Seabad Pramoedya Ananta Toer: Pram dan Kaum Muda

Hai, pembaca Merdika. Menjelang peringatan 100 tahun atau seabad Pramoedya Ananta Toer, redaksi akan menyuguhkan pidato-pidato maupun artikel Pram tentang kaum muda.

Beberapa pidato itu masih sangat relevan untuk membaca situasi hari ini sekaligus pegangan untuk lebih bersemangat lagi, lebih militan lagi, dan lebih kokoh lagi dalam memperjuangkan Indonesia yang lebih baik, beradab, adil, dan makmur.

Pada bagian pertama, kami menyuguhkan pidato pesan solidaritas Pramoedya Ananta Toer untuk pertemuan Dewan Nasional Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1997. Selamat membaca.


Sudah sejak awal pendirian PRD, walaupun saya tidak tahu banyak, saya tetap berpihak pada angkatan muda, itu adalah pegangan saya setelah belajar dari sejarah Indonesia, karena kaum muda dan mahasiswa dalam sejarah modern Indonesia merupakan ujung tombak dari semua pembaharuan. Artinya, juga termasuk kekeliruannya.

Itupun juga sudah saya nyatakan dalam interogasi di Kejaksaan Agung. Ya, saya terangkan sebab-sebabnya, waktu PRD dianggap bersalah oleh Soeharto. Saya tanyakan kepada interogator di Kejaksaan Agung: belum ada penyelidikan, belum ada laporan dari KOMNAS HAM, kok Harto sudah menyalahkan? Mereka ditangkap, disalahkan? Katanya biang keladi kerusuhan, nyatanya yang bikin kerusuhan pemerintah sendiri, saya bilang. Lantas interogator di Kejaksaan Agung bilang, “Kok menyalahkan pemerintah?”.

Ya, itu pengalaman saya sendiri: Waktu Orba mengirim gerombolan pemuda menyerbu rumah saya, kemudian datang polisi dan militer. Bukan gerombolan pemuda yang melempar batu dan sebagainya yang ditangkap, yang merusak rumah saya, melainkan justeru saya yang ditangkap. Cara ini yang terus-menerus dipakai oleh Orde Baru, sampai sekarang, sampai persoalan PRD. Saya tetap berpihak pada angkatan muda!

Pramoedya Ananta Toer menerima “PRD Award” dari Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko, pada 22 Juli 1996. Dok: PRD

Persoalannya untuk memahami keadaan Indonesia sekarang ini, nampaknya mau-tidak mau, kita harus memulai merekonstruksi dan menyimpulkan, apa itu sesungguhnya G30S. Tanpa ini, kita tidak akan mengerti. Karena Orde Baru itu menggunakan alat yang ampuh: mengulur waktu, sehingga orang lupa pada persolan yang sebenamya. Nah, karena itu penting untuk membikin kronologi semasa Orde Baru. Dan jangan lupa, apa sebabnya Soekarno harus dijatuhkan. Soalnya ada dua hal. Yaitu, satu, persoalan regional: Indonesia melawan British yang bertopeng Malaysia. Persoalan intemasional: seluruh dunia kapitalis telah mengincar untuk menggarong kekayaan alam Indonesia.

Dan untuk menutupi semua ini yang digembargemborkan adalah pembangunan, tanpa pernah menyinggung kerusakan alam dan penggarongan kekayaan alam kita. Nah, situasi sekarang ini sudah menjadi sedemikian, sampai praktis setiap hari ngomong soal globalisasi. Artinya globalisasi itu tidak ada nasionalisme. Yang ada hanya jual dan beli. Yang tidak punya sesuatu untuk dijual dan dibeli, ya kapok. Biasanya yang pas-pasan, bahkan dibawah pas-pasan, untuk bisa menjual dan membeli dia jual anggota keluarganya untuk jadi TKW. Kalau itupun tidak bisa, ya, dia jual dirinya.

Keadaan saat ini sangat bertentangan oleh apa yang dicita-citakan oleh revolusi dulu. Itu sebabnya, saya pribadi sangat kecewa dengan perkembangan sekarang. Saya ikut di dalam revolusi dulu. Bertahan terhadap serangan kolonialisme. Tapi apa yang saya peroleh di dalam Indonesia yang katanya merdeka? Perampasan kebebasan dan hak-hak asasi saya. Itu sama sekali tidak pernah terbayangkan semasa revolusi dulu. Dan juga sebelum revolusi.

