Mengurai Benang Kusut Ketimpangan di Balik Janji Kerakyatan

Tulisan ini merupakan perpanjangan analisis kritis yang sebelumnya telah dipaparkan penulis dalam dua artikel, yaitu “Omon-omon Pengelolaan Tambang dalam UU Minerba” (merdika.id) dan “Sektor Ekstraktif dan Pengembangan Industri Nasional Berkelanjutan di Indonesia” (medium).

Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi berbagai inisiatif “program kerakyatan” yang digalakkan pemerintah. Mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, Sekolah Rakyat gratis yang bertujuan memutus rantai kemiskinan antargenerasi, hingga berbagai bentuk bantuan sosial yang disalurkan melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Upaya-upaya yang melibatkan lintas kementerian seperti Kemensos, PUPR, Kemendikdasmen dan lainnya ini patut diapresiasi sebagai komitmen pemerintah dalam meringankan beban hidup rakyat (kaum 99 persen) serta menjadi wujud pemberian jaring pengaman sosial.

Namun, di tengah program kerakyatan ini, kita dihadapkan pada sebuah ironi yang mengkhawatirkan. Persoalan mendasar mengenai penguasaan sumber daya ekonomi nasional―khususnya lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan hutan―justru terus mencuat ke permukaan. Kasus seperti tambang di Raja Ampat, hingga isu peralihan administrasi empat pulau di Aceh yang sarat akan potensi sumber daya alam, adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa masalah di “hulu” masih jauh dari kata terselesaikan.

Kontradiksi ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, pemerintah berupaya keras “menyumbat” kebocoran kemiskinan dan ketimpangan melalui distribusi bantuan dan program dasar; namun, di sisi lain, “keran” sumber daya ekonomi utama justru terlihat semakin dikonsentrasikan kepada para oligarki dan dikelola tidak transparan.

Pemerintah, misalnya, terlihat memperbarui data DTKS secara berkala, yang menunjukkan keseriusan dalam menargetkan kelompok miskin dan rentan dari sisi konsumsi dan kebutuhan dasar. Ini adalah langkah maju dalam penanganan kemiskinan dari pendekatan distribusi ulang. Tapi data mengenai Hak Guna Usaha (HGU) yang luas, izin usaha pertambangan (IUP), atau izin pemanfaatan hutan (IUPHHK), apalagi dengan rincian siapa pemilik modal di baliknya (asing atau domestik), masih sangat sulit diakses publik. Padahal, pengamalan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang paling fundamental adalah persoalan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkeadilan dan transparan, bukan hanya berfokus pada soal hilirisasi atau output ekonomi semata.

Ketidaktransparanan ini menciptakan celah lebar bagi praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elite (kaum 1 persen) yang memiliki akses sangat istimewa.

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, melalui Agricultural Foreign Investment Disclosure Act (AFIDA), setidaknya menyediakan data kepemilikan lahan pertanian asing yang relatif transparan, sehingga memungkinkan publik untuk memantau tren dan implikasinya. Meskipun ada tantangan serupa di Vietnam dalam pengelolaan hak guna lahan, Indonesia masih menghadapi masalah fundamental dalam menyajikan data yang terintegrasi, terpadu dan dapat diverifikasi publik mengenai kontrol dan pengelolaan atas sumber daya kunci.
Implikasinya sangat jelas: jika masalah di hulu, yakni ketidakadilan dan ketidaktransparanan dalam akses serta kontrol dan penguasaan atas sumber daya produktif (pertanian, perkebunan, pertambangan) tidak diatasi secara struktural, maka upaya-upaya di hilir melalui program kerakyatan akan cenderung kurang efektif dalam memutus mata rantai kemiskinan secara fundamental. Program tersebut hanya akan menjadi “perban” sementara atas luka ketimpangan yang terus menganga. Lebih miris lagi hanya sebagai kamufalse oligarki (kaum 1 persen).

Ketimpangan ekonomi yang persisten di Indonesia, sebagaimana yang kita saksikan sepanjang tahun, tidak dapat dilepaskan dari akar masalah ini. Sumber-sumber ekonomi utama dikelola dalam kegelapan data, menutupi konsentrasi kekayaan dan kekuasaan pada segelintir pihak, sementara akses dan kesempatan bagi rakyat luas tetap terbatas. Masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal dalam menjaga keberlanjutan sumber daya, seringkali menjadi korban pertama dari ekspansi sektor ekstraktif yang tidak terkontrol.

Mengurai permasalahan dari hulu sampai hilir

Sebagaimana ditekankan dalam analisis tentang sektor ekstraktif, praktik pertambangan yang menjadi andalan ekonomi Indonesia hingga saat ini, seringkali berdampak sangat signifikan pada lingkungan hingga mereduksi kesejahteraan rakyat. Pembukaan lahan untuk pertambangan seringkali mengakibatkan hilangnya habitat alami, yang berujung pada penurunan keanekaragaman hayati. Pencemaran tanah dan air juga merupakan isu krusial, di mana penggunaan bahan kimia beracun dapat bocor dan mencemari sumber-sumber vital, sehingga merugikan hasil pertanian dan kesehatan manusia. Bahkan, emisi gas rumah kaca dari kegiatan ekstraksi, transportasi, dan pemrosesan mineral berkontribusi terhadap pemanasan global. Maka selain soal pengelolaan yang adil, pentingnya praktik yang bertanggungjawab, penerapan teknologi ramah lingkungan, rehabilitasi lahan pasca-pertambangan, serta regulasi yang lebih ketat, adalah keharusan yang tak bisa ditawar.

