Jam Kerja dan Kapitalisme

Pernahkah kita merasa hidup hanya untuk bekerja? Kalau iya, tenang, kamu tidak sendirian. Bahkan 157 tahun lalu, Karl Marx sudah bicara soal ini. Katanya, kapitalisme membuat manusia bekerja tanpa henti, lupa bahwa tujuan kerja adalah menikmati hidup.

Masalah utamanya? Jam kerja.

Dalam masyarakat kapitalis, jam kerja menjadi salah satu jantung pertempuran kepentingan antara kapitalis dengan buruh. Musababnya, jam kerja merupakan ruang bagi si tenaga kerja untuk merealisasikan komoditi. Di dalam setiap komoditi terdapat waktu kerja atau kuantitas kerja.

Di satu sisi, kapitalis selalu butuh jam kerja yang lebih panjang dan intensif agar semakin banyak komoditi yang diproduksi. Kalau perlu, jam kerja itu hanya boleh diinterupsi oleh kebutuhan fisik tak terelakkan si buruh, yaitu istirahat untuk makan.

Di sisi lain, buruh menginginkan jam kerja lebih pendek, agar lebih banyak waktu luang. Bukan saja waktu luang untuk memulihkan kondisi fisiknya (tidur, berlibur, dll), tetapi juga untuk pengembangan dirinya sebagai manusia (berkesenian, berolahraga, mengejar pendidikan, dll). Seperti kata Marx sendiri, memperpendek jam kerja per hari merupakan kondisi yang diperlukan untuk kebebasan.

Belum lagi, seperti diungkapkan Marx, kerja buruh itu bukan sekadar kerja untuk mendapatkan upah sesuai kebutuhan hidupnya (necessary labour), tetapi juga kerja surplus. Sederhananya, kerja surplus (surplus labour time) adalah kerja yang dilakukan buruh melebihi kerja untuk kebutuhan hidupnya.

Analogi sederhananya: anggaplah seorang buruh membutuhkan Rp 100 ribu per hari untuk kebutuhan hidupnya sebagai manusia, mulai dari kebutuhan pangan, air minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Misalnya, demi mendapat nominal itu, dengan menghitung nilai kerja atau produktivitas rata-rata pekerja per jam, si buruh hanya butuh bekerja enam jam. Namun, jam kerja per hari adalah delapan jam. Nah, jam kerja di luar kerja memenuhi nominal kebutuhan hidup buruh itu yang disebut kerja surplus.

Dalam kapitalisme, kerja surplus itulah pijakan untuk menciptakan profit. Sementara, bagi si buruh, kerja surplus itu sebetulnya penghisapan.

Di masa lampau, pada era kapitalisme awal, atau sering disebut model “akumulasi primitif” oleh Marx, dunia kerja belum mengenal batas jam kerja, waktu istirahat, dan hak-hak normatif pekerja. Bahkan masih membolehkan penggunaan tenaga kerja anak-anak.

Pada abad 17, muncul gerakan buruh yang menuntut pengaturan jam kerja. Pada 1810, Robert Owen, bapak sosialis yang dituding utopis itu, sudah menuntut 10 jam kerja sehari. Belakangan, gerakan buruh menuntut jam kerja lebih pendek lagi: delapan jam sehari.

Pada 1856, kuli-kuli bangunan Australia yang pertama kali memenangkan delapan jam kerja sehari. Degussa, perusahaan asal Jerman, merupakan perusahaan pertama yang menerapkan delapan jam kerja sehari. Sedangkan Uruguay menjadi negara pertama di dunia yang mengakui dan menerapkan delapan jam kerja sehari.

Seiring dengan pasang gerakan buruh dan bangkitnya gerakan sosialis di seantero Eropa, tuntutan delapan kerja sehari diadopsi banyak negara di dunia. Gerakan Hari Buruh Sedunia (May Day) lahir dari perjuangan untuk menuntut delapan jam kerja sehari.

Pada 1919, sebuah konvensi tentang tenaga kerja, yang menjadi cikal bakal dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), membahas dan mengadopsi tuntutan delapan jam kerja sehari dan 40 jam kerja seminggu.

Paradae Hari Buruh Sedunia di Melbourne, 1923. Salah satu tuntutannya: 8 jam kerja per hari. Kredit: Old Treasury Building

Seabad berlalu, jam kerja per hari tidak berubah, meskipun terjadi banyak lompatan kemajuan teknologi. Seharusnya, kemajuan teknologi bisa memperpendek jam kerja, sebagaimana pernah diyakini oleh John Maynard Keynes.

Menurut prediksi Keynes dalam “Economic Possibility for our Grandchildren”, kemajuan teknologi akan memperpendek jam kerja hingga 15 jam kerja per hari begitu cucu-cucunya sudah dewasa.

Sayang, prediksi Keynes meleset. Kemajuan teknologi pasca prediksi Keynes, terutama otomatisasi 1970-an dan digitalisasi sekarang ini, membawa perubahan besar pada cara kerja dan produktivitas.