Karena saya dari keluarga pejuang, walaupun masih kanak-kanak mengikuti perkembangan perjuangan, sebelum kemerdekaan. Dan pada waktu itu ada orang-orang yang justeru masuk KNIL. KNIL itu adalah tentara Hindia Belanda, yang tugas pokoknya adalah menundukkan rakyat Indonesia, bukan untuk menghadapi musuh luar negeri. Waktu dites perang dengan luar negeri, dalam beberapa hari angkat tangan. Tentara KNIL juga melahirkan banyak jenderal yang menangnya hanya melawan penduduk, bangsa kita sendiri yang tidak punya senjata, yang tidak profesional dalam perang, bahkan dalam berkelahipun tidak profesional. Jadi harap selalu diingat: tugas KNIL, dan orang-orang yang dididik dan hidup dibawah KNIL, itu berpengalaman menundukkan rakyat dan bangsa kita sendiri.

Ada sekitar satu setengah juta bekas tapol yang mengalami seperti saya. Perampasan hak milik, hak asasi, kebebasan, kerja paksa, perampasan tenaga, perampasan penghidupan, itu sekitar satu setengah juta orang. Dan, katanya, Indonesia sekarang ini negara hukum, katanya negara demokrasi Pancasila, apa yang dialami sekitar satu setengah juta orang ini tidak pernah dibawa ke parlemen. Sampai sekarang. Orang yang menderitakan perampaan-perampasan dari Orde Baru akan selalu ingat sepanjang hidupnya. Tapi yang melakukan perampasan, begitu mengerjakan perampasan, menepuk dada, “lihat gue lebih tinggi nilai saya daripada mereka”. Dan itu belum lagi tapol-tapol yang dibunuh sebagai tapol, tanpa pernah ada pengadilan.

Orang yang pernah mengalami seperti saya, makin tua makin terheran-heran pada ucapan petinggi-petinggi Orde Baru. Beberapa hari ini yang aneh dikatakan, “Jangan sakiti hati rakyat”. Kok bisa bicara seperti itu, setelah melakukan pembunuhan ratusan ribu bangsa kita sendiri? Kok bisa, ini ucapan apa, ini? Itulah saya harap dilakukan penilaian kembali terhadap G30S. Karena yang disebarkan sejak SD lebih banyak berupa benteng-benteng kebohongan. Saya harap juga dimulai dokumentasi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Orde Baru. Di bekas negara Yugoslavia berapa komisi sudah yang menyelidiki pembunuhan massal di sana? Di Indonesia tidak. Soalnya di bekas Yugoslavia itu kekayaan alamnya minim dibandingkan dengan Indonesia. Di Indonesia, kekuatan Kapitalis dan seluruh persnya menghendaki kekayaan alam kita, dengan itu diam saja. Ya ada komisi yang menyelidiki itu, tapi tidak tuntas, yaitu atas perintah Bung Karno itu. Tidak tuntas karena dibohongi terus, komisinya itu.

Ini juga tugas kaum muda untuk memahami dirinya sendiri sebagai nasion, yaitu mengkronikkan semua ini. Supaya juga generasi-generasi selanjutnya tahu apa yang terjadi di Indonesia. Tahu bagaimana militerisme di Indonesia. Semua khan tahu juga, bahwa militerisme adalah bentuk kekuasaan yang paling primitif dalam sejarah umat manusia. Orang yang bersenjata menghadapi orang yang tidak bersenjata.

Soal militerime: militerisme dimanapun dalam sejarah ummat manusia tidak berbudaya. Karena orang yang berbudaya tidak memerlukan alat pembunuh. Sebab tugas manusia yang berbudaya adalah meningkatkan peradaban dan budaya, bukan membunuhi sesamanya. Memang masalah Indonesia sebetulnya, sebetulnya, bukan khusus masalah politik. Tapi terutama masalah budaya, karena kalau tingkat budayanya seperti ini terus, sistem politik apapun juga akan seperti ini. Karena itu juga, program budaya dalam perjuangan angkatan muda jangan dilupakan.

