Ngomongin tokoh-tokoh revolusioner yang pernah mengguncang dunia dan merontokkan tatanan kolonial, nama Frantz Fanon wajib masuk daftar.
Dia bukan sekadar intelektual yang jago di ruang diskusi, tapi juga pejuang garis depan yang ngalamin langsung pahitnya penjajahan. Fanon paket komplet: filsuf, psikiater, pejuang kemerdekaan, sekaligus penulis yang kata-katanya tajam menembus zaman.
Pemikirannya tentang rasisme, kolonialisme, kekerasan, dan pembebasan masih relevan bagi umat manusia. Tak hanya bangsa terjajah, tetapi juga mereka yang mengidap mental kolonial. Termasuk Indonesia.
Lahir untuk melawan
Frantz Fanon lahir pada 20 Juli 1925 di Martinique, sebuah pulau tropis yang indah tetapi sayang diubah secara paksa menjadi kebun belakang Prancis.
Dari kecil, Fanon udah ngerasain gimana jadi “warga kelas dua” di tanah kelahirannya sendiri. Orang Martinique dipaksa mengagumi budaya Prancis, seolah-olah semua yang berbau negeri itu lebih unggul daripada budaya mereka sendiri.
Tapi ada satu sosok yang membekas di hati Fanon kecil: Aimé Césaire, seorang penyair dan pejuang identitas kulit hitam yang juga jadi gurunya di sekolah. Césaire adalah salah satu founding father dari gerakan Négritude, sebuah gerakan sastra dan budaya yang berusaha membangkitkan kebanggaan pada budaya, identitas, dan filosofi orang Afrika. Dari Césaire, Fanon mulai sadar bahwa jadi hitam itu bukan kutukan. Ia juga tahu, penjajahan mental itu bahaya besar.
Tahun 1943, saat pernikahan saudaranya, Fanon kabur ke Dominika, yang kala itu jadi koloni Inggris. Ia bergabung dengan gerakan pro-sekutu saat Perang Dunia II.
Fanon sempat bergabung dengan tentara Prancis yang melawan Nazi di Perang Dunia II. Fanon berharap, ikut perang di pihak “baik” bakal bikin dia diterima setara sebagai bagian dari Prancis. Ternyata harapannya ambyar.
Di tengah medan perang, Fanon dan tentara kulit hitam lainnya malah diperlakukan kayak sampah sama tentara Prancis yang berkulit putih. Buat Fanon, itu tamparan keras. Bahkan setelah bantuin mereka bertahan hidup, dia tetap cuma “pribumi” di mata bangsa penjajah.
Seorang dokter revolusioner
Setelah perang, Fanon belajar kedokteran dan spesialisasi psikiatri di Prancis. Tapi Fanon bukan dokter biasa. Dia enggak cuma pengen ngobatin tubuh, tapi juga luka batin yang ditinggalkan oleh rasisme dan penjajahan.
Pengalaman paling berkesan buat Fanon adalah waktu bekerja di rumah sakit jiwa di Aljazair—koloni Prancis di Afrika Utara yang waktu itu lagi panas-panasnya melawan penjajahan. Pasien-pasiennya adalah rakyat Aljazair yang trauma karena kekerasan kolonial, penyiksaan, dan penghinaan berkepanjangan. Fanon jadi saksi hidup gimana penjajahan itu enggak cuma soal fisik, tapi juga soal penghancuran mental.
Dari sini, Fanon sampai pada kesimpulan penting: penjajahan itu racun yang bikin rakyat bukan cuma kehilangan tanah, tapi juga kehilangan harga diri dan jati diri. Mereka dipaksa malu jadi diri sendiri, dan dipaksa menganggap budaya penjajah sebagai standar kemajuan.
Topeng-topeng kolonial
Tahun 1952, Fanon menulis buku pertamanya, Black Skin, White Masks. Buku ini berasal dari disertasi doktoralnya, tapi ditolak mentah-mentah sama kampus Lyon karena dianggap terlalu politis dan meledak-ledak.
Disertasi itu sebenarnya curhatan Fanon tentang betapa sakitnya jadi orang hitam di dunia kolonial, termasuk di bangku kuliah kedokteran yang penuh rasisme halus. Daripada nangis di pojokan dan mengutuki kegelapan, Fanon memilih menerbitkannya jadi buku.
Di buku Black Skin, White Masks, Fanon bercerita panjang soal bagaimana orang kulit hitam diperlakukan enggak adil di Prancis. Bagi Fanon, rasisme dan perlakuan enggak manusiawi yang diterima orang kulit hitam membuat mereka jadi merasa rendah diri.
