Indonesia sudah sering mengalami gelombang protes besar. Pasca 1998, kebijakan keblinger pemerintah dan DPR telah memicu aksi berskala besar, seperti #ReformasiDiKorupsi yang menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), protes menentang Omnibus Law, protes #PeringatanDarurat, protes #IndonesiaGelap yang menentang efisiensi, dan aksi protes menentang RUU Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Namun, satu pola yang terus berulang adalah bagaimana aparat cenderung merespons dengan tindakan yang represif: gas air mata, pemukulan, penangkapan massal, bahkan serangan terhadap tim medis dan jurnalis. Di Malang, Jawa Timur, polisi menyerang relawan medis dan jurnalis. Alih-alih meredam amarah publik, cara ini justru sering memperluas gelombang perlawanan.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa represifitas negara terhadap gerakan protes tak hanya gagal membungkam perlawanan, tetapi justru menjadi pemicu revolusi. Rusia 1917, Prancis 1968, dan terbaru, Bangladesh 2024 adalah bukti nyata bahwa tindakan brutal terhadap rakyat bisa berujung pada kehancuran rezim itu sendiri.
Rusia 1917: dari represi ke Revolusi Bolshevik
Di awal abad ke-20, Rusia adalah negeri yang dikuasai Tsar Nicholas II dengan tangan besi. Ketimpangan sosial menganga, buruh dan petani hidup dalam kemiskinan ekstrem, sementara aristokrasi menikmati kemewahan.
Pada Januari 1905, sekitar 200.000 pekerja di St. Petersburg melakukan demonstrasi damai menuntut reformasi. Mereka membawa ikon agama dan spanduk bertuliskan permohonan kepada Tsar agar memperbaiki kondisi rakyat. Namun, alih-alih mendengarkan permintaan tersebut, pasukan kerajaan malah menembaki mereka. Insiden yang dikenal sebagai “Minggu Berdarah” ini memicu gelombang protes di seluruh Rusia, yang akhirnya melahirkan Revolusi 1905.
Tapi rezim Tsar tetap tidak belajar. Ketika Perang Dunia I pecah, kondisi ekonomi memburuk, dan rakyat semakin marah dengan pemerintahan yang korup dan tidak kompeten. Pada Februari 1917, buruh dan tentara yang muak mulai melakukan pemogokan massal. Pemerintah mengerahkan pasukan untuk menekan protes, tetapi justru banyak di antara mereka yang membelot dan bergabung dengan rakyat. Dalam hitungan minggu, Tsar Nicholas II dipaksa turun takhta, hingga membuka jalan bagi Revolusi Oktober yang akhirnya melahirkan Uni Soviet.
Prancis 1968: gerakan mahasiswa mengusir de Gaulle
Prancis di bawah Charles de Gaulle tampaknya stabil, dengan ekonomi yang cukup kuat. Namun, benih ketidakpuasan tumbuh di kalangan mahasiswa yang menuntut reformasi pendidikan dan kebebasan berbicara. Pada Mei 1968, gerakan mahasiswa yang dimulai di Universitas Nanterre berkembang menjadi gelombang protes nasional. Mereka menuntut reformasi sosial, mengkritik kapitalisme, dan menolak otoritarianisme.
Pemerintah Prancis merespons dengan brutal. Polisi menyerang demonstran dengan pentungan dan gas air mata, bahkan menerobos masuk ke universitas untuk menangkap para aktivis. Alih-alih surut, kekerasan ini justru memicu aksi solidaritas dari kelompok buruh. Dalam hitungan minggu, lebih dari 10 juta pekerja melakukan pemogokan nasional—pemogokan terbesar dalam sejarah Prancis. Negara lumpuh, ekonomi terhenti, dan pemerintah hampir runtuh.
