“Bekerja tapi bukan pekerja, berkarya tapi bukan karyawan.”
Status kemitraan tidak adil dan timpang karena perusahaan aplikator membuat kebijakan sepihak yang harus ditaati mitra pengemudi ojek online (ojol). Demikian juga terkait profit sharing yang timpang. Harus diakui, pengemudi ojol sebagai core penggerak bisnis aplikasi dalam posisi marjinal karena hanya mendapatkan penghasilan dari tarif yang dibagi (dipotong)―fare sharing.
Sudah begitu benefit sharingnya juga timpang. Ojol tidak mendapatkan benefit jaminan sosial, jaminan penghidupan yang layak, termasuk THR yang semestinya menjadi tanggungjawab perusahaan aplikator. Ini beda perlakuan dengan pekerja di kantor aplikator.
Perusahaan tidak mempunyai standar service of exelent yang berbasis pada kompetensi khusus pengemudi. Mereka yang setiap hari melata menyusuri jalanan hanya dihargai sebatas tarif. Kode etik bukan berbasis kompetensi yang perlu dihargai, tapi hanya menjadi kewajiban yang berkonsekuenasi sanksi bagi pengemudi ojol sebagai mitra jika tidak sesuai.
Status kemitraan cuma menjadi strategi untuk menghindari tanggungjawab yang lebih, di tengah gamangnya negara memberi perlindungan regulasi yang pasti. Sudah satu dekade keberadaan ojol tanpa dibarengi regulasi yang jelas. Situasi ini tidak mencerminkan praktik usaha, juga ekonomi Pancasila.
Antara kemitraan dan status karyawan
Dalam aktivitas bisnis transportasi online nyatanya memang ada tiga unsur hubungan kerja yaitu pekerjaan, upah dan perintah. Ketiga unsur ini merupakan syarat adanya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Jadi pekerjaan, upah dan perintah adalah unsur yang harus ada dalam hubungan kerja.
Hubungan ini adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh yang didasarkan pada perjanjian kerja. Hubungan kerja ini juga dikenal sebagai hubungan perburuhan yang diatur dalam aturan ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan sendiri bertujuan untuk melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera bagi seluruh rakyat.
Terdapat bebeapa jenis hubungan kerja di Indonesia, antara lain: perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), pekerja harian lepas, outsourcing atau alih daya. Selain itu ada syarat lain yaitu waktu kerja (jangka waktu kerja dan jam kerja yang jelas), pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kerja, antara lain: pekerja/buruh, pengusaha/pemberi kerja, serikat kerja/serikat buruh. Dalam skala yang luas ditambah peran pemerintah dalam hubungan industrial.
Ada perbedaan antara status kerja antara pengemudi ojol dengan pekerja pada umumnya. Ojol adalah individu yang mempunyai alat produksi (terlepas dr status kepemilikanya: kredit, sewa dll) dan skill individu untuk mengoperasikan alat produksi dan mengaplikasikan skillnya (hard skill maupun soft skill).
Dari sini ojol sebenarnya pelaku usaha mikro ketika memberikan jasa transportasi dengan motornya, sebelum ada aplikasi mereka biasa disebut ojek panggilan (opang). Ini juga rental mobil P to P, yang iklannya bisa ditempel di tiang listrik atau media sosial.
Di sisi lain aplikator transportasi online yang sekarang eksis adalah perusahaan tanpa mempunyai armada transportasi. Dalam hal ini, sebetulnya mereka tak bisa disebut perusahaan transportasi online. Karena itu mereka membuka peluang kemitraan pada para pemilik motor dengan berbagai persyaratan.
Jelas dalam hal ini mereka bukan perusahaan transportasi. Mereka sejatinya hanya menggantikan tiang listrik yang tadinya digunakan pemilik kendaraan untuk menempel iklan dalam menjaring konsumen.
Sementara ini, yang bisa disebut pekerja Gojek, Grab atau yang lain adalah para pekerja di kantor, admin, manajer, supervisor yang mempunyai perjanjian kerja dan syarat-syarat kerja yang jelas seperti upah, perintah atau tugas pekerjaan sesuai posisi dan jam kerja.
Berbeda dengan praktik di perusahaan taksi semisal Bluebird yang sejak awal memang merupakan perusahaan transportasi yang mempunyai armada dan merekrut driver dengan perjanjian kerja lengkap dengan jam kerja pendapatan minimum yang ditentukan, dan mendapatkan jaminan sosial (asuransi), meski sering disebut mitra driver dan ada penyesuaian-penyesuaian khusus terkait bonus dan lain-lain. Ketika Bluebird membuat aplikasi pemesanan, itu hanya sebagai pelengkap untuk memudahkan konsumen memesan.
