Kisah PRD dan Pesan di Atas Nisan Pramoedya

Semasa hidupnya, sastrawan Pramoedya Ananta Toer tak ragu menegaskan keberpihakannya kepada kaum muda. Ia menaruh harapan agar angkatan muda berani bergerak menyalakan api perubahan, serta mampu mencatatkan jejak sejarah bagi bangsanya.

Hingga menjelang akhir hayatnya, Pram, sapaan akrabnya, masih memikirkan kiprah mereka. Ia mengangankan generasi muda mampu melahirkan pemimpin sejati. Harapan tokoh kelahiran Blora, Jawa Tengah itu bahkan turut dipahatkan di atas batu nisan pusaranya di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Di bagian bawah nisan berwarna hitam tersebut, kata-kata Pram ditulis dengan warna emas: pemuda harus melahirkan pemimpin.

Sedangkan, pada bagian atas nisan tertulis nama Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925-30 April 2006), juga sang istri Maemunah Thamrin (13 Maret 1929-8 Januari 2011). Pram-Maemunah dimakamkan dalam satu liang lahat di TPU Karet Bivak.

Makam Pramoedya Ananta Toer di Blok AA1 No. 63 TPU Karet Bivak, Jakarta.

Dukungan Pram atas gelora derap perjuangan kaum muda tak hanya muncul dalam karya-karya besarnya yang melegenda. Pesan itu juga kerap ia sampaikan secara terbuka di sejumlah momen.

Tatkala Partai Rakyat Demokratik (PRD) dideklarasikan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 22 Juli 1996 silam, Pram tak ragu hadir di sana. Mengenakan kemeja batik bernuansa biru dengan motif taburan bunga, penulis Keluarga Gerilya yang pernah ditahan di Pulau Buru itu menerima PRD Award. Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi atas keberanian dan keteladanannya bagi kaum gerakan.

Selain Pram, Megawati Sukarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Abdurachman Wahid, Thomas Wanggai, Xanana Gusmao, Penerbit Tempo (Gunawan Muhamad), Penerbit Hasta Mitra (Hasjim Rachman) serta George Junus Aditjondro, juga diganjar penghargaan serupa.

Pram bersimpati atas keberanian anak-anak muda PRD yang kala itu mendeklarasikan diri siap melawan kekuasaan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto. PRD menyerukan pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan paket lima undang-undang politik 1985 yang membatasi partisipasi rakyat untuk mengontrol pemerintahan―selain program-program demokratik lainya. Menurut PRD, jika benteng pertahanan Orde Baru itu tidak digempur habis, maka partisipasi politik rakyat akan terus terbatasi. Jangankan mendirikan partai baru, bersuara kritis saja langsung dibungkam.

“Paket undang-undang ini adalah benteng pengabsahan pemerintah untuk membatasi hak-hak politik rakyat. Hak-hak dasar partisipasi rakyat untuk berpolitik telah dipasung, dibatasi, dibuntungi dengan penerapan paket lima UU politik dan Dwi Fungsi ABRI,” ujar Sekretaris Jenderal PRD, Petrus Hari Hariyanto, kala itu.

Lima hari kemudian, ketika kerusuhan 27 Juli 1996 meletus, dan PRD dituding sebagai dalang hingga para kadernya diburu, Pram tetap berdiri tegak memberikan dukungan.

Di masa gelap demokrasi itu, PRD dituding sebagai penjelmaan komunis, serta dinyatakan sebagai partai terlarang. Para anggotanya dikejar, ditangkap, disiksa, lalu dikirim ke bui. Belakangan, menjelang akhir kekuasaan Soeharto, perburuan aktivis PRD semakin brutal, dihilangkan secara paksa.


Setahun pasca crackdown 27 Juli 1996, aktivis PRD yang lolos dari buruan dan tetap bergerak di bawah tanah menggelar pertemuan Dewan Nasional (DN) di Jakarta. Dihelat di sebuah hotel kelas menengah, puluhan anak muda yang datang dari berbagai kota berusaha tampil necis dan formal. Ada yang mengenakan jas kedodoran, ada pula yang memakai blazer pinjaman kawan.

