Sejarah, kata EH Carr―sejarawan Inggris yang menulis “What is History”―adalah dialog yang tak berkesudahan antara masa lampau dan masa sekarang, antara fakta-fakta lama dan fakta-fakta baru.
Pada masa Orde Baru (Orba), narasi terkait peristiwa G30S 1965 bersumber pada tafsir tunggal penguasa. Narasi berbeda, termasuk keterangan pelaku di Mahmilub, sengaja dikuburkan.
Pasca runtuhnya Orba, narasi-narasi alternatif bermunculan. Fakta-fakta baru pun berhasil tergali. Kesaksian bermunculan. Dan tak kalah penting, ada banyak dokumen yang menyingkap fakta baru.
Di mana Soeharto saat peristiwa G30S 1965? Meskipun ia menjabat sebagai Pangkostrad, posisi yang sangat strategis di masa itu, mengapa ia tak masuk dalam target penculikan?
Pertemuan Soharto dan Latief
Kolonel Latief merupakan tokoh kunci dalam G30S. Saat itu, ia menjabat Komandan Brigade Infanteri atau Brigif I Kodam V Jakarta Raya, sedangkan Mayjen Soeharto saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad.
Soeharto dan Kolonel Latief berhubungan erat sejak zaman revolusi. Latief menjadi anak buah Soeharto saat di Yogyakarta. Waktu Serangan Umum 1 Maret 1949, Latief juga terlibat. Ketika Soeharto berjaya sebagai perwira penting di Jawa Tengah, Latief berada di Jawa Tengah pula. Dia kerap menjadi komandan batalyon.
“Soeharto kenal dengan saya karena saya bergabung dengan brigadenya,” kata Kolonel Latief dalam buku Pledoi Kol. A Latief: Soeharto Terlibat G30S.
Pada 30 September 1965 malam, hanya beberapa jam menjelang operasi G30S, Kolonel Abdul Latief menemui Mayjen Soeharto di RSPAD. Malam itu, Soeharto sedang menunggui anaknya yang sedang dirawat karena tersiram sup panas.
Kepada Soeharto, Latief menyampaikan rencana G30S untuk menangkapi para anggota Dewan Jenderal yang berencana melakukan kudeta.
Menurut Latief, saat itu Soeharto tidak bereaksi. Juga tidak berusaha untuk menghentikan atau menghalangi gerakan tersebut.
“Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau,” tutur Latief dalam bukunya.
Ternyata, berdasarkan pengakuan Latief, usaha Latief meminta restu Soeharto bukan hanya dilakukan pada malam itu.
Sebelumnya, pada 29 September 1965, Latief sengaja bertamu ke rumah Soeharto. Dalam kunjungan itu, Latief menyampaikan soal Dewan Jenderal dan rencana perwira progresif untuk menggagalkannya.
Cerita di atas disampaikan oleh Kolonel Latief dalam pledoinya di Mahmilub. Setelah Orba runtuh, pledoi itu diterbitkan menjadi buku berjudul Pledoi Kol. A Latief: Soeharto Terlibat G30S.
Sebelum peristiwa G30S, hubungan Latief dengan Soeharto memang cukup rapat. Mereka bertempur bersama-sama saat serangan umum di Kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.
Soeharto sendiri berusaha menyangkal tudingan Latief itu. Kepada wartawan AS, Arnold Brackman, ia mengaku memang bertemu Latief malam itu. Namun, kata dia, malam itu Latief hanya datang untuk menanyakan kabar anak Soekarno.
Kepada media Jerman, der Spiegel, Soeharto juga mengaku didatangi Latief. Namun, Soeharto menuding Latief hendak membunuhnya. Niat itu urung dilakukan karena ada banyak orang di rumah sakit malam itu.
Dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.
Pada kenyataannya, Soeharto menyampaikan keterangan yang berbeda-beda terkait peristiwa itu. Sementara pernyataan Latief sangat konsisten.
Pernyataan Latief juga sesuai dengan kesaksian Soebandrio. Bahkan, menurut Soebandrio, bukan hanya Latief yang menemui Soeharto jelang G30S, tetapi juga Kolonel Untung.
Untung adalah anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro. Untung juga ikut bersama Soeharto dalam operasi Trikora di Irian Barat.
Mengapa Soeharto tak diculik?
Lalu, mengapa Soeharto tidak diculik malam itu. Padahal, dia salah satu perwira tinggi Angkatan Darat. Dia juga memimpin banyak pasukan: sekitar 60 ribu.
Dalam pledoinya, Latief beralasan: “karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran.”
Selain itu, Soeharto tidak masuk dalam daftar Dewan Jenderal, kelompok petinggi AD yang dicurigai berencana melancarkan kudeta terhadap Sukarno pada 5 Oktober 1965. Setidaknya, Soeharto dianggap bukan ancaman bagi aksi revolusioner mencegah coup Dewan Jenderal.
Yang menjadi pertanyaan, ketika mengetahui rencana G30S terhadap sejumlah perwira tinggi AD, mengapa ia tak mengambil inisiatif untuk mencegah atau menggagalkannya?
Sebagai Pangkostrad, Soeharto harusnya bisa melindungi atasannya, Menteri Pertahanan Jenderal AH Nasution dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, dari rencana penculikan atau pengamanan oleh pasukan G30S.
Mengapa Suharto baru bertindak setelah peristiwa G30S dan setelah jatuh korban?
“Nyatanya, sama sekali tidak pernah ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan. Sebaliknya, setelah peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno,” ujar Latief dalam kesaksian di Mahmilub.
Tidak heran, seperti ditulis John Roosa dalam Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia (2006), kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmilub menuduh Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965.
Dengan mengetahui rencana G30S, Soeharto sudah mengetahui peta jalan kejadian. Ia bisa memetakan kawan dan lawan. Dengan begitu, ia dengan leluasa mengatur siasat dan bertindak pada momen yang tepat. Tidak heran, pada 1 Oktober 1965, ketika semua orang masih diselimuti kebingungan, Soeharto paling siap bertindak.
Selain itu, dengan membiarkan G30S melakukan aksinya, jalan Soeharto menjadi orang terpenting di AD, bahkan di TNI, menjadi terbuka lebar. Sebelum peristiwa G30S, namanya tertutup oleh bayang-bayang dua jenderal besar, AH Nasution dan Ahmad Yani.
Sejarah mencatat, Soeharto kemudian menjadikan G30S sebagai dalih untuk menghancurkan PKI dan semua organisasi kiri, lalu pelan-pelan mulai menyingkirkan Soeharto. Sejarah mencatatnya sebagai “kudeta merangkak”.