Masukan untuk Program Makan Bergizi Gratis

Niat baik tak selalu berbuah manis jika eksekusinya rapuh. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digadang-gadang sebagai investasi strategis bangsa, justru menuai banyak kritikan.

Sejak kick-off pada 6 Januari lalu, program ini tercoreng oleh kasus keracunan siswa usai menyantap makanan MBG. Terhitung, sejak 6 Januari hingga 15 Mei 2025, sudah ada 17 kasus keracunan MBG dengan jumlah korban 1.602 orang keracunan atau 0,045 persen dari jumlah penerima manfaat.

Begitu kabar keracunan pelan-pelan meredup, muncul lagi kontroversi baru. Di Tangerang Selatan, Satuan Pendidikan Pelaksana Program Gizi (SPPG) setempat menyajikan MBG berbentuk makanan mentah dan makanan ringan (biskuit, susu, roti dan buah).

Penyimpangan ini, meskipun mungkin dilandasi oleh ketidaksengajaan, tetap saja memunculkan pertanyaan: apakah tujuan utama program ini masih menjadi prioritas? Jika masih tegak lurus dengan tujuan, mengapa pelaksanaannya ambrudul?

Berbagai masalah yang muncul merupakan sinyal kuat bahwa ada yang salah dalam pendekatan, dan program ini butuh evaluasi total, bukan sekadar perbaikan kosmetik.

Evaluasi menyeluruh demi tujuan luhur

Kita harus sepakat, tujuan program MBG sangatlah luhur: meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pemenuhan kebutuhan gizi setiap anak bangsa. Ini adalah investasi jangka panjang yang hasilnya akan kita tuai puluhan tahun mendatang dalam bentuk generasi yang lebih sehat, cerdas, dan produktif.

Namun, agar tujuan mulia ini tidak kandas menjadi proyek gagal yang hanya menghabiskan anggaran, evaluasi yang jujur dan berani mutlak diperlukan. Jangan sampai niat baik dieksekusi dengan cara yang salah dan buruk, sehingga yang tersisa hanyalah citra buruk dan anak-anak yang tidak mendapatkan hak gizinya secara optimal.

Ubah dari universal menjadi targeting

Pendekatan “pukul rata” atau universal untuk semua siswa terdengar adil, namun dalam praktiknya sering kali tidak efisien dan rentan masalah. Keterbatasan anggaran yang harus dibagi untuk puluhan juta anak membuat kualitas gizi per porsi berisiko diturunkan.

Karena itu, tanpa harus menyetop program ini, sebaiknya konsepnya diubah menjadi program yang tepat sasaran (targeting). Prioritaskan program ini untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dan mereka yang berada di daerah terluar, tertinggal, terdepan (3T). Ada dua keuntungan besar dari pendekatan ini:

Pertama, anggaran bisa berkurang, lebih efektif, dan kualitas terjamin. Dengan sasaran yang lebih ramping, anggaran negara bisa difokuskan untuk menyediakan makanan dengan kualitas gizi premium. Pengawasan terhadap kualitas bahan, proses memasak, hingga distribusi menjadi jauh lebih mudah. Ini bukan lagi soal kuantitas, tapi soal presisi gizi untuk mereka yang paling membutuhkan.

Kedua, pendekatan targeting ini sebetulnya juga berkeadilan sosial. Ini sama dengan “dalil Maksimin”-nya John Rawls: membantu orang yang paling tidak beruntung (the least advantaged), sehingga mereka tak tertinggal dan bisa berdiri di garis start yang sama.

Desentralisasi berbasis sekolah

Masalah utama dari program berskala nasional adalah model sentralistik yang menjadikannya proyek logistik raksasa. Model ini menciptakan rantai pasok yang panjang, membuka celah bagi vendor yang tidak berkualitas, dan menimbulkan biaya tinggi untuk pengemasan serta pengiriman.