Jadi hubungan antara pemilik kendaraan (pengemudi) personal (P) dan perusahaan aplikator sebagai entitas bisnis (B) dalam khazanah transportasi online sekarang ini adalah hubungan bisnis/usaha (bussines relation) dan bukan hubungan industri (industrial relation).
Perubahan status mitra menjadi pekerja dengan situasi sekarang ini menjadi sangat kompleks bahkan cenderung mengakibatkan sesat pikir (missunderstanding) dalam mencari solusi di kalangan driver online, masyarakat bahkan oleh pemerintah. Sehingga wajar jika Menteri Bahlil sempat memasukkan ojol sebagai pekerja yang tidak berhak mendapatkan subsidi BBM. Yang kemudian direvisi ojol sebagai pelaku UMKM yang berhak mendapatkan subsidi.
Ojol sebagai pelaku usaha bermitra dengan perusahaan aplikator sudah benar, dan ini bisa menjadi peluang besar bagi ojol untuk mendapatkan bagi hasil (profit sharing) yang besar dibandingkan dengan tarif ataupun upah minimum.
Ojol harus melakukan aksi bisnis
Hubungan kemitraan bisnis inilah yang harus dipahami oleh pengemudi untuk meningkatkan posisinya melalui kolaborasi antara pemilik kendaraan sebagai entitas bisnis dalam bentuk koperasi. Sehingga posisi kemitraan antara B to B dan bukan B to P (B = perusahaan aplikator atau badan hukum koperasi, P = pengemudi).
Ojol yang selama ini individual sebagai pemilik modal kendaraan (pelaku usaha mikro) yang hanya membuat komunitas berbasis solidaritas, mulai sekarang harus melakukan aksi bisnis (bussines action) dengan “merger” dan berhimpun melalui koperasi. Koperasi sejatinya dapat menjadi “holding company” para pengemudi online.
Setelah itu bisa melakukan hubungan kemitraan yang sejajar (equal) dengan perusahaan aplikator dan mendapatkan akses terhadap profit yang dihasilkan atas kemitraan tadi.
Kendaraan yang dimiliki para driver harus dinilai atau divaluasi dan diakumulasi sebagai aset bersama atau modal dalam hubungan bisnis bersama aplikator, sehingga setiap driver mempunyai hak pendapatan yang lebih besar, bukan sekadar upah minimum dan THR. Ojol melalui koperasi juga bisa berperan dalam menentukan aturan bisnis bersama dengan penuh tanggungjawab dan profesional.
Selain sebagai wadah usaha atau holding company yang melakukan kemitraan dengan perusahaan aplikator, koperasi juga membuat program usaha mandiri untuk anggota dan keluarganya, program peningkatan kapasitas pengemudi dan lainnya. Dus, pengemudi mendapatkan penghasilan dan sumber kesejahteraan bukan hanya dari tarif tapi dari profit sharing kemitraan. Selain itu juga dari usaha mandiri di koperasi serta SHU setiap tahun dari koperasi.
Sekarang ini pemerintah sudah melakukan langkah maju dengan menetapkan ojol sebagai pelaku UMKM yang menjadi prioritas dari Kementerian Koperasi (Kemenkop) dalam program khusus pemberdayaan koperasi ojol. Maka pemerintah sudah tidak boleh gamang dan saling lempar hendak ke mana regulasi atau payung hukum ojol dibuat.
Sudah tidak boleh saling lempar antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) dan Kementerian Koperasi (Kemenkop). Ini adalah soal bagaimana mengembangkan usaha mikro, bukan soal ketenagakerjaan. Penting untuk memastikan ojol beroperasi dan menjadi entitas bisnis yang andal dan akuntabel. Akan lebih sempurna jika dibarengi dengan melegalisasi roda dua sebagai alat transportasi (barang dan orang) skala kecil (dalam kota).
Kini bukan saatnya bertanding, tapi bersanding dalam sebuah kolaborasi ekonomi. Inilah kemitraan dan gotong-royong berdasarkan Pancasila. Pada tahap ini marwah dan martabat pengemudi (dan keluarganya) menjadi lebih terhormat, tak lagi marjinal. Dan, koperasi sebagai soko guru ekonomi mulai ditegakkan, mulai dari ojol!
So, sobat ojol pilih mana, jadi pekerja atau jadi pelaku usaha? ***