John Lennon lebih dari sekadar pentolan The Beatles, grup musik yang albumnya menjadi pusaka dan lagu-lagunya menjadi kiblat bagi generasi muda dekade 60-an dan 70-an.
Di balik kacamata bulatnya yang ikonik dan statusnya sebagai bintang rock terbesar di planet ini, Lennon adalah seorang pemberontak, seorang aktivis yang gelisah, dan seorang pahlawan kelas pekerja. Musiknya bukan sekadar hiburan; ia adalah medium untuk menyuarakan kegelisahan, perlawanan, dan membentangkan sebuah utopia tentang dunia yang damai dan setara.
Sikap politik Lennon hampir tak pernah terceraikan dari perjalanan musiknya. Seperti yang pernah ia katakan kepada majalah Red Mole, pada 1971, “Saya selalu berpikiran politis, kau tahu, dan selalu menentang kemapanan (status quo). Itu hal wajar jika kau dibesarkan seperti saya, kamu membenci polisi dan melihatnya sebagai musuh alami, tak suka tentara karena merekrut orang dan membuatnya mati di suatu tempat.”
Kalimat ini adalah kunci untuk memahami seluruh perjalanan hidupnya: sebuah upaya tanpa henti untuk mengusik kemapanan dan memaksa dunia untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan sosial.

Akar pemberontakan di Liverpool
Lahir pada 1940 di tengah kecamuk perang, Lennon dibesarkan oleh bibinya, Mimi, dalam lingkungan yang relatif nyaman—bahkan bisa dibilang paling “borjuis” di antara anggota The Beatles lainnya. Namun, kenyamanan itu tidak pernah bisa memadamkan api pemberontakan dalam dirinya. Sebagai remaja di Liverpool era 1950-an, sebuah kota pelabuhan yang keras identik dengan gerakan kelas pekerjanya, Lennon menemukan rock ‘n’ roll. Baginya, musik ini bukan sekadar alunan nada, melainkan suara perlawanan terhadap ekspektasi orangtua, sekolah, gereja dan masyarakat yang menuntutnya menjadi anak baik-baik yang patuh.
Musik menjadi pelariannya. Pada 1956, saat berusia 16 tahun, ia bersama kawan-kawan sekolahnya membentuk sebuah band skiffle yang disebut Quarrymen. Tak lama kemudian, Paul McCartney bergabung, disusul oleh George Harrison. Kelak, mereka mengubah nama bandnya menjadi The Beatles.
Mereka tidak seperti bintang pop lainnya. Musik mereka, yang ditempa di kelab-kelab malam Hamburg dan The Cavern Club di Liverpool, terdengar kasar, penuh energi mentah, dan dinyanyikan dengan aksen Liverpool yang sinis. Mereka membawa suara kaum “underdog”—suara jalanan yang tak bisa dipoles oleh industri musik.

Dari bintang pop jadi suara politik
Awal 1960-an, The Beatles mulai mengambilalih puncak musik di Inggris dengan hits mereka yang booming kala itu, Love Me Do dan Please Please Me. Pada akhir 1963, giliran I Want to Hold Your Hand yang booming dan menjadi pemuncak chart single Billboard.
Hijrah ke New York, The Beatles semakin populer. Pada Agustus 1965, The Beatles menjadi headline salah satu konser stadion besar pertama dalam sejarah, tampil di depan 55.600 penggemar di Stadion Shea di Queens, New York.
Pada puncak Beatlemania, manajer Brian Epstein berusaha keras menjaga citra The Beatles agar bersih dan jauh dari kontroversi. Namun, Lennon merasa semakin terkekang. Titik baliknya adalah Perang Vietnam. Awalnya, ia menahan diri atas desakan Epstein, sebuah keputusan yang kelak disesalinya. “Itu adalah pil pahit yang harus ditelan,” kenangnya.

Namun, Lennon tak bisa membungkam nuraninya. Bersama George Harrison, ia memutuskan untuk secara terbuka menentang perang. “Itu adalah hal yang cukup radikal untuk dilakukan pada masa itu, terutama bagi ‘The Fab Four’,” katanya. Langkah ini menandai evolusi Lennon dari seorang musisi jenius menjadi seorang figur politik.
Pengaruh gerakan hippy dan idealisme pasifis semakin mendorongnya ke ranah politik. Namun, perjalanannya tidak mulus. Kekecewaannya pada spiritualisme semu yang ia temui di India bersama Maharishi Yogi, bertepatan dengan peristiwa pemberontakan mahasiswa dan buruh di Prancis pada Mei 1968. Kejadian ini mendorongnya untuk bertanya: bagaimana masyarakat bisa diubah secara fundamental?
Jawabannya terangkum dalam ambiguitas lagu Revolution. Dalam satu versi ia bernyanyi “you can count me out” (jangan libatkan aku), merujuk pada ketakutannya akan kekerasan. Namun, di versi lain yang lebih lambat di White Album, liriknya berubah menjadi “count me out, in”. Ini adalah cerminan pergulatan batinnya, pergeseran dari sekadar “revolusi dalam pikiran” menuju kesadaran akan pentingnya gerakan massa dan perjuangan kolektif.
Aktivisme radikal
Setelah The Beatles bubar pada 1970, aktivisme Lennon menjadi semakin eksplisit. Periode 1970-1973 adalah masa paling politis dalam karier solonya. Terinspirasi oleh slogan-slogan yang ia dengar di demonstrasi, ia menulis lagu-lagu yang secara sadar ditujukan untuk menjadi himne perjuangan. Power to the People adalah contoh sempurna, sebuah seruan revolusi yang lugas dan berapi-api.
Ceritanya begini. Pada 1971, Lennon menghubungi Tariq Ali, salah satu pemimpin New Left (gerakan kiri baru) di Inggris, untuk berdiskusi politik. Percakapan mereka melahirkan sebuah wawancara yang dimuat di majalah kiri, Red Mole.
“Sehari setelah wawancara itu, ia menelepon saya dan berkata ia sangat menikmatinya sampai-sampai ia menulis sebuah lagu untuk pergerakan. Lalu ia langsung menyanyikan lagu baru itu lewat telepon: Power to the People,” kenang Tariq Ali, seperti ditulis di Guardian.
Puncaknya adalah Imagine, sebuah lagu yang utopis namun sangat kuat. Dengan liriknya yang sederhana, Lennon mengajak pendengar untuk membayangkan dunia tanpa kepemilikan, tanpa agama, dan tanpa negara—sebuah visi perdamaian radikal yang terus bergema hingga hari ini.

