Krisis politik di Korea Selatan (Korsel), yang bermula sejak awal Desember 2024 lalu, sepertinya akan berakhir. Pasalnya, pemilu terbaru Korsel, yang berlangsung pada Selasa (3/6/2025), telah menghasilkan pemimpin baru.
Lee Jae-myung, tokoh oposisi yang juga kandidat Partai Demokrat, berhasil memenangi pemilu dengan 49,42 persen atau 17,28 juta suara sah. Sementara kandidat dari partai berkuasa Partai Kekuasaan Rakyat (PPP), Kim Moon-soo, hanya mendapat 41,15 persen atau 14,39 juta suara.
Sesaat setelah kemenangannya terpastikan, Lee langsung muncul dan berpidato di depan gedung Majelis Nasional. Dalam pidatonya, ia berjanji akan melindungi demokrasi di Korsel dan memastikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
“Kami akan memastikan bahwa senjata yang diberikan rakyat tidak akan pernah lagi digunakan untuk melawan mereka,” kata Lee di depan gedung Majelis Nasional, Rabu (4/6) pagi.
Mantan buruh pabrik
Lee Jae-myung, yang saat ini berusia 61 tahun, punya jalan politik yang berliku. Ia lahir dari keluarga kelas pekerja yang hidup miskin di Gyeongsang Utara.
Karena kemiskinan, setelah tamat sekolah dasar, Lee bekerja di pabrik pembuat kalung. Setelah pabriknya gulung tikar, ia pindah ke pabrik pengolahan karet Dongma Rubber. Di sini, ia mengalami kecelakaan kerja.

Setelah kejadian itu, ia pindah Daeyang Industry. Di perusahaan yang memproduksi serat poliester staple, Lee kembali mengalami kecelakaan kerja. Sendi pergelangan tangannya dihajar oleh mesin press. Karena cacat di tangan itu, Lee dibebaskan dari kewajiban wajib militer.
Saat bekerja di Daeyang Industry, ia menyaksikan anak-anak sekolah melintas di depan pabrik. Keinginannya untuk bersekolah kembali muncul. Ia pun berjibaku agar bisa melanjutkan sekolah dan berhasil.
Berkat kegigihannya, ia mendapat beasiswa untuk belajar di Fakultas Hukum Universitas Chung-Ang. Setelah lulus, ia mendaftar ujian advokat dan berhasil.
Gerakan pro-demokrasi
Pada 1986, ketika Lee menjadi advokat, gerakan pro-demokrasi sedang pasang di Korsel. Ia menjadi salah satu pengacara yang aktif menentang rezim militer di bawah Chun Doo-hwan.
Saat itu, Lee menjadi pengacara untuk memberi bantuan hukum kepada aktivis pro-demokrasi dan kaum buruh. Ia sering berhadapan dengan kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil, terutama kelas pekerja dan kaum miskin kota.

Tahun 1987, rezim militer berhasil digulingkan dan demokrasi berhasil dikembalikan. Gerakan pro-demokrasi, June Democracy Movement, berhasil menyeret 4-5 juta warga Korsel untuk turun ke jalan atau melakukan pembangkangan sosial.
Setelah demokrasi kembali, Lee melanjutkan karier pengacaranya. Ia tetap mengadvokasi persoalan baru, kadang juga masuk kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat, bahkan turut mengadvokasi kebijakan yang merugikan warga.
Terjun ke politik
Pada 2005, setelah menyadari bahwa perjuangan advokasinya punya batasan, ia memilih terjun ke politik. Ia pun bergabung dengan partai liberal URI yang sedang berkuasa saat itu. Lewat partai itu, ia mencalon diri sebagai wali kota Seongnam, tetapi berakhir dengan kekalahan.
Beberapa percobaan politiknya gagal. Pada pemilu lokal 2006, ia kalah lagi, karena Partai URI saat itu juga sedang mengalami kemunduran elektoral. Pada pemilu 2008, ia maju lagi mewakili daerah Seongnam, tetapi kalah lagi.
Karier politiknya baru membaik pada 2010, ketika ia terpilih sebagai wali kota Seongnam. Begitu menjabat, ia membuat beberapa terobosan yang membuat namanya jadi perhatian publik. Misalnya, ia memasang CCTV di kantor wali kota untuk mencegah praktik suap. Ia juga rajin menggunakan kanal media sosial, khususnya Twitter dan Facebook, untuk mengabarkan kerja-kerja politiknya.
Ia kembali terpilih pada 2016. Saat itu, ia membuat kebijakan kontroversial: melarang daging anjing dan menutup tempat pemotongan anjing.
Pada 2018, ia mencoba menaikkan level karier politiknya dengan maju pada pemilihan gubernur Provinsi Gyeonggi. Dan kali ini, keberuntungan kembali memihaknya. Saat menjabat gubernur, ia menuai pujian karena berhasil mengendalikan pandemi Covid-19.
Pada 2022, ia maju dalam pemilu presiden mewakili Partai Demokrat, tetapi kalah tipis dari kandidat konservatif (PPP), Yoon Suk Yeol. Saat itu, ia mencoba mengambil sisi progresif dengan membawa isu-isu yang menyentuh kaum muda.

