Ketika Islamisme Bertemu Marxisme di Ranah Minang

Bayangkan denyut surau di jantung Minangkabau. Di dalamnya, gema zikir dan lantunan ayat suci bertautan erat dengan pekik perjuangan kelas. Bayangkan juga para ulama muda, dengan sorban yang melingkar di kepala atau peci, tidak hanya tekun mengkaji kitab kuning, tetapi juga panas berdebat tentang Das Kapital. Ini bukan fiksi. Ini adalah potret Sumatera Barat pada dekade 1920-an, yang menjadi kawah candradimuka tempat ide-ide paling radikal di dunia dilebur dan ditempa menjadi senjata melawan kolonialisme.

Di tanah yang melahirkan tokoh pergerakan seperti Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir ini, sejarah tidak berjalan lurus. Ia bergolak, meliuk, dan seringkali mengambil jalan yang tak terduga. Di sini, Islamisme yang taat dan Marxisme yang membara—dua kutub yang hari ini kita anggap mustahil bersatu—justru dinikahkan dalam sebuah perkawinan gagasan yang dahsyat.

Bagaimana bisa? Untuk memahaminya, kita harus menyelami jiwa pemberontak yang telah mendarah daging di Ranah Minang.

Tanah Minang pada awal abad ke-20. Kredit: Minang Tempoe Doeloe

Kisah awal perlawanan

Jauh sebelum Karl Marx menulis manifestonya, api perlawanan sudah menyala di Sumatera Barat. Perang Paderi di abad ke-19, yang dipimpin ulama puritan seperti Imam Bonjol, bukan sekadar konflik adat dan agama. Ia adalah penegasan identitas melawan segala bentuk penindasan, termasuk campur tangan Belanda. Lalu, pada 1908, ketika Budi Utomo baru menggeliat di Jawa, para ulama Tarekat Syattariyah sudah memimpin rakyat mengangkat senjata melawan pajak kolonial.

Dua perlawanan besar ini menjadi semacam kitab suci, sebuah memori kolektif yang terus diwariskan. Ia adalah bukti bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan merupakan panggilan suci. Para tokoh kiri, dari Sarekat Rakyat hingga PKI, paham betul kekuatan narasi ini. Mereka tidak datang sebagai orang asing, melainkan sebagai pewaris dari DNA perlawanan yang sama.

Pasukan Padri (1803-1837). Kredit: Tropenmuseum

Sumatera Thawalib: Sekolah kaum radikal

Di awal abad ke-20, di tengah para pedagang Minang yang gerah oleh monopoli Belanda, muncullah sebuah inovasi pendidikan yang revolusioner: Sumatera Thawalib. Dipelopori jenius lokal bernama Zainuddin Labai el-Junusiah—seorang otodidak yang menolak sekolah pemerintah dan tak pernah sekalipun belajar di Kairo atau Makkah—ia merombak total sistem surau yang tradisional.

Zainuddin mendirikan sekolah modern dengan kelas, meja, dan kurikulum yang menggabungkan ilmu agama dengan pengetahuan umum seperti matematika dan ilmu bumi. Ia mengagumi nasionalisme Mustafa Kemal Atatürk di Turki dan menerjemahkan karya-karyanya untuk para murid. Yang paling fundamental, Zainuddin menolak subsidi kolonial dan membiarkan pintu sekolahnya terbuka lebar bagi semua ide, termasuk yang paling radikal, Marxisme.

Sumatera Thawalib bukan lagi sekadar tempat belajar, ia telah menjadi “pabrik” yang mencetak kader-kader pergerakan. Di koridor-koridornya, calon Marxis, nasionalis, dan Islamis saling bergesekan, berdebat, dan mengasah pisau analisis mereka. Tentu, ada perdebatan sengit, seperti antara Zainuddin dengan Haji Rasul yang anti-komunis. Namun, justru dalam percik api perdebatan itulah para pemikir paling tajam lahir, seperti duo asisten Haji Rasul yang legendaris: Djamaluddin Tamin dan Datuk Batuah.

Sekolah Thawalib, yang melahirkan banyak kaum progresif.

Kisah Haji Merah

Datuk Batuah dan Djamaluddin Tamin adalah bintang paling terang di Thawalib. Cerdas, radikal, dan gelisah. Pada 1923, sebuah perjalanan mengubah takdir mereka selamanya. Datuk Batuah, setelah bertemu tokoh komunis Natar Zainuddin, berangkat ke Jawa untuk menghadiri kongres PKI/SI-Merah.

