Dalam beberapa dekade terakhir, dunia mulai menyadari bahwa isu lingkungan bukan semata persoalan teknis atau ilmiah, melainkan juga soal keadilan, politik, dan kepemimpinan.
Dalam konteks ini, perempuan memainkan peran krusial yang kerap kali luput dari sorotan. Dari pengelolaan sampah rumah tangga hingga advokasi kebijakan iklim, perempuan terbukti menjadi aktor penting dalam menjaga keberlanjutan hidup. Ironisnya, representasi perempuan dalam pengambilan keputusan—terutama di sektor lingkungan—masih jauh dari memadai, baik di level Rukun Tetangga (RT) hingga lembaga pemerintahan pusat.
Di tingkat RT, perempuan seringkali menjadi penggerak utama kegiatan kebersihan, pengelolaan kompos, hingga urban farming. Tetapi, peran tersebut jarang diterjemahkan menjadi posisi kepemimpinan formal. Stigma budaya dan politik patriarkal masih menjadikan posisi ketua RT sebagai domain laki-laki.
Padahal, kepemimpinan perempuan di lingkungan terdekat, seperti RT, dapat menjadi fondasi perubahan besar dalam pola pikir warga terhadap ekologi dan tanggung jawab bersama atas krisis iklim.
Ketika perempuan dipercaya memimpin di level komunitas, pendekatan mereka terhadap masalah lingkungan sering lebih partisipatif, berorientasi jangka panjang, dan berbasis empati. Misalnya, banyak komunitas yang berhasil menurunkan jumlah sampah plastik berkat inisiatif ibu-ibu yang memulai bank sampah atau daur ulang kreatif. Model kepemimpinan seperti ini bisa menjadi alternatif dari gaya top-down yang kerap gagal menangani kompleksitas isu lingkungan.
Perjuangan perempuan di akar rumput tidak akan cukup jika tidak ditopang oleh kebijakan yang berpihak. Maka, keterwakilan perempuan di legislatif dan eksekutif menjadi penting untuk memastikan bahwa kebijakan publik sensitif terhadap kebutuhan lingkungan dan perspektif gender. Sayangnya, hingga kini, proporsi perempuan di lembaga pengambilan keputusan masih rendah, bahkan di kementerian yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Refleksi politik dari skala RT hingga nasional menunjukkan bahwa transformasi ekologis memerlukan transformasi politik. Demokrasi yang sehat mestinya memberi ruang bagi lebih banyak perempuan untuk memimpin, bukan hanya karena mereka korban utama perubahan iklim, tetapi karena mereka agen penting perubahan itu sendiri.
Jika kita ingin menciptakan kebijakan lingkungan yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan, maka kepemimpinan perempuan bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan.
Kita juga perlu mengkritisi cara negara memposisikan perempuan dalam kebijakan iklim. Selama ini, perempuan sering hanya dianggap sebagai “target penerima manfaat”, bukan sebagai “aktor utama perubahan”. Pendekatan ini tidak cukup. Perempuan harus dilibatkan secara penuh dalam desain, implementasi, dan evaluasi program lingkungan, mulai dari perencanaan tata ruang hingga anggaran perubahan iklim.
Mendorong lebih banyak perempuan untuk maju sebagai pemimpin lingkungan memerlukan dukungan sistemik. Ini bisa dimulai dari hal kecil, seperti membuka ruang kompetisi setara dalam pemilihan ketua RT, memberikan pelatihan kepemimpinan ekologi bagi perempuan, hingga memastikan partisipasi perempuan dalam musyawarah pembangunan desa dan kelurahan. Media juga punya peran penting dalam menampilkan sosok-sosok perempuan inspiratif di bidang ini, yang bisa menjadi panutan bagi generasi berikutnya.
Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, kepemimpinan ekologis bukan lagi pilihan politis, tapi kebutuhan eksistensial. Perempuan Indonesia, dari kampung hingga kota, dari RT hingga parlemen, harus diberikan ruang dan dukungan untuk menjadi pelaku utama transformasi ini. Karena hanya dengan melibatkan semua lapisan masyarakat—tanpa kecuali—kita bisa membangun masa depan yang adil, lestari, dan manusiawi.