Sudah kalah tertimpa tangga, begitulah kira-kira nasib Lee pasca kekalahan pemilu itu. Pada 2024, ia mengalami upaya pembunuhan. Tiba-tiba seseorang menyerang dan menusuk lehernya saat sedang wawancara dengan wartawan usia meninjau rencana pembangunan bandara baru di Busan.
Beruntung, ia berhasil selamat, setelah mengalami proses operasi yang cukup lama. Seolah tak mengenal takut, begitu sembuh, ia kembali terjun ke politik.
Kesempatan itu tiba
Akhir 2024, Presiden Yoon Suk Yeol, yang sedang terpojok oleh krisis ketidakpercayaan dan isu skandal yang melibatkan istrinya, mengambil jalan politik gegabah: mengumumkan darurat militer dan memanggil militer untuk menguasai Majelis Nasional.
Tindakannya memicu gelombang protes, yang memicu pemakzulan dirinya sebagai presiden Korsel. Darurat militer hanya bertahan enam jam. Amarah rakyat Korsel, yang punya ingatan kelam terhadap militer dan kediktatoran, meledak di jalan-jalan.
Kesempatan politik yang mahal bagi Lee akhirnya tiba. Video live streaming Lee yang sedang melompati pagar Majelis Nasional, yang malam itu sudah dikuasai tentara, viral di media sosial. Aksi heroiknya membela demokrasi berhasil mengembalikan karier politiknya.
Pada 10 April 2025, hanya berselang 10 hari setelah pemakzulan resmi Presiden Yoon Suk Yeol disahkan oleh Mahkamah Konstitusi, Lee langsung mengumumkan dirinya sebagai calon presiden dari Partai Demokrat.

Ia berkampanye dengan rompi anti-peluru dan pengawalan ketat aparat keamanan, mengingat Lee pernah mengalami upaya pembunuhan. Selama kampanye, ia berjanji akan memprioritaskan isu ekonomi, terutama untuk mengatasi ketimpangan dan meningkatnya biaya hidup.
Dalam politik luar negeri, meskipun mengaku akan menjaga kemitraan dengan AS, Lee menjanjikan ruang dialog dan kerja sama dengan Korea Utara (Korut). Perdamaian dengan Korut, menurut Lee, adalah jaminan keamanan sejati bagi Korsel.
Lee, yang dilantik sebagai presiden pada 4 Juni ini, sebetulnya tidak lepas dari banyak kontroversi dan skandal. Sebelum menjadi Presiden, ia sedang menjalani lima proses hukum, yang meliputi tuduhan pelanggaran hukum pemilu dan pelanggaran kepercayaan terkait skandal korupsi tanah.
Meski menghadapi berbagai rintangan tersebut, Lee Jae-myung tetap memperoleh dukungan publik yang kuat, terutama dari kalangan pemilih muda dan kelas pekerja yang merasa terwakili oleh latar belakang serta agenda reformisnya.