Kisah Haji Misbach di Manokwari

Di kompleks pemakaman Fanindi, yang berada di belakang Kantor Telkom, Jalan Merdeka, Manokwari, Papua Barat, bersemayam seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, Haji Misbach.

Dalam benak penjajah, dengan membuang pejuang berjuluk “Haji Merah” ini ke ujung timur, ia tak hanya terancam gila oleh rasa sepi dan keterasingan, tetapi juga harus berjuang hidup atau mati melawan nyamuk malaria yang berdengung membawa teror dan penyakit mematikan.

Haji Misbach lahir di Kauman, Surakarta, tahun 1876. Dia dibesarkan di tengah keluarga pedagang batik kaya. Karena tinggal di kawasan yang sangat religius, sebagian besar masa sekolahnya ditempuh di pesantren.

Begitu beranjak dewasa, Misbach mewarisi pekerjaan keluarganya: pedagang batik yang sukses. Tahun 1912, ketika Sarekat Islam (SI) berdiri di Surakarta, dia menjadi anggotanya.

Misbach semestinya menjalani takdir sebagai ulama terpandang dan pedagang batik yang makmur. Namun, ia tak bisa berpaling dari jeritan kaum tertindas. Di matanya, kesalehan sejati tak ada artinya jika membiarkan penindasan merajalela.

Sketsa wajah Haji Misbach di halaman depan surat kabar Medan Moeslimin yang terbit pada 1 Januari 1925.(KOMPAS.COM/TRI INDRIAWATI)

Jiwanya yang gelisah menemukan salurannya. Bersama Mas Marco Kartodikromo, ia aktif di lingkar jurnalis pergerakan: Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Dan pada 1915, ia melahirkan corongnya sendiri: koran Medan Moeslimin. Di atas lembar-lembar kertas inilah, Misbach mengubah tinta menjadi peluru, mengkritik penindasan kolonial dengan bahasa yang tajam dan memikat.

Meski begitu, Haji Misbach lebih dikenal sebagai mubaligh, sebutan untuk penyiar agama dalam Islam. Di sisi lain, karena pengaruh orang kiri semacam Sneevliet dan Semaun, SI banyak terpapar oleh ajaran marxisme. Haji Misbach menyebutnya “ilmu komunisme”.

Haji Misbach tertarik dengan marxisme, terutama karena ketajaman analisisnya dalam membongkar kejahatan kapitalisme sekaligus kemuliaan cita-citanya untuk menegakkan masyarakat sama rata-sama rasa.

Di akhir 1910-an, di Surakarta dan sekitarnya, merebak keresahan kaum buruh dan petani akibat kebijakan kolonial terkait kerja wajib, pajak dan upah yang tidak adil. Insulinde, organisasi yang diinspirasi oleh tiga serangkai: Tjipto Mangoenkoesoemo, E.F.E Dekker, dan Soewardi Soerjadiningrat, merespons keresahan itu.

Haji Misbach menjadi bagian Insulinde pada Maret 1918. Bersama Insulinde, dia menjelma sebagai “propagandis” yang menyuarakan persoalan-persoalan buruh dan petani. Menurutnya, ini bukan hanya panggilan jiwa, tapi juga panggilan iman sebagai muslim sejati.

Saat itu, di Surakarta dan sekitarnya, pemogokan petani dan buruh meluas. Dan untuk menutup sumber agitasi pemogokan yang merepotkan itu, Belanda menciduk Haji Misbach. Ia dikurung tiga tahun.

Tahun 1922, Misbach keluar dari penjara. Kecewa dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang dianggap “mandul” terhadap kapitalisme dan imperialisme, Haji Misbach merapat ke Partai Komunis Indonesia. Dia menjadi pendiri PKI afdeling Surakarta. Ia juga mengubah surat kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak.

Bangunan yang menaungi makam Haji Misbach dan istrinya di kompleks pemakaman Fanindi, di Manokwari, Papua Barat.

Di sini, keyakinan Haji Misbach akan kemiripan nilai dan kesetujuan cita-cita antara Islam dan komunisme makin menebal. Baginya, perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme adalah jihad fi sabilillah.

Tahun 1923, terjadi serangan bom di sejumlah kantor pemerintah Surakarta, penggelinciran kereta api di Yogyakarta, dan pelemparan kotoran ke potret-potret Ratu Wilhelmina. Haji Misbach langsung dituding mendalangi aksi-aksi ini.

