Pertumbuhan Ekonomi Bisa Membawa Sengsara, Apa Sebabnya?

Serupa keyakinan bahwa matahari akan terbit di ufuk timur setiap hari, banyak yang meyakini pertumbuhan ekonomi pasti akan mendatangkan kemakmuran untuk sebuah bangsa. Keyakinan ini dipegang kuat-kuat layaknya dogma oleh banyak pemimpin politik, teknokrat, maupun ekonom.

Menariknya, tolok ukur dari pertumbuhan ekonomi itu adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Diperkenalkan hampir seabad lampau, PDB adalah keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam ekonomi sebuah negara dalam periode waktu tertentu.

Jika nilai PDB meningkat, maka ekonomi dianggap tumbuh. Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi berarti semakin bersinar dan makmur ekonomi sebuah negara. Tidak mengherankan, banyak pemimpin politik terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi.

Tidak terkecuali pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang baru dilantik 20 Oktober 2024 lalu. Pemerintahan yang mendaku penerus Joko Widodo (Jokowi) ini menargetkan pertumbuhan yang terbilang muluk: 8 persen.

Demi mencapai itu, investasi dibuka seluas-luasnya, konsumsi harus digenjot habis-habisan, dan semakin banyak barang yang bisa diekspor. Dalam pandangan aktivis lingkungan India, Vandana Shiva, pertumbuhan PDB berarti semakin banyak bagian dari alam dan relasi sosial manusia yang diubah menjadi komoditi.

Di negeri tercinta, langkah ini sudah sedari dulu dilakukan kala ekstraktivisme menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi. Apalagi kini sektor manufaktur, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekspor, sedang terjangkiti penyakit “deindustrialisasi”. Tanpa banyak pilihan, Indonesia terus bertungkus lumus di bawah ekstraktivisme.

Obsesi Berujung Sengsara

Masalahnya, tak semua cerita pertumbuhan berakhir happy ending layaknya film-film Bollywood. Apalagi jika pertumbuhan ekonomi bertumpu pada sumber daya alam (SDA).

Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan betapa rapuhnya pertumbuhan yang berpasak pada sumber daya alam.

Pertama, pada 1958, seorang ekonom Amerika Serikat keturunan India, Jagdish Bhagwati, memperkenalkan apa yang disebut “pertumbuhan yang memiskinkan” atau immiserizing growth.

Sederhananya, konsep “immiserizing growth” mengacu pada negara yang menggenjot pertumbuhan pada ekspor besar-besaran SDA. Ketika ekspor SDA digenjot, pertumbuhan memang meningkat. Namun, ketika ekspor digenjot dan memicu kelebihan pasokan global, harga komoditasnya justru turun drastis.

Masalahnya, kata Bhagwati, ketika harga komoditas menurun, maka volume ekspor harus lebih besar untuk menjaga pertumbuhan. Yang terjadi, semakin banyak SDA yang dieksploitasi, hutan yang dirusak, tanah yang dikeruk, sungai yang dicemari, nilai pendapatan ekspor justru terus menurun.

Masalahnya lagi, jika harga komoditas yang menjadi bahan baku penting semakin tinggi, maka negara maju dengan kemampuan teknologinya menciptakan bahan baku buatan. Sebagai contoh, pada saat perang dunia kedua, rantai pasokan karet sebagai bahan baku ban sangat mahal, negara maju menciptakan karet sintetis (synthetic rubber).

Teori kedua adalah kutukan sumber daya alam atau paradoks keberlimpahan (resource curse). Konsep ini pertama kali dimunculkan olehh Profesor Emeritus Geografi Ekonomi di Lancaster University, Richard Auty, pada 1993.

Menurut Auty, negara-negara yang berkelimpahan sumber daya, seperti minyak dan gas, seringkali mengalami performa ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang lebih buruk dibanding negara-negara yang sumber dayanya terbatas.

Penyebabnya, negara kaya SDA kerap bergantung pada ekspor komoditas yang harganya fluktuatif (volatility). Selain itu, negara kaya SDA abai menyisihkan keuntungan ekspornya demi membangun human capital (Gylfason 2001) . Diperparah lagi, bisnis SDA kerap menciptakan ruang bagi “perburuan rente”, yang menyeret para politisi dalam kubangan korupsi dan “state capture”.

Temuan Auty diperkuat oleh penelitian Jeffrey Sach dan Andrew Warner yang bertajuk ”Natural Research Abundance and Economic Growth” (1995). Dengan meneliti 95 negara selama 20 tahun (1970-1990), Sach dan Warner sampai pada kesimpulan bahwa negara-negara miskin sumber daya, seperti Swiss, Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura, bisa mengungguli negara kaya sumber daya.

Teori selanjutnya adalah “penyakit Belanda” atau Dutch disease. Istilah ini pertama sekali muncul di majalah The Economist pada edisi 26 November 1977, yang mengomentari situasi ekonomi Belanda pada 1970-an setelah penemuan cadangan gas terbesar di Groningen.

Dalam sekejap, Belanda seperti mendapat berkah nomplok. Namun, dalam jangka panjang, ekonomi gas membawa dampak merusak secara struktural.

