Jika mau tahu cara menghadapi fasis yang brengsek, belajarlah pada Eric Cantona. Legenda Manchester United itu pernah mempertontonkan caranya pada dunia.
Tahun 1995, saat laga Manchester United vs Crystal Palace, Cantona diejek seorang suporter rasis. “Kau Prancis kotor, sialan. Pulang ke negaramu,” kata suporter itu.
Amarah Cantona mendidih. Tak menunggu lama, pemain yang kerap memakai nomor punggung 7 ini langsung melepaskan tendangan kung-fu ala Bruce Lee tepat di dada penonton rasis itu.
“Saya mewujudkan mimpi banyak orang. Saya melakukan untuk mereka dan mereka gembira. Itu adalah sebuah kebebasan untuk mereka,” kata Cantona terkait aksinya itu.
Dia bilang, penonton sudah sering melihat gol, tetapi jarang melihat hooligan rasis kena tendangan.
Cantona punya alasan untuk membenci fasisme dan rasisme. Kakeknya dari pihak ibu adalah pejuang penentang rezim fasis Franco di Spanyol. Demi menghindari kejaran fasis, kakeknya melarikan diri ke Prancis.
“Dia harus menyeberangi Gunung Pyrenees, dengan berjalan kaki, untuk sampai ke Prancis,” kenangnya.
Saat itu, kakek Cantona menjadi bagian dari ratusan ribu orang Spanyol yang melarikan diri ke Prancis untuk menghindari kekejaman fasisme. Beruntung, karena pertimbangan kemanusiaan, Prancis saat itu mau membuka pintu.
“Kakek-nenek saya datang dengan tidak membawa apa-apa. Mereka harus memulai hidup baru,” tulis Cantona dalam artikel berjudul “What is The Meaning of Life” di theplayerstribune.com.
Leluhur Cantona harus berpindah-pindah demi memperbaiki nasib. Hingga, akhirnya, keluarga ini tinggal menetap di kota yang menjadi jantung Revolusi Prancis, Marseille.
Sementara leluhur Cantona dari pihak bapak tak lebih baik. Mereka meninggalkan kampung halamannya di Sardinia, Italia pada 1911 karena didera kemiskinan.
Cantona sendiri lahir di Marseille pada 24 Mei 1966. Saat itu, kondisi keluarganya belum membaik dari kemiskinan. Ia tumbuh besar di tengah lingkungan imigran yang miskin.
Bagi mereka yang tumbuh di pemukiman miskin, sepak bola bukan sekadar olahraga murah untuk menghadirkan kegembiraan. Dalam banyak kejadian, sepak bola menjadi tempat bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mengubah nasibnya.
Beruntung, Cantona punya bakat untuk memainkan si kulit bundar. Dalam usia belia, dia bergabung dengan klub lokal bernama SO Caillolais. Dia bermain lebih dari 200 pertandingan bersama klub ini.
Setelah itu, lagi-lagi karena bakatnya, Cantona mendapat kesempatan bergabung dengan klub profesional AJ Auxerre. Di klub ini, dia sempat menjadi bagian dari tim yunior selama dua tahun. Lalu, pada 1983, dia resmi menjadi bagian dari tim inti klub ini.
Selepas di Auxerre, Cantona sempat berpindah-pindah beberapa klub, seperti Marseille, Bordeaux, Mont-pellier, dan Nimes.
Hingga, di tahun 1991, Cantona memutuskan pindah ke Liga Inggris. Awalnya, dia bergabung dengan klub Leeds United selama satu setengah musim.
Saat bermain di Leeds, Cantona mulai mendapat perhatian dari pelatih Manchester United, Alex Ferguson. Hingga, pada 1992, Cantona dibeli MU seharga 1,2 juta poundsterling.
Bersama MU, karier sepak bola Cantona berkibar. Nama Cantona mulai menjulang di Liga Inggris. Bermain 182 kali membela klub berjuluk Setan Merah itu, dia menyumbang 82 gol. Itu juga yang membuatnya menjadi salah satu legenda di klub yang sudah berdiri sejak 1878 itu.
Sepak bola untuk rakyat
Cara pandang Cantona melihat sepak bola cukup progressif. Bagi dia, sepak bola bukan sekadar seni memainkan bola di lapangan hijau, tetapi terkait dengan realitas kehidupan di luar lapangan.
“Sepak bola harusnya untuk rakyat. Ini bukan ide yang utopis,” kata Cantona.
Tak terpungkiri, sepak bola adalah satu olahraga paling populer di muka bumi ini. Setidaknya, ada 3 miliar manusia yang menyebut diri sebagai “pencinta sepak bola”.