Perjuangan politik kalau tidak untuk meningkatkan peradaban dan budaya, sulit untuk kita berikan anggukan kepala. Apa sebabnya? Sebabnya, kalau platform budaya itu tidak terangkat naik nanti masih tetap seperti sekarang ini. Kalau orang mempunyai persoalan mau melambung ke atas, mentog sama platform, dia jadi atavis. Atau dia kehilangan rasionya kemudian ngamuk. Jadi atavis atau ngamuk, kalau nggak bisa jebol platform budayanya. Nah itu tipikal daerah tropik di Indonesia ini, di nusantara, sampai kata “amok” itu masuk dalam kosa kata bahasa Inggris. to run amok. Itu sebabnya, gerakan politik se-revolusioner apapun harus ada program budaya. Sebab tanpa itu akan kembali, ya seperti ini saja.

Dalam sepanjang sejarah tanah air kita, semua perubahan tidak terlepas oleh pengaruh luar negeri, sejak Budhisme, Hinduisme, Islam. Dan sekarang, kita mendapatkan banyak dari dunia Barat, soal demokrasi, soal perlemen sampai-sampai sistem lalu-lintas, sistem pendidikan itu semua dari Barat. Bukan ciptaan kita sendiri. Walaupun ada yang mengatakan, kita punya budaya sendiri, HAM kita sesuai dengan budaya kita sendiri. Sampai tulisanpun dari Barat kita terima. Jadi dari bangsa-bangsa yang budayanya tinggi, kekuatan itu mengalir ke dunia yang budayanya lebih rendah. Itu hukum. Jadi kalau ada yang ngomong kita ini punya budaya sendiri, itu sungguh-sungguh harus dipertanyakan, apa sebetulnya budaya kita? Harus dipertanyakan, bahkan nama-nama haripun (Senin, Selasa, Rabu, dst.) bukan nama kita, menggunakan nama Arab, hanya hari Minggu berasal dari Kristen, hari Tuhan, “Dominggo”. Itu baru hari-hari saja namanya sudah bukan nama kita.

Saya minta kepada kalian, jangan lupakan faktor luar negeri. Dan menggarapnya sebijaksana mungkin, pengaruh-pengaruh luar, bukan hanya pengaruh tapi juga tenaga luar.

Angkatan muda, terutama PRD, saya harap dipahami bahwa masa perjuangan kalian lain dengan masa perjuangan kami. Kami menghadapi imperialisme/kolonialisme Barat dengan senjata, kalian tidak punya senjata. Paling-paling punya ketahanan politis, ketahanan ideologis. Kalau toh punya senjata, paling-paling senjata kalian itu batu sama korek api. Karena itu perjuangan kalian jauh lebih berat daripada Angkatan 45. Jauh lebih berat! Angkatan 45 juga didukung oleh luar negeri. Karena itu jangan lupakan hubungan dengan luar negeri. Tapi saya lebih percaya, bahwa angkatan muda yang lebih sulit situasinya akan melahirkan pimpinan yang jauh lebih gemilang dari Angkatan belasan, 20-an, 30-an, 45-an. Karena dibentuk oleh keadaan yang jauh lebih keras.

Syarat untuk perjuangan itu hanya satu, yaitu keberanian. Cuma itu saja. Dan keberanian itu tidak jatuh dari langit. Tidak! Itu hasil kerja dan latihan dan ujian. Selain itu, walaupun kelihatannya sepele, tapi ikut menentukan, yaitu: setiap angkatan muda harus melakukan sport. Sebab sport itu akan memberi pandangan yang optimis. Nomer dua untuk membuat tubuh lebih tahan dalam perjuangan.