Lonjakan ekspor gas menggiring masuk mata uang asing dalam skala besar, yang menyebabkan permintaan atas gulden meningkat pesat. Akibatnya, gulden menguat atas mata uang asing lainnya.

Penguatan gulden berdampak pada ekspor non-gas, terutama manufaktur dan pertanian, menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif. Selain itu, karena mata uang asing lebih murah, impor juga meningkat pesat. Selain itu, booming sektor migas memicu apa yang disebut efek pergeseran sumber daya (resource movement effect), yaitu mobilisasi besar-besaran modal dan tenaga kerja dari lagging sector (pertanian dan industri) menuju booming sector (migas). Kombinasi kedua dampak ini memicu deindustrialisasi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sejak 423 tahun lampau, terhitung ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menginjakkan kaki di tanah Nusantara, negeri ini sudah terperangkap dalam ekonomi yang bertumpu pada SDA (ekstraktif).

Hingga sekarang, setelah delapan kali berganti presiden, Indonesia tak juga keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif. Memang, pada masa Jokowi, ada gembar-gembor tentang hilirisasi SDA. Pada praktiknya, hilirisasi ala Jokowi tak mengubah cara kerja ekstraktivisme.

Hingga hari ini, triumvirat yang merajai ekspor Indonesia yang bertumpu pada sawit, batubara, dan karet. Nilai ekspor tiga komoditas ini mewakili sekitar 40 persen total ekspor Indonesia. Sawit sendiri berkontribusi 13,5 persen untuk ekspor non-migas dan 73,8 persen untuk komoditas perkebunan.

Dalam rentang 2005-2013, Indonesia setidaknya lima kali menembus angka 6 persen. Dalam rentang yang sama, Indonesia sedang kecipratan rezeki nomplok booming komoditas, terutama batubara, sawit (CPO), dan mineral. Ironisnya, ketika pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, ketimpangan dengan indikator gini rasio juga melebar parah dari 0,30 (2020) menjadi 0,41 (2014).

Yang terjadi, ketika terjadi booming komoditas, lalu pertumbuhan ekonomi ikut terkerek naik, keuntungannya hanya dinikmati segelintir orang dari kelompok oligarki. Hampir separuh dari 50 orang terkaya Indonesia terafiliasi dengan bisnis ekstraktif.

Ketergantungan terhadap ekspor komoditas membuat ekonomi Indonesia mengidap “penyakit Belanda” (Dutch disease). Sektor pertanian dan industri menurun. Bahkan, belakangan ekonomi Indonesia divonis mengalami deindustrialisasi.

Ketergantungan terhadap sektor ekstraktif tidak berkelanjutan. Perburuan terhadap PDB membuat semakin hutan yang dibuka, tanah dikeruk, sungai tercemar, laut dipagari dan diuruk, dan air tanah terkontaminasi. Selain itu, sumber daya yang dulunya gratis, seperti air dan udara, pelan-pelan dikomodifikasi.

Pemerintah yang bergantung pada ekstraktif tidak peduli terhadap keberlanjutan kehidupan dan selalu tutup mata dan telinga atas peringatan sains. Sebagai misal, meskipun ekspansi sawit terbukti membawa efek eko-sosial, seperti deforestasi, kehancuran keanekaragaman hayati, dan berpotensi melepas semakin banyak gas rumah kaca ke atmosfer karena penggundulan hutan dan pembakaran lahan gambut, tetapi pemerintah tetap kekeuh mempertahankan bisnis sawit.

Sebegitu bergantungnya pada sawit, Prabowo sampai membuat pernyataan anti-sains: “Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu.”

Selain soal ketidakberlanjutan, ekspansi ekstraktif juga membawa konflik perebutan sumber daya yang hampir semuanya mengorbankan petani dan masyarakat adat. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2015-2023, ada 2.939 konflik agraria yang melibatkan korporasi maupun proyek strategis nasional versus petani dan masyarakat adat.

Jadi, obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan GDP sebagai alat ukurnya, perlu dipertimbangkan ulang. Pertumbuhan ekonomi harus sesuai prinsip ekonomi dalam konstitusi kita, yakni pasal 33 UUD 1945, bahwa kegiatan ekonomi harus membawa kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat, berkeadilan sosial dan berkelanjutan.
Indonesia harus konsisten menjalankan hilirisasi SDA, bukan hilirisasi setengah-setengah ala Jokowi. Agenda hilirisasi harus berkontribusi pada reindustrialisasi dan tetap mempertimbangkan isu-isu lingkungan.

Selain itu, keuntungan dari tata kelola SDA harus bisa diinvestasikan untuk pengembangan sumber daya manusia agar ekonomi Indonesia ke depan ditopang oleh inovasi dan produktivitas. Agar ekonomi kita bergeser dari mengandalkan otot menjadi mengandalkan otak.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Klub-klub Sepak Bola di Jalan Kiri Politik

Klub-klub Sepak Bola di Jalan Kiri Politik

Tak dinyana, politik kerap tak hanya mewarnai duel perebutan bola di lapangan

Next
Di Serbia, Runtuhnya Atap Stasiun Picu Revolusi Sosial

Di Serbia, Runtuhnya Atap Stasiun Picu Revolusi Sosial

Kejadian itu membuat marah warga Serbia

You May Also Like
Total
0
Share