Ironi Koperasi Merah-Putih

Ada sebuah kehangatan dalam kata “koperasi”. Ia terdengar seperti gotong royong yang dilembagakan, seperti celengan bersama untuk mimpi-mimpi kolektif. Di benak kita, terbayang warung sederhana milik bersama, simpan pinjam yang menolong tetangga dari jerat rentenir, atau usaha tani yang membuat petani berdaulat. Koperasi adalah gerakan, bukan perusahaan. Ia adalah denyut nadi, bukan program.

Maka, ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana raksasa untuk melahirkan 80.000 unit “Koperasi Merah Putih” di seluruh desa dan kelurahan, ada dua reaksi yang muncul bersamaan. Pertama, decak kagum atas ambisi yang luar biasa. Kedua, sebuah kerutan dalam di dahi yang berbisik, “Tunggu dulu, sepertinya ada yang keliru.”

Program ini, di atas kertas, terdengar seperti lagu perjuangan ekonomi kerakyatan. Bayangkan, 80.000 lembaga ekonomi baru lahir serentak, masing-masing berpotensi disuntik dana pinjaman hingga Rp3 miliar. Secara total, ini adalah program dengan potensi menggelontorkan dana hingga Rp240 triliun. Sebuah janji manis kemandirian ekonomi yang dikirim langsung dari istana ke balai desa. Namun, jika kita mengupasnya lebih dalam, kita tidak menemukan DNA koperasi di dalamnya. Kita justru menemukan cetak biru sebuah proyek.

Koperasi adalah gerakan dari bawah

Untuk mengerti kekeliruannya, kita harus kembali ke esensi. Apa itu koperasi? Bapak Proklamator dan Bapak Koperasi kita, Mohammad Hatta, sudah memberi definisi yang puitis sekaligus substansial: “Usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.” Kata kuncinya adalah “usaha bersama” dan “tolong-menolong”. Ia lahir dari kesadaran kolektif sekelompok orang yang merasakan masalah yang sama, lalu berinisiatif untuk menyelesaikannya secara bersama-sama.

Ini adalah roh yang sama yang diembuskan oleh para pionir koperasi dunia. Robert Owen di Skotlandia pada abad ke-19 membangun komunitas kooperatif bukan sebagai bisnis, tetapi sebagai antitesis dari kapitalisme industrial yang eksploitatif. Friedrich W. Raiffeisen di Jerman mendirikan credit union pertama karena melihat para petani miskin tercekik oleh lintah darat. Motonya adalah “self-help, self-governance, and self-responsibility” (swadaya, swakelola, dan swa-tanggung jawab).

International Cooperative Alliance (ICA) merumuskan prinsip-prinisp universal, di antaranya adalah:

  • Keanggotaan Sukarela dan Terbuka: Siapa pun boleh bergabung tanpa paksaan.
  • Pengendalian oleh Anggota Secara Demokratis: Satu anggota, satu suara.
  • Partisipasi Ekonomi Anggota: Anggota berkontribusi dan mengawasi modal.
  • Otonomi dan Independensi: Koperasi dikendalikan oleh anggotanya, bukan oleh pemerintah atau pihak luar.

Sekarang, mari kita letakkan cetak biru Koperasi Merah Putih di samping prinsip-prinsip luhur ini. Hasilnya adalah sebuah anomali. Koperasi Merah Putih tidak lahir dari rahim kesadaran kolektif warga desa. Ia lahir dari rapat kabinet dan instruksi kementerian. Ia tidak bersifat sukarela, melainkan dimobilisasi dengan target kuantitatif yang ketat. Pengurusnya tidak dipilih secara organik, melainkan seringkali ditunjuk untuk memenuhi formalitas. Ini bukanlah partisipasi, ini adalah mobilisasi. Ini bukan gerakan, ini adalah proyek.

Mencoba membangun koperasi secara top-down adalah sebuah kontradiksi. Itu sama seperti mencoba “memproyekkan” rasa solidaritas atau “menganggarkan” ketulusan. Koperasi adalah organisme sosial yang tumbuh, bukan mesin yang bisa dirakit.

Jalan tol korupsi berbungkus ekonomi kerakyatan

Aspek paling mengkhawatirkan dari program ini adalah skema pendanaannya. Dengan potensi perputaran uang Rp240 triliun, program ini sontak menjadi arena yang sangat basah dan menggiurkan. Mari kita jujur dengan data. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, menurut Transparency International, masih berada di angka 34 pada tahun 2024, menempatkan kita di peringkat 115 dari 180 negara. Ini adalah alarm kebakaran yang menyala terang benderang.