Solusinya adalah desentralisasi program ke tingkat kota/kabupaten untuk dieksekusi di level sekolah. Mekanismenya sebagai berikut:

  • Anggaran langsung ke daerah. Dalam pelaksanaannya, alokasi anggaran MBG ditransfer langsung ke pemerintah kota/kabupaten untuk diteruskan ke sekolah-sekolah berdasarkan jumlah siswa target.
  • Masak di dapur sekolah. Makanan bergizi untuk siswa dimasak di dapur sekolah masing-masing. Pemerintah perlu memastikan setiap sekolah penerima program memiliki dapur yang memenuhi standar kebersihan, kelayakan, dan fasilitas penyimpanan yang memadai.
  • Pengawasan ahli gizi lokal. Prosesnya dikontrol ketat oleh ahli gizi yang ditugaskan di tingkat kecamatan atau kota. Tugas mereka meliputi penyusunan menu bergizi seimbang, pemeriksaan kualitas bahan baku, pengawasan kebersihan dapur, hingga memastikan proses memasak sesuai standar.
  • Pembelajaran karakter melalui makanan. Penyajian makan bergizi dilakukan secara prasmanan. Ini bukan sekadar makan, tapi menjadi proses pembelajaran. Anak-anak belajar antre, mengambil makanan secukupnya, adab makan bersama, dan yang terpenting, bertanggung jawab membersihkan peralatan makannya sendiri.

Model desentralisasi ini secara drastis memangkas biaya vendor, pengemasan, dan transportasi. Anggaran yang dihemat bisa dialihkan untuk membeli bahan baku yang lebih berkualitas dari petani atau pasar lokal, sekaligus memberdayakan ekonomi daerah.

Belajar dari praktik terbaik dunia

Kita tidak perlu menciptakan roda dari awal. Banyak negara telah sukses menjalankan program makan sekolah dengan model desentralisasi dan edukatif.

  • Jepang dengan konsep Shokuiku (pendidikan pangan) adalah contoh terbaik. Makan siang adalah bagian dari kurikulum. Siswa ikut membantu menyiapkan dan menyajikan makanan, lalu membersihkan bersama. Ahli gizi di sekolah adalah figur sentral. Hasilnya lahir generasi yang paham gizi, disiplin, dan menghargai makanan.
  • Brasil melalui program PNAE mewajibkan minimal 30 persen bahan baku makanan sekolah dibeli dari petani keluarga lokal. Ini tidak hanya menjamin kesegaran bahan pangan, tetapi juga menghidupkan ekonomi di tingkat akar rumput.
  • India, dengan Midday Meal Scheme, memberikan pelajaran penting bahwa tanpa pengawasan lokal yang ketat, program sebesar apa pun akan rentan terhadap masalah kualitas dan korupsi.

Kesimpulan

Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan mendasar: akan melanjutkan program MBG sebagai proyek logistik sentralistik yang masif, mahal, dan rentan masalah? Atau mengubahnya menjadi gerakan desentralisasi berbasis komunitas yang mendidik, memberdayakan, dan benar-benar menyehatkan?

Mengubahnya menjadi program yang tepat sasaran dan berbasis sekolah memang butuh kerja keras awal dalam penyiapan infrastruktur dan sistem. Namun, ini adalah jalan yang benar. Pada akhirnya, piring di hadapan anak-anak kita bukanlah sekadar etalase proyek untuk dibagi di media sosial, melainkan cermin masa depan bangsa. Mari kita pastikan cermin itu memantulkan gambaran generasi yang sehat, cerdas, dan berkarakter. Bukan gambaran program yang sekadar ada tanpa makna.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Selat Hormuz Ditutup, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Dunia?

Selat Hormuz Ditutup, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Dunia?

Merespons serangan tak terduga AS terhadap tiga situs nuklir Iran, Fordow,

Next
10 Lagu Anti-Perang yang Melegenda

10 Lagu Anti-Perang yang Melegenda

Dan, sejarah telah membuktikannya

You May Also Like
Total
0
Share