Di tengah ancaman ini, masyarakat adat memiliki posisi strategis yang tak terbantahkan. Mereka menyimpan pengetahuan dan kearifan lokal yang telah terakumulasi selama berabad-abad, menjadi modal penting dalam menjaga keberlanjutan biodiversitas dan ekosistem. Praktik-praktik pengelolaan yang ramah lingkungan oleh masyarakat adat, sering kali berbeda dengan pendekatan teknis yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di sektor ekstraktif, terbukti lebih berkelanjutan. Namun, hak-hak mereka kerap terancam oleh praktik pertambangan yang merusak, memicu konflik dengan margin kekuasaan yang timpang, meninggalkan komunitas adat dalam posisi yang lemah.

Pengelolaan tambang, sebagaimana disorot dalam konteks revisi UU Minerba yang melibatkan koperasi, UMKM, organisasi keagamaan, dan lembaga pendidikan, patut dipertanyakan. Apakah keterlibatan ini benar-benar demi kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi, atau hanya formalitas untuk mendapatkan legitimasi dari kelompok kritis? Ini adalah pertanyaan krusial yang mengemuka di tengah kekhawatiran bahwa kebijakan dapat melayani kepentingan oligarki dengan dalih populisme dan kesejahteraan publik.

Maka dari itu, sudah saatnya pemerintah menunjukkan konsistensi dan keberanian politik. Program kerakyatan harus berjalan seiring dengan reformasi agraria dan tata kelola sumber daya alam yang radikal dan transparan. Ini mencakup:

Pertama, transparansi penuh data lahan dan konsesi atau Data Terpadu Pengelolaan Sumber Daya Alam (DTPSDA)

    Integrasikan seluruh data HGU, IUP, IUPHHK, dan izin lainnya dalam satu sistem yang dapat diakses publik, termasuk pengungkapan pemilik perusahaan dan pemilik manfaat akhir atau ultimate beneficial owner (UBO) dari setiap korporasi pemegang izin. Ini adalah perwujudan esensi pasal 33 UUD 1945 agar SDA dikelola secara adil dan transparan untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya berorientasi hilirisasi semata. Dari DTPSDA ini maka penguasaan SDA oleh negara dapat terpastikan untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Kedua, penyelesaian konflik agraria secara adil

      Segera selesaikan sengketa lahan yang berlarut-larut dengan memprioritaskan hak-hak masyarakat adat dan petani, serta memastikan keterlibatan aktif mereka dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya.

      Ketiga, penguatan tata kelola sektor ekstraktif

        Terapkan regulasi yang lebih ketat terhadap dampak lingkungan sektor ekstraktif, termasuk penggunaan teknologi ramah lingkungan dan rehabilitasi pasca-tambang yang efektif, dengan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Hal ini harus pula diiringi dengan upaya mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan yang lebih baik.

        Keempat, mendorong pengembangan industri nasional berkelanjutan berbasis kerakyatan

          Alihkan fokus dan insentif dari sektor ekstraktif ke sektor-sektor berkelanjutan, misalnya pariwisata berkelanjutan yang ramah lingkungan, pertanian organik untuk ketahanan pangan dan nilai tambah, serta industri kreatif berbasis inovasi dan teknologi. Semua ini harus berorientasi pada pengurangan ketergantungan pada sektor ekstraktif.

          Kelima, memberdayaan koperasi sebagai pilar ekonomi nasional

            Dukung dan perkuat koperasi sebagai model ekonomi kerakyatan melalui edukasi, akses modal, dan fasilitasi pasar. Koperasi harus menjadi instrumen utama dalam mengelola sumber daya alam lokal secara adil dan berkelanjutan untuk kesejahteraan anggota (rakyat dan masyarakat luas), melalui kerja sama ekonomi bersama atau communal economic collaboration (CEC) yang akan menjadi jejaring aktivitas ekonomi gotong royong nasional yang kokoh.

            Transparansi data melalui Data Terpadu Pengelolaan Sumber Daya Alam (DTPSDA) bukan sekadar isu teknis, melainkan pondasi utnuk membangun keadilan sosial dan ekonomi di Indonesia. Dengan mengatasi masalah ini, Indonesia dapat beralih dari model pembangunan yang rapuh dan timpang menjadi negara yang makmur secara adil dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

            Total
            0
            Shares
            Tinggalkan Balasan

            Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

            Prev
            Studi, Organisasi, dan Revolusi: Relevansinya bagi Gerakan Mahasiswa Kontemporer

            Studi, Organisasi, dan Revolusi: Relevansinya bagi Gerakan Mahasiswa Kontemporer

            Ketiga pilar ini, jika dipahami dan diaktualisasikan secara benar, memiliki

            Next
            Presiden dan Ijazahnya

            Presiden dan Ijazahnya

            Awalnya, riuh rendah polemik tentang ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi)

            You May Also Like
            Total
            0
            Share