Saat negeri ini masih terbelenggu oleh kolonialisme dan feodalisme, sejumlah perempuan tampil layaknya pembawa obor di tengah kegelapan.
Dengan pena dan kemampuan merangkai kata-kata, mereka menggugat feodalisme dan kolonialisme. Karya mereka tak hanya membangungkan bangsa yang terperintah, terutama kaum perempuannya, tetapi juga bergerak dan menyusun perlawanan.
Mereka menulis di surat kabar. Bahkan ada yang mendirikan surat kabar. Dan, seperti kata Napoleon Bonaparte, “empat koran yang berisik lebih berbahaya dari ribuan bayonet”, tulisan-tulisan perempuan itu sangat tajam menghujam kolonialisme dan feodalisme.
Berikut pejuang-pejuang perempuan yang menggunakan pena dan kata-kata sebagai senjata perlawanan.
Kartini
Kartini merupakan perempuan pertama yang menggunakan pena dan kekuatan pikiran sebagai senjata. Ia gigih mengkritik feodalisme dan kolonialisme. Selain lewat korespondensi, Kartini kerap menulis artikel. Kumpulan suratnya dibukukan dan diberi judul “Door Duisternis tot Licht” atau “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.
Lewat tulisan, Kartini menyalakan api yang menyuluhi bangsanya. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebut Kartini sebagai pemula dari sejarah modern di Indonesia. “Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak, Kudus, dan Jepara” tulis Pram.
Siti Soendari
Siti Soendari mulai menulis di koran Poetri Hindia yang didirikan oleh Tirto Adi Soerjo pada 1908. Tahun 1913, dia menjadi penulis sekaligus redaktur di koran Wanito Sworo. Dia juga beberapa kali menulis di Doenia Bergerak, majalah yang diasuh oleh jurnalis paling radikal di masa itu, Mas Marco Kartodikromo.
Tulisan-tulisan Siti Soendari sangat tajam mengkritik patriarki dan kolonialisme. Dalam novel Pram, Rumah Kaca, Siti Soendari digambarkan sebagai perempuan yang cerdas, pemberani, orator hebat, dan berpena tajam.
SK Trimoerti
Pada 1930-an, Trimoerti menulis untuk koran yang dipimpin oleh Sukarno, Fikiran Ra’jat. Tahun 1935, dia mendirikan koran sendiri, Bedoeg. Setahun kemudian, dia mendirikan koran Soeara Marhaeni.
Trimurti pernah ditangkap Belanda karena pamfletnya yang keras dan tajam. Keluar dari penjara, Trimurti tidak kapok. Dia bekerja di sebuah percetakan kecil, sembari ikut menerbitkan majalah Suluh Kita.
SK Trimurti, yang kelak menjadi Menteri Perburuhan pertama dalam sejarah Indonesia, selalu aktif menulis untuk menggugat atau memprotes keadaan. Tahun 1960-an, lewat nama pena “Mak Ompreng”, dia menulis di Harian Ra’jat dan majalah Api Kartini untuk mengkritik patriarki dan feodalisme.
Roehana Koeddoes
Roehana merupakan pendiri surat kabar perempuan pertama, Soenting Melajoe, pada 1912. Surat kabar itu menyuarakan hak-hak perempuan.
Menariknya, meski tak mengenyam bangku sekolah, Roehana punya ketertarikan kuat pada jurnalisme. Dia percaya jurnalisme sebagai senjata untuk mengangkat derajat perempuan.
Rasuna Said
Rasuna Said adalah aktivis Sarekat Rakyat dan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Sumatera Barat. Pidato dan tulisannya sangat tajam. Dia merupakan pendiri koran pergerakan, Raya. Dia juga pendiri koran nasionalis kiri, Menara Poetri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno: Ini dadaku, mana dadamu.
Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang anti-kolonial.
Hal itu yang membuat Rasuna Said berkali-kali berurusan dengan polisi Belanda karena delik pers (persdelict).
Boetet Satidjah
Boetet Satidjah merupakan pendiri sekaligus redaktur koran Perempoean Bergerak. Koran yang berdiri pada 1919 disebut sebagai koran feminis pertama di Indonesia. Boetet sendiri banyak menulis lewat rubrik khusus: Beroending.