Cara ini dilakukan untuk menyamarkan diri bahwa mereka adalah penetang utama Orde Baru yang masih dicari-cari aparat. Menggelar rapat secara maraton sambil duduk meriung berdesak-desakan di ruangan kamar, mereka mendapatkan suguhan nasi bungkus bergelang karet yang dibeli dari warung Tegal alias warteg.

Hasilnya, strategi dan taktik perlawanan di bawah kekuasaan yang semakin represif berhasil ditetapkan. PRD mengeluarkan program yang kemudian meluas di mana-mana: gulingkan Soeharto dengan pemberontakan rakyat!

Pramoedya Ananta Toer, bersama wartawan Peter Rohi, dalam sebuah acara PRD pada 1999. Kredit foto: Peter Rohi

Di forum itu pula, pesan solidaritas dari Pramoedya Ananta Toer dibacakan. Walau sejumlah pimpinannya dijebloskan ke dalam penjara, namun kala itu Pram yakin betul para kader PRD yang tersebar di sejumlah kota tak sudi tunduk menyerah.

Kepada para anggota partai itu, ia mengingkatkan bahwa masa perjuangan melawan Orde Baru berbeda dengan era perjuangan yang dilakukannya dulu. Di masanya, Pram dan kawan-kawan menghadapi imperialisme/kolonialisme Barat dengan senjata, sedangkan angkatan muda PRD tak punya senjata.

“Paling-paling punya ketahanan politis, ketahanan ideologis. Kalau toh punya senjata, paling-paling senjata kalian itu batu sama korek api. Karena itu perjuangan kalian jauh lebih berat daripada angkatan 45. Jauh lebih berat! Angkatan 45 juga didukung oleh luar negeri. Karena itu jangan lupakan hubungan dengan luar negeri. Tapi saya lebih percaya, bahwa angkatan muda yang lebih sulit situasinya akan melahirkan pimpinan yang jauh lebih gemilang dari angkatan belasan, 20-an, 30-an, 45-an. Karena dibentuk oleh keadaan yang jauh lebih keras,” pesan Pram, 28 tahun silam.

Dukungan penulis epos Arus Balik itu kepada PRD juga disampaikan saat menghadiri deklarasi Komite Persiapan Legalisasi Partai Rakyat Demokratik (Kepal PRD) di kantor YLBHI, Jakarta, 14 Juli 1998. Dalam acara itu, Pram kembali memberikan hormat kepada pimpinan dan seluruh anggota PRD atas ketegasan, kelugasan, dan keberanian demokratiknya.

Selain itu, ia mendukung kemandirian PRD sebagai partai politik, serta setuju 100 persen atas gagasan membangun sebuah koalisi demokratik dengan komitmen untuk mewujudkan reformasi total. Menurut Pram, langkah itu diperlukan untuk mengisi kevakumam kepemimpinan setelah Soeharto digulung oleh gerakan massa. Pram juga menyatakan siap menjadi anggota PRD. “Dan, saya bersedia menjadi anggota, kalau diterima,” tuturnya.

Penerima penghargaan Ramon Magsaysay pada kategori penulisan jurnalistik dan sastra itu menyatakan, generasi muda yang memiliki keberanian telah memilih jalan yang benar. “Kalian semua angkatan muda berada di jalan yang benar. Yang dungu akan tersingkir tersipu-sipu,” lanjut Pram.

Semangat Pram berada dalam barisan kaum muda juga diekspresikan ketika resmi dilantik menjadi anggota PRD, 21 Maret 1999. Berada di tengah-tengah angkatan muda yang penuh gelora, ia mengaku merasa sangat berbahagia.