Masalahnya, dehumanisasi ini bukan sekadar soal dikata-katain atau dibeda-bedain, tapi sampai ke level eksistensial. Orang kulit hitam jadi susah buat sepenuhnya “diterima” di tengah masyarakat kulit putih. Mau ngomong Prancis sefasih apapun, sekolah setinggi apapun, ngikutin gaya hidup Eropa sampe hafal etiket makan keju yang ribet itu—tetep aja di mata orang putih: elu bukan “orang Prancis”, elu cuma “orang hitam yang kebetulan ada di Prancis”.
Dan Fanon bilang, inilah sumber penyakit mental buat orang kulit hitam. Identitas mereka gak pernah bisa lepas dari warna kulitnya. Kulit putih bisa jadi “manusia”. Titik. Tapi kulit hitam? Selalu pakai embel-embel: “Laki-laki hitam”, bukan sekadar “laki-laki”. Ada label yang nempel terus, kayak stiker harga di barang diskonan.
Jadi intinya, kata Fanon, rasisme kolonial tuh bukan sekadar kebencian antar ras. Ini soal bagaimana sistem kolonial membuat orang kulit hitam susah menganggap diri mereka manusia seutuhnya.
Melepas jas dokter demi revolusi
Tahun 1954, perang kemerdekaan meletus di Aljazair. Buat Fanon, ini titik balik. Dia sadar, ngobatin pasien satu-satu enggak ada gunanya kalau sumber penyakitnya, yaitu penjajahan, tetap dibiarkan. Dia mundur dari rumah sakit, lalu memilih bergabung dengan Front Pembebasan Nasional (FLN) dan terjun langsung ke perjuangan bersenjata.
Fanon bukan cuma angkat senjata, tapi juga jadi “otak” di balik propaganda revolusi. Dia menjadi bagian dari redaksi koran perlawanan: Al Moudjahid. Tulisan-tulisannya di media revolusioner FLN itu jadi semacam manual pembebasan. Dia mengecam keras elite lokal yang mau merdeka, tapi mentalnya masih mental penjajah—lebih mikirin jabatan daripada nasib rakyat miskin.
Lahirnya manifesto perlawanan
Akhir 1950-an, pemikiran Fanon kian matang. Pada 1959, ia menerbitkan buku berjudul “A Dying Colonialism”. Lewat buku ini, Fanon menuturkan soal revolusi Aljazair dari sudut pandang rakyat biasa yang udah capek dijajah.
Dulu, kata Fanon, budaya tradisional Aljazair sering dihina-hina sama kolonialis Prancis. Katanya kuno, kampungan, gak modern. Tapi pas revolusi meletus, budaya-budaya yang dulu direndahkan malah diangkat lagi jadi senjata perlawanan. Contoh paling ikonik adalah cadar perempuan Aljazair.
Kolonialis ngeliat cadar sebagai simbol keterbelakangan, tapi Fanon nunjukin gimana perempuan Aljazair justru pakai cadar buat nyelundupin senjata. Sekali dayung, dua pulau terlampaui: penjajah kena tipu, budaya tradisional jadi lambang perlawanan. Cakep, kan?
Di buku ini juga ada artikel legendaris Fanon, Unveiled Algeria, yang intinya menegaskan kolonialisme bukan cuma soal tanah dijajah, tapi juga soal pikiran yang dijajah. Revolusi bukan cuma merebut kemerdekaan fisik, tapi juga kemerdekaan mental—supaya rakyat gak kepincut jadi “Prancis wannabe” dan tetap bangga sama akar budayanya.
Salah satu kalimat Fanon yang nyelekit dari buku ini: punya senjata adalah satu-satunya cara biar kematianmu punya makna.
Dua tahun kemudian, Fanon kembali menerbitkan buku yang tak ubahnya manifesto perlawanan dunia ketiga. Judulnya: The Wretched of the Earth. Intelektual Prancis, Jean Paul Sartre, didaulat menulis kata pengantar untuk buku ini.
Fanon terang-terangan bilang: kekerasan kolonial cuma bisa dilawan dengan kekerasan revolusioner. Bukan karena rakyat suka kekerasan, tapi karena itu satu-satunya bahasa yang dipahami penjajah. Buat Fanon, kemerdekaan sejati bukan cuma soal ngibarin bendera negara yang baru merdeka, tapi soal membangun masyarakat yang benar-benar baru. Bisa merdeka dan mengibarkan bendera sendiri, tapi ekonominya tetap dikuasai bekas penjajah? Itu sama aja kolonialisme ganti kulit. Fanon kayak udah bisa baca masa depan. Cerdas dan visioner!