Cita-cita demokrasi itu, selama ini saya saksikan sendiri: pejuang-pejuang yang demokrasi itu begitu berkuasa lantas ingin jadi panutan. Jadi ingin dapat massa yang tidak berpikir lagi terus mengikut dia. Itu dari generasi ke generasi dalam sejarah modern Indonesia begitu. Masih muda demokratis dalam otaknya, begitu berkuasa lain lagi. Tapi itu juga bukan problem Indonesia saja. Pada umumnya seluruh bangsa-bangsa begitu. Sebab kekuasaan itu bisa mengubah seseorang. Dan cita-cita demokrasi itu sejak awal harus dipraktekkan, di antara sesama dalam keluarga. Jadi dipraktekkan, bukan hanya di otak saja. Lantas kontradiksi akan banyak sekali. Tapi kehidupan itu memang kontradiksi. Kehidupan itu sendiri memang kontradiksi: kontradiksi antara kepentingan, kontradiksi antara cita-cita, kontradiksi antara kepercayaan.

Semua kontradiksi ini adalah tantangan, bagaimana angkatan muda menyelesaikannya. Bukan lantas asal bunuh saja, seperti sekarang ini. Diselesaikan sampai terjadi kekuatan besar, bukan saling menindas. Artinya itu sudah konsekuensi dari demokrasi. Yaitu adanya perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, perbedaan cita-cita, perbedaan ideologi (ideologi dalam arti dunia prinsip). Saya tidak akan mencampuri soal ini, ini adalah problem kalian sendiri. Untuk mengelola konflik itu, itu problem kalian dalam praktek hidup untuk sekarang dan selanjutnya, itu kalian sendiri yang harus menjawab. Bukan saya.

Tadi sudah saya katakan dari generasi ke generasi dalam sejarah angkatan belasan, 20-an, 30-an, sampai 45 itu praktis terjadi konflik generasi. Jadi sejarah modem Indonesia adalah sejarah konflik generasi. Saya minta ini diperhatikan. Juga angkatan muda sekarang ini konflik dengan kekuasaan orang-orang tua. Nanti kalau kalian tumbuh dewasa secara politik, mempunyai kekuasaan saya minta ini diingat. Jangan sampai terjadi konflik dengan generasi muda. Bukan berarti seperti sekarang, memusuhi angkatan muda, dijebloskan dalam penjara. Ya, itu problem kalian sendiri bagaimana caranya. Juga program-program politik kalian itu urusan kalian. Sebab kalian yang akan memasuki hidup yang akan datang. Dan sejak sekarang belajar mengelola persoalan.

Saya diminta untuk mengomentari slogan “Demokrasi atau Mati”. Mengapa mesti “Demokrasi atau Mati”? Mengapa musti mati? Saya tidak mengerti mengapa mati yang disebut? Memang pernah ada slogan “Merdeka atau Mati” dari Perancis. Waktu Indonesia dijanjikan merdeka dikelak kemudian hari oleh Jepang, Dr. Rajiman Widyodiningrat di depan Chuo Sangi In menggunakan semboyan Perancis itu, “Merdeka atau Mati”. Tapi saya tidak setuju itu. Sebab apa, sebab orang berjuang itu bukan hanya untuk mengisi hidup, tapi juga meningkatkan makna dan nilai hidup. Bukan mati! Karena itu slogan itu saya minta agar slogan itu diubah. Tapi ma’af ya, saya minta ma’af soal ini. Mungkin saya terlampau lancang ngomong begini. Semua perjuangan untuk memuliakan hidup, nilai-nilai hidup, supaya naik, bukan persoalan mati. Mati itu bukan persoalan. Mati itu bukan persoalan! Setiap orang bisa mati di manapun juga, dengan berbagai macam sebab. Nggak usah disebut-sebut lah mati itu. Saya harap bikinlah slogan yang segar, yang memberikan kepercayaan diri. Sebab ini bukan persoalan kuburan.

Soal luar Jawa lebih pelik lagi. Karena luar Jawa ini dikeruk kekayaan alamnya, yang menikmati adalah Jawa. Ini tentunya akan menimbulkan frustasi pada luar Jawa. Kalau terjadi clash kekerasan di Jawa, luar Jawa akan mandiri sebagai negara masing-masing. Dan Jawa tidak bisa hidup. Bisa hidup kalau mengekspor pembunuh ke luar Jawa, seperti jaman KNIL dulu. KNIL itu kalau untuk menundukkan Aceh, terutama pembunuh dari Jawa yang dikirim ke sana. Dan begitu sebaliknya juga. Ini jangan sampai terjadi. Stop, soal bunuh-bunuhan itu. Stop! Persoalan luar Jawa, berilah perhatian khusus, persoalan tidak senang kepada Jawa diberi penyuluhan apa sebabnya. Sebab luar Jawa itu subsidi Jawa terus-menerus sampai sekarang.