Charles de Gaulle akhirnya harus membubarkan parlemen dan menyerukan pemilu baru untuk meredam krisis. Walaupun revolusi tidak terjadi dalam arti harfiah, kejadian ini mengubah total struktur politik dan sosial Prancis, dengan munculnya kebijakan-kebijakan yang lebih pro-rakyat.
Bangladesh 2024: kekerasan negara berbalik jadi revolusi
Kasus paling baru dan relevan adalah Bangladesh 2024. Pemicunya terbilang sepele: sistem kuota penerimaan PNS yang diskriminatif. Mahasiswa dan kaum muda, yang paling terdampak kebijakan itu pun bergerak.
Ketika protes berlangsung di jalan-jalan, rezim Sheikh Hasina mengirimkan polisi dan tentara untuk membubarkan aksi secara brutal. Parahnya, kader-kader partai pendukung Hasina juga ikut-ikutan menyerang mahasiswa.
Selama dua bulan aksi protes, brutalisme aparat membunuh 300-an demonstran. Dalam sekejap, amarah pun meluas. Isu pun melebar dari protes soal diskriminasi PNS merembet ke isu korupsi, nepotisme, biaya hidup yang meningkat, pengangguran, kecenderungan otoritarianisme, dan lain-lain.
Ketika isu meluas dan membesar, jumlah demonstran pun membesar berkali-kali lipat. Rakyat biasa pun ikut turun ke jalanan. Akhirnya, rezim makin terjepit dan menyerah. Ketika terpojok, tentara pelan-pelan berbalik mendukung aksi protes. Rezim Sheikh Hasina pun kabur dengan helikopter. Kekuasaannya terguling. Inilah rezim pertama yang digulingkan oleh gen-Z.
Bagaimana 3,5 persen populasi bisa mengubah keadaan?
Sebuah studi dari Erica Chenoweth, profesor di Harvard, menunjukkan bahwa hanya diperlukan sekitar 3,5 persen populasi yang berkomitmen penuh untuk menggulingkan sebuah rezim. Ini karena perubahan sosial bukan hanya soal jumlah, tetapi tentang keteguhan dan strategi gerakan.
Dalam banyak revolusi, awalnya hanya segelintir orang yang berani melawan. Gerakan ini sering dianggap kecil dan tidak signifikan. Namun, ketika negara merespons dengan kekerasan, simpati publik mulai beralih. Represifitas justru memperbesar gerakan dan menarik kelompok yang awalnya netral.
Dalam kasus Rusia 1917, awalnya hanya kelompok buruh dan beberapa tentara yang memberontak, tetapi tindakan keras pemerintah menarik lebih banyak rakyat ke dalam gerakan. Hal yang sama terjadi di Prancis 1968 dan Bangladesh 2024.
Kuncinya adalah bagaimana minoritas ini bisa membangun jaringan luas, menguasai media, dan memobilisasi massa. Ketika momentum sudah terbentuk, gerakan yang tadinya hanya 3,5 persen bisa menarik lebih dari 50 persen populasi untuk mendukung mereka.
Berhenti mengulangi kesalahan sejarah
Indonesia bukan Rusia 1917, bukan Prancis 1968, dan bukan pula Bangladesh 2024. Tapi sejarah memberi peringatan keras: tindakan represif terhadap demonstrasi damai tidak akan menyelesaikan masalah, justru bisa menjadi bahan bakar yang memperbesar gerakan.
Ketika aparat menyerang mahasiswa, memukul buruh, menangkapi aktivis, atau membubarkan aksi damai dengan kekerasan, mereka sedang memainkan peran yang sama seperti Tsar Nicholas II, Charles de Gaulle, atau Sheikh Hasina. Pertanyaannya: apakah Indonesia akan belajar dari sejarah, atau justru mengulanginya?
Karena jika 3,5 persen rakyat sudah bergerak, sejarah membuktikan bahwa tak ada rezim yang bisa bertahan. Dan, jika isu makin meluas dan menangkap keresahan umum, pada saat itulah kekuasaan hanya menghitung jam untuk lengser.