Puskesmas, Ujung Tombak Kesehatan Rakyat Semesta

Sejarah sektor kesehatan di Indonesia tidak pernah lepas dari pendekatan kesehatan berbasis masyarakat yang terbukti ampuh menangani wabah kolera pada 1927 dan 1937, cacar di 1947, dan malaria pada 1959.

Sejak 1970, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pertama mulai berdiri. Sejak itu, meskipun berjibaku dengan minimnya fasilitas dan sumber daya, Puskesmas hadir sebagai ujung tombak untuk melayani rakyat. Sayang sekali, meskipun keberadaannya penting, penambahan jumlah puskesmas tertinggal jauh dari pertambahan populasi.

Alhasil, ketika pandemi Covid-19 datang menerjang pada 2020 hingga 2022, sistem kesehatan Indonesia nyaris kolaps. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan tak sanggup menampung ledakan jumlah pasien. Tenaga kesehatan, yang jumlahnya terbatas, juga kewalahan dan berjatuhan.

Dalam situasi yang maha genting, Puskesmas terlihat benar-benar kerepotan. Padahal, belajar dari sejarahnya, Puskesmas harusnya menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan semesta.

Klinik kesehatan pada 1950-an di daerah Metro.

Sejarah Puskesmas

Pada 1930, seorang dokter muda lulusan Stovia, dr Johannes Leimena, punya ide progresif: pendirian unit-unit kesehatan di tingkat desa untuk menjemput kebutuhan rakyat mengakses layanan kesehatan.

Saat itu, tokoh kelahiran Ambon, Maluku, pada 6 Maret 1905 itu sedang bekerja di RS Zending Immanuel di Bandung. Sayang sekali, kecamuk perjuangan kemerdekaan tidak memungkinkan ia mewujudkan mimpinya itu.

Usai proklamasi kemerdekaan, Leimena bersama kawannya, Abdoel Patah, kembali menghidupkan mimpi itu: memastikan pengobatan modern bisa menjangkau rakyat hingga ke desa-desa.

Mimpi itulah yang melahirkan konsep kesehatan yang disebut “Bandung Plan”. Sayang sekali, situasi revolusi lagi-lagi menginterupsi mimpi tersebut.

Johannes Leimena, sang penggagas konsep Puskesmas. Kredit: Leimena.org

Baru pada 1952, setelah pengakuan kedaulatan, Leimena dan Abdoel Patah punya kesempatan untuk memperkenalkan “Bandung Plan”. Ide besarnya adalah pembangunan rumah sakit pusat di kota, rumah sakit pembantu di kabupaten, poliklinik di kecamatan, dan pos kesehatan di desa terpencil.

Sayang, kondisi ekonomi Republik kala itu yang morat-marit membuat agenda “Bandung Plan” kembali tertunda. Padahal, pada 1955 hingga 1956, Leimena ditunjuk oleh Sukarno sebagai Menteri Kesehatan.

Ide Leimena dan Bandung Plan baru terwujud di era Orde Baru. Saat itu, Gerrit Augustinus Siwabessy, dokter kelahiran Maluku yang ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan pada 1966-1978, berhasil menyakinkan Soeharto untuk mewujudkan konsep “Bandung Plan”.

Pada 1970, Puskesmas pertama berdiri. Dalam tempo 10 tahun, pemerintah berhasil membangun 2.000 lebih fasilitas layanan kesehatan tersebut. Puskesmas itu memberikan layanan kesehatan dasar yang meliputi kegiatan promotif, preventif, dan kuratif.

Pengalaman negara lain

Di belahan dunia lain, ide membentuk primary health center (semacam Puskesmas) juga banyak dilakukan.

Di Kuba, salah satu negara kecil dan miskin yang sistem kesehatannya dianggap terbaik di dunia, punya konsep yang disebut medicina general integral (MGI, pengobatan komprehensif dan terintegrasi). Bentuknya adalah unit-unit kesehatan yang berbasis komunitas (setingkat RW), namanya Consultorio dan Policlínicos.

Setiap consultorio dilengkapi dengan satu dokter dan beberapa staf, yang langsung melayani penduduk di sekitarnya (sekitar 1.000-1.500 pasien). Tak hanya itu, untuk menjangkau warga yang tak bisa ke unit-uni kesehatan, Kuba punya “dokter keluarga”.

Consultorio, semacam klinik kesehatan di komunitas (RT/RW), di Kuba. Kredit: https://diariodecuba.com/

Dengan pendekatan ini, Kuba berhasil menangani berbagai persoalan kesehatan di akar rumput, tanpa harus dilarikan ke rumah sakit.

Brasil, negeri yang terkenal dengan sepak bolanya, juga punya konsep yang mirip. Namanya: Saúde da Família atau Program Kesehatan Keluarga.

Tim kesehatan keluarga ini terdiri atas dokter, perawat, dan empat hingga lima kader kesehatan. Tim ini terorganisir dalam fasilitas tingkat wilayah setara Puskesmas dan melayani antara 3.000 hingga 4.000 orang di setiap wilayah.

Hampir mirip dengan Kuba, tim kesehatan keluarga ini juga fokus pada pencegahan. Mereka mencatat riwayat kesehatan rutin masyarakat, melaksanakan edukasi kesehatan, dan melakukan pengobatan dasar.

Hingga sekarang tim kesehatan lintas profesi ini berhasil mendampingi 65 persen populasi masyarakat Brasil.