Studi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa dana desa adalah salah satu sektor yang paling rawan dikorupsi. Kini, bayangkan sebuah program raksasa yang tidak hanya melibatkan dana desa (yang 20 persennya dijadikan jaminan), tetapi juga kucuran kredit dari bank BUMN dalam jumlah masif, semuanya dijalankan dalam tempo yang sangat singkat. Pengawasan macam apa yang bisa efektif dalam kondisi seperti ini?

Ini adalah resep sempurna untuk sebuah bencana. Skema ini berpotensi menjadi lahan subur bagi para pemburu rente, makelar proyek, dan elite politik lokal untuk melakukan “bancakan” atau pesta pora. Pengadaan barang untuk 80.000 unit usaha, jasa konsultan, hingga proses pencairan kredit itu sendiri, semuanya adalah titik-titik rawan. Atas nama “kepentingan rakyat”, uang negara dan dana desa berisiko disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang dan konsolidasi politik.

Jika Bung Hatta masih hidup

Saya sering membayangkan, apa yang akan dikatakan Bung Hatta jika beliau melihat fenomena ini? Mungkin beliau akan tersenyum getir. Beliau akan melihat sebuah lembaga yang memakai nama “koperasi”, tetapi jiwanya telah dicabut.

Bagi Hatta, tujuan koperasi bukanlah sekadar unit usaha yang menghasilkan profit. Tujuan utamanya adalah Pendidikan. “Tujuan utama koperasi adalah untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya. Keuntungan memang diperlukan untuk perkembangan koperasi lebih lanjut, namun untuk mencapai keuntungan tidak perlu mengorbankan tujuan yang utama.” Koperasi adalah sekolah untuk membangun karakter mandiri, kerjasama, solidaritas, kejujuran, dan bertanggung jawab.

Dalam amanatnya tahun 1966 di Bandung dalam peringatan Hari Koperasi, Bung Hatta menyerukan bahwa koperasi akan mendidik seseorang untuk mampu menolong dirinya sendiri dengan kemampuannya sendiri secara bersama-sama dengan kehadiran orang lain.

Koperasi Merah Putih, dengan modelnya yang bergantung pada instruksi dan suntikan dana dari atas, justru mengajarkan hal sebaliknya. Ia menciptakan ketergantungan, bukan kemandirian. Ia mendorong mentalitas proposal dan proyek, bukan semangat wirausaha kolektif. Ia adalah struktur tanpa kultur, raga tanpa nyawa. Bung Hatta tidak pernah membayangkan koperasi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, melainkan sebagai wujud kedaulatan ekonomi rakyat itu sendiri.

Fondasi yang rapuh

Pada akhirnya, Koperasi Merah Putih adalah sebuah ironi. Ia adalah upaya menciptakan kemandirian dengan cara-cara yang menumbuhkan ketergantungan. Ia adalah usaha membangun ekonomi kerakyatan dengan metode yang sangat elitis dan sentralistik. Ia mungkin akan menghasilkan ribuan papan nama “koperasi” yang terpajang di kantor-kantor desa, tetapi ia tidak akan pernah menghasilkan “koperator”, yakni manusia-manusia yang berjiwa koperasi.

Maka, Koperasi Merah Putih bukanlah koperasi. Ia adalah badan usaha milik negara yang kebetulan ditempatkan di desa. Ia adalah sebuah monumen ambisius yang dibangun di atas fondasi yang rapuh, dengan risiko meninggalkan utang sosial dan finansial yang harus ditanggung oleh desa itu sendiri.

Sebab koperasi sejati tidak dibangun dengan instruksi dan dana triliunan. Ia lahir dari denyut nadi kebutuhan rakyat jelata yang menjadi anggotanya, tumbuh dari benih kepercayaan, dan mekar karena dirawat oleh tangan-tangan anggotanya sendiri. Koperasi lahir karena kesadaran rakyat biasa, bahwa mereka bisa bangkit, jika bekerjasama, tolong-menolong, dan manajemen yang partisipatif di bawah payung “usaha bersama”.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Analisis Strategis: PSN Papua dalam Cengkeraman Oligarki (2)

Analisis Strategis: PSN Papua dalam Cengkeraman Oligarki (2)

Di Brasil, proyek pertanian skala besar di wilayah Amazon telah menyebabkan

Next
Coba Bayangkan Jadi ‘Kelas Tak Berguna’, Terus Mau Ngapain?

Coba Bayangkan Jadi ‘Kelas Tak Berguna’, Terus Mau Ngapain?

Jujur, saya makin sering kepikiran

You May Also Like
Total
0
Share