Sampai sumber-sumber alam luar Jawa itu pada kering-kerontang. Dan disini jadi modal untuk senang-senang golongan elit saja. Terutama perhatian terhadap Irian Barat dan soal Freeport itu dikasih perhatian khusus. Luar biasa kerusakan-kerusakan di sana.

Tentang kerjasama dengan kelompok-kelompok lain, yaitu salah satu pekerjaan kalian. Dengan pegangan supaya menghargai pendirian dan pendapat orang lain. Sebab itu sudah asas demokratis. Ini musti dipegang. Tentang ekstrimitas yang terjadi sekarang, yang oleh penguasa katanya ditunggangi oleh pihak ketiga, coba hubungi mereka itu. Setidak-tidaknya mereka sudah berani melakukan sesuatu. Hubungi di penjara-penjara.  Sebab salah atau tidak salah, orang yang berani berbuat itu mempunyai nilai. Banyak berdiskusi dan jangan lupa banyak belajar, banyak mencatat supaya jangan hilang begitu saja.

Harapan saya terhadap angkatan muda, jangankan harapan, yang sekarang pun saya sudah angkat topi. Sekarang saja saya sudah angkat topi, dengan cara kerja yang jauh lebih baik, jauh lebih terpelajar dari generasi-generasi sebelumnya. Dan saya percaya Indonesia akan gilang-gemilang, karena pekerjaan angkatan muda sekarang ini.

Soal keberanian, tanpa keberanian manusia akan tinggal ternak semata, ia akan seperti hewan yang dicocok hidungnya, ditarik kemana-mana oleh orang yang lebih kuat. Itu sebabnya keberanian dimulai dengan membiasakan diri bilang “ya” atau “tidak”. Itu awal dari latihan keberanian. Sekarang dalam situasi sekarang, Orba memusuhi orang-orang yang berpikiran lain dari yang dikendaki pada Orba. Kalian sudah bilang melalui mulut atau dengan hati. Sudah berani bilang “tidak” itu sudah permulaan yang baik. Tapi dalam perkembangannya akan lebih banyak konsekuensi-konsekuensi dengan hanya mengatakan “ya” atau “tidak”. Dan semakin lama, konsekuensinya semakin besar. Sebab, semua saja itu menghadapi ujian. Semua menghadapi ujian. Kalian menghendaki demokrasi, itupun ada ujiannya. Lulus atau tidak ujian kalian, jangan hanya berhenti di otak saja.

Demokrasi bukan hanya di otak, tapi juga melalui pernyataan tangan, mulut, kaki, berpikir juga dengan anggota badan, jangan hanya dengan otak. Dan memang, apa yang kalian hadapi itu sangat berat. Sangat berat! Sebab kita menghadapi senjata, tapi kita tidak punya senjata, hanya punya mulut, dan itu tidak cukup dengan mulut. Seperti tadi saya bilang, juga dengan seluruh anggota tubuh kita, bukan hanya dengan otak dan mulut.

Saya juga salut kepada teman-teman yang selama ini sudah dikorbankan oleh Orde Baru, toh masih tersenyum dan tertawa. Sebab perlu diketahui, apapun yang diperbuat Orde Baru kepada kalian itulah wajah, jantung dan hati Orde Baru. Jadi kalian belajar dari tindakan Orde Baru. Belajar mengenal wajahnya, jantungnya, hatinya, bahkan juga kantongnya.

Utan Kayu, 19 Agustus 1997

Total
0
Shares
Comments 1
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Jam Tangan Bertema Indonesia

Jam Tangan Bertema Indonesia

Sejumlah brand jam tangan ternama meluncurkan tema Indonesia pada beragam

Next
Dua Mitos tentang Gencatan Senjata Gaza

Dua Mitos tentang Gencatan Senjata Gaza

Mitos pertama menyebutkan bahwa kesepakatan ini tercapai berkat tekanan dari

You May Also Like
Total
0
Share