Orde Baru sering kali meminimalkan peran dan perjuangan Kartini, hanya mencatatnya sebagai pejuang emansipasi perempuan. Padahal, pemikiran dan kontribusinya jauh lebih luas dari itu. Kartini adalah perempuan keturunan bangsawan Jawa yang lebih suka dipanggil “Kartini” saja, tanpa embel-embel gelar atau status sosial.
Kartini bukan hanya pejuang hak-hak perempuan, tapi juga pejuang anti-kolonial dengan senjata utama pemikiran-pemikiran yang meninju keras wajah kolonialisme. Ia adalah seorang multitalenta—pengarang, ahli batik, pelukis, pecinta fotografi, pecinta musik, dan juga pengagum perkembangan teknologi.
Seorang penerjemah surat-suratnya, Joost Cote, menyebut Kartini sebagai simbol pemutusan secara radikal terhadap masa lalu (feodalisme) dan pemikiran modern yang menjadi akar bagi kelahiran nasionalisme bangsanya. Sedangkan sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer menyebut Kartini sebagai sang pemula dari pemikiran modern di Hindia-Belanda.
Dari Bung Pram, kita mengetahui bahwa Kartini bergerak dalam ruang gagasan dan keahlian yang sangat luas, tak hanya soal hak-hak kaum perempuan. Dalam bukunya, Panggil Aku Kartini Saja, Bung Pram mengungkapkan bahwa Kartini memiliki pandangan yang progresif tentang jurnalisme.
Kartini sebagai pengarang
Kartini tidak hanya mengonsumsi buku, namun juga memperluas pengetahuannya dengan membaca berbagai majalah. Dari majalah-majalah itulah Kartini mendapatkan gambaran tentang situasi dan perkembangan dunia pada zamannya.
Sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya, beberapa majalah koleksi Kartini sebagian besar berbahasa Belanda, di antaranya: terbitan BKI v.LTV v NI (Batavia), Neerlandia (Nederland), Eigenhaard (Yogyakarta), De Echo (Yogyakarta), De Nederlandsche Taal (Probolinggo), dan De Gids (Nederland).
Tidak hanya suka membaca berbagai majalah, Kartini juga aktif menulis di majalah-majalah tersebut. Tulisannya pernah muncul di De Echo di Yogyakarta dengan nama samaran “Tiga Saudara”. Tulisan berjudul Een Gouverneur-Generaalsdag, itu bercerita mengenai pengalaman Kartini dan saudaranya bersama ayahnya saat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Rooseboom dan Nyonya di Semarang.
Kartini tak jarang merasa kesal. Ayahnya, RM Adipati Ario Sosrodiningrat, semula sangat mendukungnya untuk menulis, tetapi terkadang melarangnya.
Ketika seorang Belanda, Nyonya Ter Horst, menyediakan ruang khusus di majalahnya untuk Kartini dalam pembelaan terhadap kepentingan perempuan Jawa, Kartini menyambutnya dengan gembira. Ia suka menulis dengan menggunakan nama samaran. Namun, Kartini yang tidak suka dipuji itu akan segera marah ketika nama samarannya terbongkar dan menjadi bahan pembicaraan orang. “Benar-benar aku sebal, karena aku ingin tiada orang tahu kalau aku memainkan pena,” katanya melalui surat kepada kawannya, Estelle “Stella” Zeehandelaar.
Kartini juga merasa senang karena beberapa tulisan-tulisannya di majalah pribumi dan Belanda menjadi bacaan bagi kaum pribumi. “Pengajaran pribumi bagi gadis-gadis,” katanya.
Kartini sangat yakin bahwa karangan-karangannya yang dimuat di majalah-majalah itu akan menjadi alat untuk mewujudkan cita-citanya. “Sebagai pengarang,” kata Kartini, “aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.”
Fungsi pers Menurut Kartini
Pada masa Kartini, sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya, majalah berbahasa Melayu atau Jawa masih sangat terbatas. Dunia pers di Hindia-Belanda, sebenarnya, sudah mulai tumbuh sejak abad ke-17, jauh sebelum era Kartini.
Namun pada masa itu, kebanyakan koran hanya memuat berita-berita dalam dan luar negeri, sensasi-sensasi murah, dan fitnah terhadap orang-orang yang tidak disukai. Pada saat itu, koran bisa dipergunakan untuk memfitnah sekaligus menjadi alat untuk meraih kedudukan.
Terhadap isi media seperti ini, Kartini menyampaikan kekecewaannya. “Koran biasa dengan berita-berita kebakaran, pencurian, dan pembunuhan, ataupun penghinaan serta pemfitnahan yang tak ketentuan asalnya,” kata Kartini.
Kartini kemudian mengajukan visi mengenai bagaimana media seharusnya berfungsi. “Mingguan dan bulanan, di mana dimuat segala-galanya yang memperluas pengetahuan, memperkembangkan kecerdasan serta membersihkan kalbu,” ujarnya.
Kartini melihat pers sebagai alat yang sangat ampuh untuk perjuangan. Kartini menyambut gembira berdirinya koran berbahasa Melayu, Bintang Hindia, yang dikelola oleh Abdul Rivai. “Pemuda-pemuda yang penuh kecintaan dan semangat bagi Tanah Air dan bangsanya yang hendak mereka bawa ke arah peradaban,” tulis Kartini untuk menyambut terbitnya Bintang Hindia.
Meskipun koran ini masih berhaluan politik etis, ia sangat mengedepankan intelektualitas dan pengetahuan. Seperti ditulis oleh Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950, Bintang Hindia berjasa dalam menyediakan bacaan yang berkualitas dan terjangkau bagi rakyat pribumi.
Kartini mendukung penuh Bintang Hindia dan menulis dukungan ini: “Dan selalu menjadi maksudku, untuk mengangkat suara-suara keras, karena hanya publikasi saja dapat membawakan perbaikan yang kita harapkan atas keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu.”
Kartini bahkan bercita-cita untuk memiliki penerbitan sendiri. Ia diminta oleh temannya untuk “mengasah penanya buat kerja menaikkan derajat rakyat.”
Warisan pemikiran Kartini dalam dunia pers
Setelah meninggalnya Kartini pada 1904, beberapa tahun kemudian, koran-koran pergerakan mulai bermunculan dengan pesat. Koran-koran ini menjadi garda depan dalam perjuangan anti-kolonial dan memainkan peran penting dalam mengedukasi serta membangkitkan kesadaran nasional.
Pemikiran Kartini mengenai pers dan perjuangannya melawan kolonialisme masih sangat relevan hingga kini. Ia bukan hanya simbol perjuangan perempuan, tetapi juga pionir pemikiran yang melampaui batasan gender dan waktu. Melalui pena dan tulisan-tulisannya, Kartini menunjukkan bahwa pers bukan hanya alat informasi, tetapi juga sarana untuk perubahan sosial yang lebih baik. Koran-koran pergerakan yang tumbuh setelah kepergiannya membuktikan bahwa media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.