“Inilah peristiwa terpenting dalam hidup saya, yang saya dambakan sejak muda: menyaksikan sendiri lahirnya angkatan muda yang tidak dibebani bombasme, rasional, korektif, kritis, dan yang semua itu dirangkum oleh ketegasan,” sebutnya.

Ia lantas menyinggung sejumlah anggota PRD yang hilang diculik, tak ketahuan di mana rimbanya. Seperti diketahui, terdapat empat anggota PRD yang masih hilang: Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, serta Petrus Bima Anugerah. Selain itu, ada beberapa kader yang dibebaskan para penculiknya, juga sejumlah pimpinan yang mendekam di dalam penjara.

Pram menyebut, PRD paham dengan konsekuensi perjuangan yang dikobarkannya. “Itu sebabnya saya bangga berada di tengah-tengah kalian, yang sudah menyiapkan konsep-konsep, sudah berpraktik di lapangan dan dengan senyum dewasa menerima konsekuensinya yang paling pahit pun. Tak ada pekikan yang lebih mantap untuk itu selain: hidup PRD!” serunya.

Pram sangat percaya para anggota PRD tidak akan melecehkan harga manusia Indonesia, serta merampas hak-hak asasinya.

Wawancara Tempo bersama Pramoedya Ananta Toer pada April 1999. Kredit: X/Zen RS

“Karena sebagaimana diajarkan oleh Multatuli: kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Saya percaya kalian besok atau lusa tidak akan mengatasnamakan negara untuk kepentingan diri, kelompok atau kekuasaan. Pengatasnamaan negara bisa sah hanya bila ada demokrasi. Selama ini orang dibuat pikun tentang arti negara yang terdiri dari tiga unsur: penduduk atau warga negara, tanah air atau wilayah hidup, dan pemerintah,” ungkapnya.

Dia bilang, pengatasnamaan negara wajib merangkum tiga unsur tersebut. Melecehkan salah satu unsur saja, adalah korup. “Dan, korup dalam pikiran dengan sendirinya membias dalam perbuatan,” tegasnya.


Berpulang pada usia 81 tahun, boleh dibilang Pramoedya Ananta Toer belum menemukan harapan besarnya atas cita-cita Indonesia. Namun lewat jejak yang ditinggalkannya, penulis novel Bumi Manusia itu telah menjelma menjadi simbol harapan, perlawanan, dan keberanian bergerak melawan ketidakadilan.

Kepada anak-anak muda PRD ia pernah berseru: tanpa modal keberanian, angkatan muda akan diperlakukan sebagai ternak belaka. Gampang dibohongi, digiring ke sana kemari bahkan digiring menuju ladang pembantaian. Baginya, hanya keberanian yang bisa membuat pribadi menjadi kokoh.

Tugas sejarah PRD telah usai. Para aktivisnya yang pernah didukung Pram dengan sepenuh hati, telah banyak mengambil pilihan jalan. Ada yang mendukung dan merapat kepada kekuasaan Prabowo Subianto, tokoh militer Orde Baru yang pernah menjadi salah satu pemberangus PRD. Namun masih banyak lainnya yang tetap memilih bersikap keras terhadap kekuasaan.

Tepat seabad Pramoedya Ananta Toer yang dirayakan pada 6 Februari 2025, sudah selayaknya para eks anggota PRD di manapun berada memberikan penghormatan kepadanya. Terlebih Pram adalah sosok panutan yang pernah menggantungkan harapan perubahan kepada PRD.

Berikan homat setinggi-tingginya, sehormat-hormatnya untuk bung Pram. Sebagaimana ia pernah memberikan rasa hormatnya kepada perjuangan PRD di masa lalu.


Foto visual: Pramoedya menyampaikan pidato kebudayaan pada 20 Agustus 2002. Kredit: Kompas/Lasti Kurnia

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Seabad Pramoedya Ananta Toer: Arti Penting Sejarah

Seabad Pramoedya Ananta Toer: Arti Penting Sejarah

Hai, pembaca Merdika

You May Also Like
Total
0
Share