Parlemen Korea Selatan berhasil memakzulkan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, Sabtu (14/12). Yoon Suk Yeol menjadi presiden ketiga dalam sejarah Korea Selatan yang lengser dari kekuasaan lewat jalan pemakzulan.
Selanjutnya, nasib Presiden Yoon akan ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam 180 hari ke depan, MK Korea Selatan akan memutuskan nasib Presiden Yoon. Sebelumnya, Majelis Nasional Korsel memakzulkan Yoon dengan dalih upaya pemberontakan.
Nantinya, MK Korea Selatan akan menggelar persidangan untuk membuktikan benar dan tidaknya tuduhan tersebut. Jika terbukti tak bersalah, ada peluang Presiden Yoon untuk dikembalikan pada jabatannya. Sebaliknya, jika terbukti bersalah, maka pemakzulannya menjadi permanen.
Selain lengser dari kursinya, Presiden Yoon juga berhadap-hadapan dengan penyelidikan polisi dan jaksa. Ia dan sejumlah pejabat pemerintahannya akan diperiksa perihal pengerahan tentara yang menduduki paksa kantor parlemen.
Perkara darurat militer
Di luar dugaan, pada 3 Desember lalu, Presiden Yoon mengumumkan darurat militer secara gegabah. Tindakannya itu telah memicu krisis konstitusional terburuk sejak Korea Selatan melangkah keluar dari kediktatoran militer pada 1980-an.
Meskipun hanya berlaku selama enam jam, keputusan tersebut telah memicu amarah publik sekaligus mengaktifkan ingatan rakyat Korea Selatan akan masa kelam kediktatoran.
Untuk diketahui, selama lebih tiga dekade, Korea Selatan berada di bawah kediktatoran militer yang silih berganti, dari rezim Park Chung-hee hingga rezim Chun Doo-hwan.
Darurat militer tak hanya ditentang oleh mayoritas anggota parlemen yang didominasi partai oposisi: Partai Demokratik. Di jalanan, rakyat Korea Selatan, yang didominasi kaum muda dan gerakan buruh, menggelar aksi protes tanpa henti.
Pada 7 Desember 2024, upaya pertama parlemen yang dimotori oposisi untuk memakzulkan Presiden Yoon menemui kegagalan. Sebab, suara yang menyetujui pemakzulan tak mencapai 200 suara. Partai pendukung pemerintah, Partai Kekuasaan Rakyat (PPP), menentang upaya pemakzulan tersebut.
Namun, aksi protes jalanan menuntut pemakzulan Presiden Yoon justru menggelinding luas. Menurut The Straits Times, ada jutaan orang yang terseret dalam aksi protes itu.
Yoon Suk Yeol, seorang jaksa yang populer karena membongkar skandal-skandal politik, memenangi pemilu pada 2021 dengan selisih sangat tipis melawan kandidat partai Demokratik, Lee Jae-myung.
Begitu berkuasa, Yoon membangun jalan politik reaksioner: menambah jam kerja, membungkam gerakan buruh, dan membatasi kemerdekaan berpendapat. Saat kampanye, dia berjanji akan menghapus Kementerian Perempuan dan Kesetaraan Gender.
Di bawah pemerintahannya, inflasi harga pangan tak terkendali. Pertumbuhan ekonomi juga stagnan. Saat perayaan Halloween pada 2022 lalu, yang menewaskan 150 orang, Yoon tak banyak berbuat.
Istri presiden, Kim Keon-hee, tersandung banyak skandal. Mulai dari dugaan suap, penyalahgunaan kekuasaan, penipuan akademik, dan manipulasi harga saham.
Jadi, sebelum kebijakan darurat militer itu, Presiden Yoon sudah tidak populer dan mulai menghadapi proses pemakzulan. Ruang geraknya makin menyempit karena politik anggarannya selalu diblokir oleh oposisi.
Nah, dalam situasi terpojok itulah, Presiden Yoon berusaha menghentikan krisis politik yang memojokkan dirinya lewat pemberlakuan darurat militer. Ia menggunakan dalih usang dalam politik Korea Selatan: tuduhan komunis dan kaki-tangan Korea Utara.