Pada 20 Oktober 1923, Misbach kembali diciduk. Tanpa melalui proses peradilan, dan tanpa bukti yang kuat, sang Kiai Merah tetap dianggap bersalah. Dia dijatuhi hukuman pembuangan ke Manokwari, Papua Barat.

Pada 18 Juli 1924, Misbach digiring menumpang kapal dari Surabaya ke Manokwari. Ia ditemani oleh istri dan tiga anaknya: Soimatoen (perempuan), Masdoeki (laki-laki), dan Karoebet (laki-laki). Perjalanan Surabaya-Manokwari ditempuh 20 hari, dengan 17 kali singgah di pelabuhan sepanjang Jawa-Papua.

Pada 7 Agustus 1924, Misbach dan keluarga tiba di Manokwari. Sesuai janjinya, dia langsung menulis kronologi perjalanannya melalui surat yang dimuat di koran Medan Moeslimin. Ia juga menceritakan, begitu menginjakkan kaki di Manokwari, anak dan istrinya bergantian sakit.

“Sehabis saya menulis verslagch perjalanan saya dari Jawa sampai Manokwari yang telah saya kirimkan, ada halangan, yaitu anak saya laki-laki yang besar (Masdoeki) kena penyakit panas yang keras, empat hari empat malam tidak tidur….Saya punya anak itu sembuh, maka emaknya kena penyakit yang mengeluarkan darah yang lebih dari batas…” tulisnya.

Di Manokwari, api perjuangan Misbach tidak padam. Cobaan demi cobaan tak memadamkan semangatnya.

Dari kota buah inilah Misbach melahirkan risalahnya yang terkenal, Islamisme dan Komunisme, yang dimuat berseri di Medan Moeslimin. Di risalah inilah dia memproklamirkan: komunis yang memusuhi Islam bukanlah komunis sejati; sebaliknya, Islam yang memusuhi komunisme, bukanlah Islam yang sejati.

Di kota ini, kendati diawasi ketat oleh Belanda, Haji Misbach tetap mengorganisir rakyat. Dia mendirikan Sarekat Rakyat (SR) Cabang Manokwari, yang beranggotakan puluhan orang. Sayang, tak banyak sumber yang menceritakan aktivitas SR di Tanah Papua.

Gambar kanan: kondisi makam Haji Misbach pada 2020, gambar kiri: kondisi makam Haji Misbach pada 2019.

Memang, begitu tiba di Manokwari, istri Haji Misbach terserang penyakit TBC akut. Penyakit malaria juga mulai menyerang Misbach dan anak-anaknya. Karena kondisi itu, pada Mei 1925, Misbach sempat meminta izin kepada Belanda agar diperbolehkan ke luar negeri.

Saat itu, Misbach berniat ke Belanda. Apalagi, kala itu, dia mendengar namanya dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah di parlemen Belanda) oleh Partai Komunis Belanda. Karena niat itu, pengikut Haji Misbach di Surakarta menggalang dana untuk pemberangkatan Misbach ke Belanda.

Sayang, izin itu datang terlambat. Istri Misbach meninggal dunia pada Juli 1925. Setahun kemudian, tepatnya 24 Mei 1926, karena serangan malaria, giliran Haji Misbach yang berpulang. Dia dimakamkan oleh sekelompok kecil anggota SR Manokwari di kuburan Fanindi.

Kabar kematian Misbach sampai di Jawa berkat telegram yang dikirim anak sulung Misbach, Soematoen. Telegram itu ditujukan pada Harunrasjid di Surakarta. “Haroenrasjid Solo. Papa meninggal. Soematoen,” demikian bunyi telegram itu. Kabar itu langsung disiarkan lewat koran Medan Moeslimin.

Saat itu pula, Medan Moeslim menyerukan kepada para pengikut Haji Misbach di Surakarta untuk menggalang dana demi memulangkan ketiga anak Haji Misbach ke keluarga besarnya di Jawa.

Di “Zaman Bergerak”, Takashi menceritakan, setelah Misbach meninggal, tiga anaknya dipulangkan ke Surakarta, dengan diantar oleh seorang anggota SR Manokwari pada akhir Juli 1926.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Sukarno dan Gerakan Buruh

Sukarno dan Gerakan Buruh

Sukarno, tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan nasional, tak bisa

You May Also Like
Total
0
Share