Di sanalah ia terpana. Seorang ulama dari Surakarta bernama Haji Misbach naik ke podium. Dengan fasih dan berapi-api, Misbach mengurai benang merah antara ajaran Islam dan cita-cita komunisme. Bagi Misbach, Islam adalah agama pembebasan kaum tertindas, dan komunisme adalah alat ilmiah untuk mencapai tujuan suci itu. Keduanya sama-sama memerangi penindasan dan penumpukan kekayaan.

Bagi Datuk Batuah, itu adalah sebuah epifani. Ia seolah menemukan bahasa untuk menjelaskan apa yang selama ini bergolak di dadanya. Sekembalinya ke Sumatera Barat, ia dan Tamin menyebarkan gagasan “Islam komunis” ini melalui koran berani bernama Pemandangan Islam. Sementara Natar Zainuddin, dari korannya yang sangar, Djago! Djago!, ikut membakar semangat rakyat.

Lalu, apa yang mereka lihat dalam Marxisme? Islam mengharamkan riba dan melarang umatnya menumpuk harta. Marxisme juga menggugat eksploitasi manusia atas manusia. PKI Sumatera Barat saat itu dengan cerdas merangkul para pedagang kecil, dan menyatakan bahwa mereka bukanlah kapitalis, melainkan korban kapitalisme yang “mencari sepiring nasi”. Kesamaan inilah yang menjadi lahan subur bagi perkawinan tak terbayangkan itu. Bagi mereka, menjadi seorang komunis justru memperteguh iman Islam mereka.

Foto bersama ulama-ulama Minangkabau. Dari kiri ke kanan: Zainuddin Labay el-Yunusi, Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Thaher Djalaluddin, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Haji Abdullah Ahmad, dan Abdul Madjid Karim Sidi Sutan. (Koleksi Quthb Khannah Maninjau)

Tragedi heroik di Silungkang

Namun, api yang menyala terlalu terang akan mengundang bahaya. Pemerintah kolonial bergerak cepat. Datuk Batuah, Natar Zainuddin, dan Djamaluddin Tamin ditangkap satu per satu. Kemarahan murid-murid Thawalib meledak, memaksa Haji Rasul yang diam saja untuk turun dari jabatannya. Pergerakan terus berjalan di bawah tanah, di sekolah-sekolah rakyat yang terinspirasi oleh Tan Malaka, dan di basis-basis buruh tambang batu bara Sawahlunto.

Puncaknya adalah pemberontakan heroik di Silungkang pada malam tahun baru 1927. Dipimpin para ulama dan mantan murid Thawalib, didukung oleh sersan-sersan Belanda yang membelot, kaum pemberontak meledakkan kantor polisi, merebut penjara, dan membebaskan tahanan politik. Selama beberapa waktu, 18 nagari berada di bawah kendali mereka.

Gempa di kota Padang Panjang, pada 1926. Kredit: Wikipedia

Pemberontakan itu akhirnya gagal, ditumpas dengan brutal. Ribuan orang ditangkap, tiga pemimpinnya dihukum gantung, dan sisanya dibuang ke kamp neraka Boven Digul. Sulaiman Labai, sang “Robin Hood” dari Sawahlunto, mendekam di penjara hingga ajal menjemputnya, hanya dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan yang ia perjuangkan berkumandang.

Kisah dari Ranah Minang ini adalah sebuah refleksi yang kuat. Ia adalah pengingat bahwa sejarah tidaklah monolitik. Bahwa di masa lalu, nenek moyang kita memiliki keberanian intelektual untuk meramu gagasan-gagasan paling ekstrem demi satu tujuan mulia: kemerdekaan Indonesia. Api di surau itu mungkin telah lama padam, tetapi kisahnya akan selamanya menjadi gugatan bagi kita di masa kini. Seberapa beranikah kita untuk berpikir melampaui sekat-sekat ideologi demi memperjuangkan keadilan?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Dari Zohran Mamdani Kita Bisa Belajar Membangun Politik Alternatif

Dari Zohran Mamdani Kita Bisa Belajar Membangun Politik Alternatif

Namun, dari Kota New York, kota yang dijuluki jantungnya kapitalisme global,

Next
Kesederhanaan Manusia Politik Bernama Haji Agus Salim

Kesederhanaan Manusia Politik Bernama Haji Agus Salim

Panggung politik hari ini terasa semakin sesak

You May Also Like
Total
0
Share