Dia menuding oposisi, yang terdiri dari Partai Demokratik, gerakan buruh, kaum pro-demokrasi, dan intelektual progresif, sebagai kaki-tangan Korea Utara yang sedang menyiapkan pemberontakan. Sebuah tudingan yang serampangan dan gegabah.
Proses pemakzulan
Begitu berhasil membatalkan darurat militer, oposisi Korea Selatan langsung bergerak cepat: menggelindingkan proses politik pemakzulan Presiden Yoon.
Awalnya, pada 7 Desember 2024, proses pemakzulan itu menuai kegagalan. Sebab, jumlah anggota parlemen yang menyetujui pemakzulan tak mencapai 200 orang. Saat itu, anggota parlemen dari partai berkuasa, PPP, tak menyetujui pemakzulan.
Meskipun separtai dengan Presiden Yoon, banyak anggota PPP kurang menerima keputusan gegabah pemberlakuan darurat militer. Karena itu, di tubuh PPP, ada aspirasi agar Presiden Yoon mundur teratur ketimbang harus diganjar pemakzulan. Namun, pada kenyataannya, Presiden Yoon kekeuh mau mempertahankan kekuasaan.
Pada 8 Desember 2024, proses penyelidikan terkait dugaan pemberontakan terkait kebijakan darurat militer mulai bergulir. Mantan Menteri Pertahanan, Kim Yong Hyun, menjadi tersangka dan ditangkap.
Lalu, pada 13 Desember 2024, tujuh orang anggota parlemen dari PPP menyatakan akan mendukung proses pemakzulan Presiden Yoon. Di kalangan partai berkuasa mulai terjadi perpecahan dan perbedaan sikap.
Akhirnya, upaya kedua untuk memakzulkan Presiden Yoon kembali menggelinding. Meskipun Presiden Yoon menyatakan akan melawan sampai akhir, tetapi proses pemakzulan ini tak terbendung.
Proses pemungutan suara untuk pemakzulan dilakukan kembali pada Sabtu (14/12). Dari 300 anggota parlemen, 204 anggota mendukung pemakzulan itu, sedangkan 85 anggota menolak, tiga anggota abstain, dan delapan suara tak sah.
Sejarah pemakzulan
Republik Korea, nama resmi Korea Selatan, sudah memiliki 13 presiden sejak merdeka tahun 1948. Meski kini Korea Selatan menjadi negara industri maju, ada tujuh presiden dan mantan presiden di negara itu yang divonis pidana dalam kasus pelanggaran HAM dan skandal korupsi hingga mereka dimakzulkan.
Terkait pemakzulan, selain Yoon Suk Yeol, presiden pertama Korea Selatan Syngman Rhee (memerintah 1948-1960) juga dimakzulkan. Rhee diturunkan karena skandal kecurangan pemilu. Ia satu-satunya presiden Korea Selatan yang dimakzulkan dua kali selama menjabat.
Pemakzulan pertama terjadi tahun 1925 ketika Rhee menjadi Presiden Sementara Republik Korea (1919-1945) dalam pemerintahan pengasingan di Kota Shanghai, China.
Sementara itu, sejumlah presiden Korea Selatan lain terjungkal akibat kudeta atau tersangkut kasus korupsi. Pada Desember 2016, Presiden Park Geun-hye yang menjabat sejak tahun 2013 dimakzulkan oleh Parlemen Korea Selatan. Keputusan itu diperkuat keputusan Mahkamah Konstitusi negeri itu di tahun 2017 yang berujung pada vonis bersalah dan pemenjaraan.
Park adalah putri mantan diktator militer Park Chung-hee. Park Geun-hye semula dinilai bersih dari korupsi. Tak dinyana dia diduga menerima puluhan juta dollar AS dari para chaebol (konglomerat Korea), termasuk grup usaha Samsung.
Yoon Suk Yeol, yang baru saja dimakzulkan adalah jaksa Kota Seoul ketika Park Gyeun-hye diproses pidana. Yoon terlibat dalam penuntutan Park Gyeun-hye. Ia berperan penting dalam pencopotan dan pemenjaraan Park Gyeun-hye.