Perlunya Menata Hubungan Industrial

Tidak ada negara yang bisa maju dan bisa mencicipi kemakmuran tanpa industrialisasi. Pengalaman Eropa di abad ke-18 dan 19, maupun Asia Timur pada 1960-an, menunjukkan betapa industrialisasi menjadi motor utama kemajuan ekonomi dan peningkatan kemakmuran.

Indonesia sebetulnya punya potensi besar menjadi negara industri maju: kaya sumber daya alam, tenaga kerja yang melimpah, dan potensi pasar yang besar. Sayang sekali, proses industrialisasi di Indonesia masih tersendat-sendat.

Pada 2021, Bank Dunia menurunkan predikat Indonesia dari kelompok negara pendapatan menengah atas (upper middle income) ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income). Salah satu penyebabnya: agenda industrialisasi yang belum berhasil mengangkat pendapatan nasional (GNI) per kapita.

Di sisi lain, industri yang diharapkan bisa mengangkat Indonesia menjadi negara maju tengah mengalami penurunan. Kontribusi industri manufaktur pada Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menurun. Pada 2001, kontribusi industri manufaktur pada PDB masih mencapai 29,1 persen. Pada 2022, kontribusinya tinggal 18,3 persen.

Selain berpengaruh pada pelemahan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, deindustrialisasi juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang terus menurun. 

Tentu saja, untuk memperkuat kembali industri dalam negeri, aspek penting yang perlu ditata adalah hubungan industrial. Sebab, hubungan industrial yang tidak harmonis, yang penuh konflik dan perselisihan, tidak kondusif bagi perkembangan dunia usaha dan perluasan investasi. 

Indonesia membutuhkan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan untuk memastikan kondisi yang kondusif bagi dunia usaha, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejak 1974, Indonesia memperkenalkan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) untuk menata hubungan industrial di dalam negeri agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Namun, setelah lima dekade berjalan, konsep HIP belum berhasil mereduksi konflik industrial di tanah air. Seringkali konflik industrial masih berujung konflik, pemogokan, dan aksi demonstrasi. Kasus Marsinah (1993) adalah salah satu contoh letupan konflik Industrial di masa Orde Baru. 

Mekanisme yang disediakan oleh Negara untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yakni Bipartit, Tripartit, dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), juga belum efektif meredakan konflik industrial.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan(Kemenaker), sepanjang Januari hingga Oktober 2021 ada 121 kasus mogok kerja di Indonesia dan melibatkan 121.711 tenaga kerja. Aksi itu menyebabkan hilangnya 973.688 jam kerja.

Hubungan industrial yang harmonis bukan berarti membungkam kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, melainkan mendorong negosiasi yang sehat dan win-win solution. Karena itu, hubungan industrial bukan hanya harus harmonis, tetapi juga berkeadilan.

Dalam konteks itu, kami pernah menginisasi sebuah dialog yang partisipatif dan deliberatif, yang kami namai Forum Musyawarah Hubungan Industrial (FMHI). Forum ini menghadirkan semua pemangku kepentingan dalam dunia industrial, seperti pengusaha, serikat pekerja, forum HRD, dan pemerintah untuk mengidentifikasi persoalan industrial dan merumuskan solusi bersama.

FMHI sudah kami gelar di sejumlah kota di Indonesia, seperti Pekalongan, Cirebon, Bandung, Subang, Sidoarjo, dan Sukabumi. Rencananya, dalam waktu dekat ini, kami akan menggelar FMHI tingkat nasional di Jakarta.

Ada banyak persoalan dalam hubungan industrial muncul karena mindset yang berbeda dalam melihat persoalan, karena masing-masing pihak terjebak dalam kepentingan sempit dan jangka pendek, karena ruang dialog yang terbatas, dan pola komunikasi yang hanya berlangsung di tataran elit organisasi/lembaga.

Padahal, menurut saya, semua pihak (pengusaha maupun buruh) sedang berhadap-hadapan dengan tantangan yang sama: deindustrialisasi dan disrupsi teknologi yang mengubah corak produksi dan relasi kerja. Tanpa industrialisasi, baik pengusaha maupun buruh kehilangan tempat menggantungkan hidupnya.

Karena itu, menurut saya, negara ini perlu menghadirkan lembaga baru untuk menata hubungan industrial. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi terobosan untuk memberantas korupsi, lembaga baru ini juga akan menjadi terobosan untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait hubungan industrial.

Lembaga baru itu semacam Komisi Nasional Hubungan Industrial.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
SK Trimurti dan Pena Tajamnya

SK Trimurti dan Pena Tajamnya

“Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Ra’jat

Next
Kisah Evo Morales Membangun Partai Alternatif

Kisah Evo Morales Membangun Partai Alternatif

Pemilihan Umum Bolivia pada 2005 menciptakan sejarah baru: Evo Morales, seorang

You May Also Like
Total
0
Share