Bersama Yoko Ono, ia mengubah ketenarannya menjadi sebuah panggung politik. Aksi “Bed-In for Peace” di Amsterdam dan Montreal adalah bentuk protes non-kekerasan yang, meskipun terlihat naif, merupakan cara cerdas untuk memanfaatkan popularitas mereka demi menyebarkan pesan anti-perang.
Ia berkampanye untuk James Hanratty, orang tak bersalah yang dihukum gantung. Ia menyamakan para penanggung jawab kematian Hanratty dengan “orang-orang yang mengirim senjata ke Afrika Selatan dan membunuh orang kulit hitam di jalanan.” Ia mendukung pendudukan pabrik oleh para pekerja di Skotlandia dan menyumbang £5000. Setelah tragedi Bloody Sunday di Irlandia pada 1972, ia menulis dua lagu protes, The Luck of the Irish dan Sunday Bloody Sunday.
Aktivismenya tidak hanya berhenti di lagu dan aksi simbolis. Lennon menyumbangkan uang untuk gerakan hak-hak sipil, merekam lagu untuk para terdakwa kasus politik, dan berencana melakukan tur konser keliling Amerika untuk menggagalkan terpilihnya kembali Presiden Richard Nixon pada 1972. Hal ini membuat pemerintahan Nixon gerah. FBI mengawasinya, teleponnya disadap, dan proses deportasi pun dimulai. Lennon telah menjadi musuh negara, sebuah bukti betapa berbahayanya suaranya bagi penguasa.
Pengaruh Yoko Ono
Dikutip dari Cheat Sheet, Lennon bertemu Yoko dalam sebuah pameran di London pada November 1966. Kala itu, Lennon dan Yoko sudah berkeluarga dan memiliki pasangan. Namun hal itu tidak menghalangi perasaan cinta mereka.
Hubungan mereka berlanjut secara diam-diam. Ketika bertemu Lennon, Yoko mengaku bahwa ia tidak tahu Lennon merupakan personel The Beatles yang sangat terkenal.
Rumor yang beredar, Yoko Ono merupakan sosok penyebab bubarnya The Beatles. Media Inggris menggambarkan Yoko Ono sebagai penyihir yang merusak The Beatles. Namun, Lennon justru marah dan berkata bahwa melalui Yoko-lah ia akhirnya memahami penindasan terhadap perempuan.
Lebih dari sekadar istri, Yoko adalah mitra artistik dan ideologisnya. Sebagai seorang seniman avant-garde, ia menantang Lennon secara fundamental. Yoko mempertanyakan maskulinitas yang melekat dalam kultur rock ‘n’ roll dan mengenalkannya pada bentuk-bentuk ekspresi artistik dan politik yang baru. Ia adalah katalisator yang mempertajam kesadaran politik Lennon dan memberinya keberanian untuk keluar dari bayang-bayang The Beatles.

Warisan pahlawan yang terus menggugat
John Lennon dibunuh pada 8 Desember 1980 oleh seorang penggemar yang terobsesi padanya. Kematiannya tidak diratapi sebagai kematian seorang musisi biasa; banyak yang merasakannya sebagai sebuah “pembunuhan politik”. Ini menunjukkan betapa besar pengaruhnya melampaui dunia musik.
Lennon hidup dalam kontradiksi: seorang multijutawan yang menyanyikan “Imagine no possessions”. Namun, kepahlawanannya tidak terletak pada kesuciannya, melainkan pada perjuangannya yang tak kenal lelah melawan statusnya sebagai komoditas. Ia terus-menerus menggunakan platformnya untuk menyuarakan mereka yang tak punya suara dan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat semua orang tidak nyaman. Warisan John Lennon adalah lagu-lagunya yang selalu mengajak orang untuk menantang status-quo dan membayangkan dunia lain: You may say I’m a dreamer/But I’m not the only one/ I hope someday you’ll join us/And the world will live as one.