Dia juga mengingatkan bahaya “borjuis nasional”, alias elite lokal yang setelah merdeka malah sibuk memperkaya diri sendiri pakai sistem warisan penjajah. Buat Fanon, revolusi sejati harus dipimpin oleh rakyat miskin, bukan elite menara gading.
Mentalitas inlander
Salah satu pemikiran Fanon yang paling keren adalah analisisnya tentang luka psikologis kolonialisme. Dia bilang, penjajahan itu membuat rakyat bukan cuma kehilangan hak ekonomi dan politik, tapi juga dihancurkan mentalnya. Mereka dipaksa percaya bahwa mereka bodoh, primitif, dan enggak punya sejarah hebat. Akibatnya, setelah merdeka pun banyak rakyat bekas jajahan yang tetap minder dan menganggap semua yang “Barat” itu selalu lebih keren.
Inilah yang oleh Fanon disebut kolonisasi mental. Buat sembuh, rakyat harus berani menciptakan budaya baru yang lahir dari akar mereka sendiri―bukan sekadar jadi fotokopian budaya penjajah.
Wafat di usia muda
Setelah bolak-balik melawan kolonialisme, Fanon akhirnya harus berhadapan sama musuh yang gak bisa dia ajak debat atau tembak pakai senapan: leukemia.
Teman-temannya ngusulin dia berobat ke Amerika. Dokter-dokter Soviet juga menyarankan langkah yang sama. Tapi, bagi seorang pejuang anti-imperialis, berobat di negeri imperialis seperti minta disembuhkan oleh penjajah. Ironi yang enggak masuk dalam akal Fanon.
Tahun 1961, CIA yang selama ini menjadi musuh ideologis Fanon diam-diam membantu mengurus ia berangkat berobat di AS. Tapi, jangan dikira, ini bantuan gratis. Agen CIA berharap, sembari merawat sang revolusioner, bisa juga menggeledah pikiran-pikiran revolusionernya.
Tiba di AS, alih-alih langsung mendapat tindakan medis yang berarti, Fanon seperti disekap halus di hotel. Nanti, setelah leukimianya berlipat ganda, penanganan medis yang serius baru dikerjakan. Tapi itu sudah terlambat.
Dia mati muda pada usia 36 tahun, tepatnya pada 6 Desember 1961 di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat.
Namun, meski mati muda, pikiran-pikirannya justru jadi awet. Buku-bukunya jadi bacaan wajib buat gerakan pembebasan di Afrika, Asia, Amerika Latin, sampai Palestina. Di kalangan akademisi, Fanon jadi rujukan utama untuk kajian postkolonial dan teori dekolonialisasi.
Fanon dan Indonesia: masih relevan
Bagi kita, di Indonesia, ada banyak pikiran Fanon yang relevan banget.
Meskipun kita sudah merdeka sejak 1945, tetapi apakah kita sudah merdeka seutuhnya? Meminjam Fanon, jangan sampai Merah-Putih sudah berkibar, tetapi secara ekonomi dan budaya kita masih terjajah. Jangan sampai, kita bangga menepuk dada sebagai bangsa merdeka, sebagai kaum nasionalis tulen, tetapi mentalitas kita mengkerut di hadapan Barat. Selalu merasa minder dan rendah diri di hadapan bangsa-bangsa Eropa dan AS. Kita tak pernah membangun Indonesia dengan cara kita sendiri, tetapi melulu meniru dan menurut pada diktat-diktat asing.
Kita juga bisa belajar dari peringatan Fanon soal elite borjuis nasional. Dia udah ngingetin: jangan sampai setelah merdeka, kekayaan cuma muter-muter di tangan segelintir orang, sementara rakyat kecil tetap melarat. Kalau itu yang kejadian, berarti revolusi belum tuntas.
Jangan sampai, kita merasa sebagai bangsa merdeka, tapi pangan, air bersih, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal masih susah untuk kita miliki. Jangan sampai, kita merasa merdeka, tetapi tanah dan rumah kita begitu gampang dirampas oleh negara atas nama pembangunan.
Fanon dan Tan Malaka memang tak pernah bersua. Tapi di antara keduanya, ada tujuan akhir yang sama: merdeka 100 persen!