Manusia-manusia itu, dari berbagai bangsa, suku, agama, ras, entah kaya atau miskin, laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, dipersatukan oleh perasaan yang sama: kecintaan pada sepak bola.
Karena itu, bagi Cantona, sepak bola harus berkontribusi pada orang-orang tersebut. Termasuk ikut serta meringankan persoalan-persoalannya.
Karena itu, dia bergabung dengan Juan Mata, pemain Spanyol yang bermain di MU, yang menginisiasi sebuah gerakan untuk membuat sepak bola bisa berkontribusi bagi perubahan sosial. Nama gerakannya: Common Goal.
Di gerakan ini, ada nama-nama besar seperti Jurgen Klopp (pelatih Liverpool), Paulo Dybala (Juventus), Serge Gnabry (Bayer Munchen), Timor Werner (Chelsea), Vero Boquete (timnas perempuan Spanyol), dan lain-lain.
Iden gerakan ini sederhana: setiap anggota menyumbangkan 1 persen dari gaji atau pendapatannya untuk misi sosial, seperti memerangi HIV/AIDS, ketidaksetaraan gender, ketimpangan ekonomi, pengangguran kaum muda, hingga mengakhiri rasisme.
Politik kiri
Meski Cantona dikenal keras, gampang meledak, dan blak-blakan, tetapi dia tak kekiri-kirian seperti Cristiano Lucarelli di Livorno.
Cantona tak kurang-kurang politisnya. Sekali pun, itu lebih banyak diekspresikan di luar lapangan.
Di luar lapangan, Cantona banyak berbicara isu-isu sosial yang berkembang, dari soal tunawisma, imigrasi, rasisme, hingga ketidakadilan ekonomi.
Menurut dia, para politisi dan pejabat pemerintah harus punya kepedulian terhadap tunawisma. Mulai dari mengatur harga rumah, sewa tempat tinggal, hingga membangun perumahan murah untuk rakyat.
Ketika negara-negara Eropa dibanjiri imigran dari negara-negara yang dilanda konflik di Timur Tengah dan Afrika, Cantona juga berkomentar.
“Kita yang menciptakan perang demi ambisi ekonomi, lalu orang-orang meninggalkan negerinya karena kekacauan, tetapi kita justru menolaknya,” kata Cantona kepada harian Perancis, Le Parisien.
Cantona juga kerap mengeritik apa yang disebutnya “nasionalisme bodoh”, merujuk pada pemujaan berlebihan terhadap identitas atau simbol-simbol nasionalitas, tetapi abai dengan persoalan-persoalan sosial.
“Menjadi Prancis, apa mesti harus bisa bercakap dalam bahasa Prancis dan menyanyi lagu Marseillaise? Itu bodoh,” kata dia.
Komentar itu merupakan reaksi Cantona atas kemarahan sebagian politisi Prancis, terutama kelompok nasionalis, terhadap aksi penonton Aljazair yang mencemooh lagu kebangsaan Prancis saat dinyanyikan sebelum pertandingan sepak bola.
Ketika krisis ekonomi 2008 mencekik Eropa, termasuk kebijakan penghematan (austerity) yang menyertainya, Cantona menjadi salah satu pengeritiknya.
Merespons krisis itu, Cantona punya ide yang membuat gempar: rush money. Ya, aksi massal menarik uang di bank.
Penjelasan dia sederhana. Baginya, sistem kapitalisme hari ini dibangun lewat bank. Karena itu, jika mau melakukan revolusi, mulailah dengan merontokkan bank.
Dia contohkan, daripada 3.000 orang demo di jalanan, lebih baik mereka ke bank dan menarik semua tabungannya. Bayangkan kalau ada 3 juta orang, atau 10 juta orang, kata dia.
“Tidak perlu senjata, tidak ada darah menetes, tapi revolusi,” katanya seperti dikutip Guardian.
Sepintas lalu, penjelasan Cantona itu terdengar konyol. Tapi, siapa sangka, videonya di YouTube langsung ditonton oleh 40 ribu orang. Tak hanya itu, ada 14 ribu orang yang menyatakan bersedia menarik uangnya di bank.
Terakhir, Cantona juga peduli dengan isu rasisme. Ketika pembunuhan George Floyd memicu protes anti-rasisme ke seantero Amerika dan berbagai belahan dunia, Cantona ikut berkampanye.
Dia bersama dua bintang muda Manchester United, Marcus Rashford dan Frederico Rodrigue, ikut mendukung gerakan #BlackOutTuesday dan Black Lives Matter.
Begitulah politik Cantona, baik di lapangan hijau maupun di luar. Politiknya selalu memihak pada kesetaraan dan keadilan sosial.