Penculikan atau penghilangan paksa bukanlah hal baru dalam politik. Metode ini dipakai untuk menyingkirkan lawan politik atau oposisi.
Dalam sejarah, penculikan politik berulangkali terjadi. Sayangnya, hampir tak satu pun kasus itu yang terbuka dengan terang-benderang. Dan, pahitnya, tanpa pengungkapan kasus dan penegakan hukum, kasus semacam ini terus berulang.
Inilah lima kasus penculikan politik dalam sejarah Indonesia.
1. Penculikan Sjahrir
Pada 26 Juni 1946, saat sedang beristirahat di Surakarta, tiba-tiba Sjahrir dijemput paksa oleh sekelompok tentara yang dipimpin Mayor Abdul Kadir Yusuf.
Dia bertindak atas perintah komandannya, Mayor Jenderal Soedarsono. Sukarno marah besar. Lewat radio, ia memerintahkan pembebasan Sjahrir.
Penculikan ini dilakukan oleh pendukung Persatuan Perjuangan. Motifnya, mereka tidak setuju dengan taktik diplomasi yang dijalankan Sjahrir.
2. Penculikan Otto Iskandar Dinata
Pada Oktober 1945, Otto Iskandar Dinata tiba-tiba mendapat panggilan ke Jakarta. Dia dipanggil menghadap Sukarno. Saat itu dia menjabat menteri negara yang secara khusus menangani Badan Keamanan Rakyat.
Ternyata, sejak panggilan itu Otto tak diketahui nasibnya. Ia raib bak ditelan bumi. Belakangan diketahui, ia menjadi korban penculikan.
Otto diduga diculik kelompok bersenjata bernama Laskar Hitam. Sempat ditahan dijebloskan ke Penjara Mauk Tangerang, Otto lalu dibawa ke pinggir pantai dan dieksekusi.
3. Penculikan Dewan Jenderal (G30S 1965)
Pada Mei 1965, beredar isu tentang “dokumen Gilchrist” yang memuat rencana kudeta terhadap Sukarno dengan melibatkan “local army friend”. Dokumen itu menguatkan tudingan soal Dewan Jenderal di tubuh Angkatan Bersenjata yang mau melancarkan kudeta.
Merespons serius isu kudeta Dewan Jenderal itu, PKI dan sejumlah perwira pro-Sukarno menyiapkan langkah mendahului kudeta Dewan Jenderal. Mereka melancarkan operasi penculikan terhadap tujuh perwira AD yang dianggap sebagai Dewan Jenderal.
Penculikan ini menjadi titik ledak dari pergolakan politik di Indonesia pada 1965 hingga berujung terjungkalnya Sukarno dari kekuasaan pada 1967.
4. Penculikan Anak Agung Bagus Sutedja
Anak Agung Bagus Sutedja adalah Gubernur Bali yang menjabat sejak 1959. Dia merupakan pendukung Sukarno.
Pasca peristiwa G30S 1965 di Jakarta, situasi Bali tidak aman. Ia pun dipanggil oleh Sukarno ke Jakarta dan bekerja di kantor Kementerian Dalam Negeri.
Namun, pada 29 Juli 1966, Anak Agung Bagus Sutedja dijemput oleh empat orang berseragam militer yang mengaku atas perintah Kapten Teddy dari Garnisun Jakarta.
Sejak penjemputan itu hingga hari ini, nasib Anak Agung Bagus Sutedja tidak diketahui.
5. Penculikan aktivis 1997/1998
Penculikan aktivis pro-demokrasi terjadi dalam rentang sebelum pemilu 1997 hingga menjelang jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998.
Jelang pemilu 29 Mei 1997, sejumlah aktivis PPP dan PDI pro-Mega tiba-tiba hilang dan tidak diketahui nasibnya hingga sekarang.
Kemudian, pasca tragedi 27 Juli 1996, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) membentuk Tim Mawar untuk mendeteksi kelompok radikal. Pasca peristiwa bom Tanah Tinggi, Tim Mawar bergerak untuk menangkap sejumlah aktivis pro-demokrasi.
Pada Februari-Maret 1998, Tim Mawar bergerak untuk melakukan penculikan. Sebagian besar korban penculikan itu adalah pengurus dan kader Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Berdasarkan catatan KontraS, dalam rentang April 1997 hingga Mei 1998, ada 23 aktivis yang menjadi korban penculikan. Dari jumlah tersebut satu orang ditemukan meninggal, sembilan orang dilepaskan, dan 13 orang belum diketahui nasibnya hingga kini.