa, banyak desa dihubungkan dengan jalan setapak atau jalan tanah (tak dilapisi aspal atau beton). Untuk bersekolah, bukan cerita baru lagi, kalau banyak anak-anak pedalaman di luar Pulau Jawa harus berjalan berkilo-kilometer, bahkan ada puluhan kilometer, demi bisa bersekolah.

Akses listrik, jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan di luar Jawa tertinggal jauh. Misalnya, pada 1995, rasio dokter terhadap penduduk di Jawa adalah 1:5.000, sementara di Papua 1:25.000.

Kebijakan pembangunan juga bersifat top-down: hanya diputuskan oleh segelintir birokrat dan teknokrat. Akibatnya, ada banyak kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan justru merampas hak-hak rakyat, seperti proyek Waduk Kedung Ombo dan proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Harga barang di Jawa dan di luar Jawa tidak sama. Selain itu, barang-barang tak hanya langka, tetapi juga mahal.

Pelanggaran HAM berat

Di bawah gambaran “tertib dan stabil” di masa Orba, ada jejak darah dan jutaan nyawa warga negara biasa yang hilang. Ya, Soeharto menegakkan kekuasaan, termasuk memelihara kondisi tertib dan stabil, lewat kekerasan dan teror.

Mulai dari tragedi 1965 yang diperkirakan menghilangkan 500 ribu hingga 2 juta nyawa, penembakan misterius dengan perkiraan 10 ribu korban jiwa, tragedi Tanjung Priok dengan 78 korban jiwa, peristiwa Talangsari dengan 130 korban jiwa, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan korban 781 jiwa, DOM di Papua (1963-2003), pembunuhan dukun santet dengan 250 korban jiwa, penculikan aktivis 1997-1998 dengan 13 aktivis masih hilang, Tragedi Trisakti 1998 dengan empat korban jiwa, dan masih banyak lagi.

Kontras mencatat, setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan Soeharto. Hingga hari ini, mayoritas kasus itu belum selesai, dan korban belum mendapatkan keadilan, tetapi Soeharto sudah mau diberi gelar pahlawan.

Sistem politik busuk yang masih hidup

Yang paling menakutkan bukan masa lalu Soeharto, tapi bagaimana sistem yang ia bangun masih hidup sampai hari ini: oligarki politik, dinasti kekuasaan, dan birokrasi elitis, korup, dan asal bapak senang (ABS).

Meski selalu bicara Pancasila, tetapi Orba berjasa besar mengembangbiakkan praktik politik yang oligarkis dan dinasti kekuasaan. Jika hari-hari ini, kita merasa gerah dengan politik yang sumpek karena disesaki oligarki dan dinasti, ingatlah bahwa mereka dikembangbiakkan oleh Orba.

Cendana, dinasti politik keluarga Soeharto, juga masih eksis hingga hari ini. Prabowo, sebagai mantan elite militer Orba yang kini kepala negara, adalah bukti betapa kuatnya pengaruh Cendana dalam sistem hari ini.

Soeharto juga mewariskan birokrasi yang elitis, korup, dan ABS. Birokrasi di era Orba bukan alat pelayanan publik, tapi alat pelanggengan kuasa. Pegawai negeri bukan abdi rakyat, tapi abdi penguasa. Karier melesat bukan karena kompetensi, tapi karena kemampuan mengangguk dan menyembah. Siapa yang rajin melakukan praktik asal bapak senang (ABS), naik jabatan. Negara dikelola seperti perusahaan keluarga: semua loyalitas harus vertikal ke atas, bukan horizontal ke rakyat. Setiap urusan dengan birokrasi ini juga kerap disertai uang pelicin. Suap bukan hanya dianggap normal, tetapi sebuah norma tak tertulis yang wajib dijunjung tinggi.

Tidak pantas

Pertanyaan mendasar: apa arti pahlawan di negeri ini? Kalau pahlawan adalah mereka yang mengorbankan diri demi bangsa, lalu di mana kita tempatkan para mahasiswa yang ditembak mati di Trisakti? Di mana tempat para ibu korban penghilangan yang sampai hari ini masih memeluk foto anak mereka di depan Istana?

Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan hanya penghinaan terhadap mereka, tapi juga terhadap akal sehat bangsa ini. Kita tidak sedang menulis ulang sejarah. Kita sedang menodainya.

Soeharto tak pantas jadi pahlawan nasional. Bukan karena kita membenci masa lalu, tapi karena kita mencintai masa depan. Sebab, masa depan yang kita dan para pendiri bangsa impikan adalah Indonesia yang adil dan makmur. Dan, itu hanya mungkin jika Indonesia menjunjung tinggi demokrasi, kemanusiaan, HAM, dan keadilan sosial.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Selamat Jalan, Paus Kaum Papa

Selamat Jalan, Paus Kaum Papa

Paus Fransiskus, yang pada masa kepausannya dari 2013-2025 selalu mewakili suara

You May Also Like
Total
0
Share