Thailand, negeri tetangga kita, juga punya konsep kesehatan yang mirip Puskesmas. Pada 2019, Thailand punya 9,768 unit kesehatan level sub-distrik (desa/kelurahan) untuk menjangkau 68 juta warga.

Bersamaan dengan itu, pemerintah juga melatih lebih dari satu juta kader kesehatan untuk mendata, mengedukasi, dan mendampingi masyarakat dalam upaya kesehatan.

Hasilnya, Thailand sukses meningkatkan berbagai indikator kesehatan. Dari 1990 hingga 2006, negara ini berhasil menurunkan hingga 8,5 persen angka kematian anak usia lima tahun setiap tahun.

Pada 2002, negara ini diakui berhasil memfasilitasi akses kesehatan seluruh masyarakat. Negara ini berhasil menjadi negara Asia pertama yang berhasil mengeliminasi transmisi HIV dari ibu ke anak pada 2016.

Persoalan Puskesmas

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2024, jumlah puskesmas di Indonesia baru 10.212 unit. Penambahan jumlah Puskesmas tidak berjalan beriringan dengan penambahan populasi. Akibatnya, rasio Puskesmas dengan jumlah penduduk meningkat.

Pada 2011, jumlah Puskesmas sebanyak 9.321 unit dengan rasio terhadap penduduk 1 : 25.750. Lalu 10 tahun kemudian, jumlah Puskesmas meningkat menjadi 10.292, tetapi rasionya terhadap penduduk melebar menjadi 1 : 26.494.

Puskesmas di Mojokerto, 1970. Kredit: facebook/mojokertojadul

Konsepnya Puskesmas berbasis kecamatan, tetapi itu melayani warga dalam cakupan yang luas. Memang ada Puskesmas Pembantu, tapi tak semua kelurahan/desa punya. Di Indonesia, jumlah kelurahan/desa di Indonesia mencapai 83.794.

Persoalan lainnya, masih banyak Puskesmas yang memiliki keterbatasan tenaga kesehatan. Berdasarkan Permenkes No 75 Tahun 2014, setiap Puskesmas diharuskan memiliki setidaknya sembilan tenaga kesehatan, termasuk dokter, dokter gigi, dan perawat. Faktanya, ada 48 persen atau 4.908 unit Puskesmas yang belum memenuhi ketersediaan sembilan jenis tenaga kesehatan yang dibutuhkan.

Selain kekurangan tenaga, banyak Puskesmas juga kekurangan sarana, prasarana, dan alat kesehatan. Masih banyak Puskesmas yang tidak memiliki genset; jika listrik padam, suhu kulkas terganggu dan kualitas vaksin serta obat-obatan bisa rusak. Tak sedikit pula alat medis yang rusak atau tidak pernah dikalibrasi. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan serius ini, bagaimana mungkin Puskesmas bisa menjadi ujung tombak kesehatan semesta?

Sedikit usulan

Untuk menjadikan Puskesmas benar-benar sebagai tulang punggung kesehatan semesta, pemerintah harus membangun dan memperkuat kembali Puskesmas. Fasilitas ini harus naik kelas, agar bisa menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan rakyat.

Pertama, perluasan cakupan layanan berbasis desa/kelurahan: setiap desa atau kelurahan harus minimal memiliki Puskesmas. Ini untuk memastikan pelayanan kesehatan dasar merata hingga tingkat paling bawah.

Puskesmas di Kabupaten Japapura, Papua. Kredit: PPID Kabupaten Jayapura

Kedua, penambahan tenaga medis. Setiap Puskesmas wajib memiliki minimal sembilan tenaga kesehatan sesuai Permenkes No 75 Tahun 2014: dokter atau dokter layanan primer, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga gizi, tenaga kefarmasian, dan lain-lain. Distribusi tenaga kesehatan harus diperbaiki agar tidak hanya menumpuk di kota besar.

Ketiga, peningkatan fasilitas dan alat kesehatan. Peralatan diagnostik dan pengobatan harus lengkap agar Puskesmas dapat menangani penyakit menular dan tidak menular secara efektif.

Keempat, penguatan fungsi promotif dan preventif. Puskesmas harus aktif dalam melakukan kunjungan rumah, penyuluhan kesehatan, dan deteksi dini penyakit. Keterlibatan kader kesehatan dari masyarakat harus diperluas sebagai ujung tombak pemberdayaan komunitas.

Kelima, integrasi dengan teknologi. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung pelaporan, konsultasi jarak jauh, dan edukasi kesehatan agar Puskesmas semakin efektif.

Puskesmas bukan cuma bangunan kecil dengan papan nama. Ia adalah titik awal hadirnya negara bagi warganya yang paling jauh dan paling rentan. Di situlah keadilan kesehatan diuji.

Jika Puskesmas diperkuat, kita membangun fondasi yang kokoh untuk sistem kesehatan yang merata, tangguh, dan berdaya tahan. Ini bukan sekadar urusan teknis, tapi keputusan politik: apakah negara sungguh-sungguh ingin semua warganya hidup sehat atau hanya mereka yang tinggal di kota dan mampu membayar?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Sukarno dan Perjuangan Kelas

Sukarno dan Perjuangan Kelas

Tapi benarkah begitu?

Next
Mantan Buruh Pabrik Jadi Presiden Korsel

Mantan Buruh Pabrik Jadi Presiden Korsel

Krisis politik di Korea Selatan (Korsel), yang bermula sejak awal Desember 2024

You May Also Like
Total
0
Share