Studi Centre for Economic and Business Research (CEBR) menunjukkan, sejak perkembangan komputer di tahun 1970-an, produktivitas pekerjaan kantoran meningkat 84 persen. Saat ini, seorang pekerja kantor hanya butuh waktu sejam untuk pekerjaan yang membutuhkan lima jam di tahun 1970-an. Pekerjaan sehari (delapan jam) di tahun 1970-an bisa dikerjakan hanya 1,5 jam sekarang ini.

Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat pada 2020 telah meningkat 227 kali dibanding 1930-an. Jika dihitung berdasarkan harga konstan (PDB riil), maka output produksi meningkat 18 kali.

Namun, peningkatan produktivitas yang dipicu oleh kemajuan teknologi dan peningkatan keahlian tenaga kerja itu tak berbanding lurus dengan pengurangan jam kerja. Berdasarkan hitungan Bureau of Labor Statistics, rata-rata pekerja di AS bekerja 8,8 jam per hari atau 44 jam per minggu.

Mengapa peningkatan produktivitas tidak dengan sendirinya memperpendek jam kerja?

Marx punya penjelasannya. Menurut dia, ada dua hal yang menentukan jam kerja: batasan fisik manusia dan perjuangan kelas. Menengok dari sejarah, pengurangan jam kerja selalu dihasilkan oleh perjuangan politik kelas buruh.

Lalu, mengapa kita perlu menuntut pengurangan jam kerja?

Ide gerakan delapan jam kerja itu sebetulnya berangkat dari keinginan sederhana: delapan jam untuk bekerja, delapan jam untuk istirahat, dan delapan jam untuk melakukan kegiatan sesuai keinginan sendiri sebagai manusia merdeka.

Artinya, memperpendek jam kerja sebetulnya berarti memperbesar ruang dan waktu hidup untuk melakukan berbagai hal sesuai dengan keinginan kita sebagai manusia. Dalam ungkapan Marx: memperpendek jam kerja merupakan prasyarat untuk kebebasan. Jadi, manusia bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.

Faktanya, jam kerja yang lebih pendek berdampak positif pada kondisi kerja dan produktivitas.

Di Islandia, Dewan Kota Reykjavik, serikat buruh, dan pemerintah melakukan uji coba memperpendek jam kerja dari 40 jam per minggu menjadi 35-36 jam per minggu tanpa memotong upah. Proses uji cobanya berlangsung empat tahun (2015-2019) terhadap 2.500 orang pekerja. Hasilnya: produktivitas tidak menurun, bahkan beberapa meningkat.

Di Swedia, pada 2015, ada uji coba pengurangan jam kerja untuk pekerja sosial, dari delapan jam per hari menjadi enam jam per hari. Hasilnya: pengurangan jam kerja mengurangi stres, kelelahan, dan emosi yang negatif.

Di Jepang, Microsoft juga melakukan uji coba empat hari kerja tanpa mengurangi upah. Hasilnya sungguh luar biasa: produktivitas meningkat, penghematan listrik 23 persen, permintaan cuti berkurang 25 persen, dan tekanan atas pekerjaan berkurang.

Selain berdampak di tempat kerja, pengurangan jam kerja juga bisa berdampak pada keluarga. Dengan jam kerja yang lebih pendek, pekerja yang sudah menikah bisa punya waktu lebih banyak untuk di rumah, sehingga meringankan berbagai beban kerja domestik dan perawatan (domestic and care work).

Sekarang ini, beberapa negara mulai menginisiasi kebijakan pengurangan jam kerja. Setidaknya sudah belasan negara yang mulai menerapkan maupun menguji coba empat hari kerja per minggu, seperti Islandia, Jerman, Denmark, Belgia, Prancis, Inggris, Irlandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, dan lain-lain.

Lalu, bagaimana dengan negeri tercinta, Indonesia?

Di Indonesia, rata-rata jam kerja per minggu sudah 40 jam. Angka itu merupakan jam kerja terpendek kedua di Asia Tenggara setelah Timor Leste.

Tahun lalu, Kementerian BUMN mulai menerapkan empat hari kerja seminggu (40 jam kerja) lewat program compressed work schedule (CWS). Lewat skema ini, karyawan yang telah memenuhi syarat jam kerja mingguan sebanyak 40 jam dalam empat hari kerja bisa mengajukan libur selama tiga hari pada pekan yang sama.

Menerapkan sistem kerja empat hari seminggu bukan sekadar tren, tetapi langkah besar menuju kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna. Dengan jam kerja yang lebih singkat, pekerja punya lebih banyak waktu untuk keluarga, pendidikan, kesehatan, hingga mengejar mimpi-mimpi pribadi. Ini bukan hanya soal produktivitas, tetapi juga soal kebahagiaan dan kualitas hidup.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
DeepSeek: Revolusi AI dan Dunia yang Berganti Rupa
Next
Menjawab Tantangan Ekonomi yang Semakin Suram

Menjawab Tantangan Ekonomi yang Semakin Suram

Prospek ekonomi global terlihat suram

You May Also Like
Total
0
Share