Simak fakta ini: film animasi buatan Indonesia ditonton lebih dari 5.5 juta orang hanya dalam waktu tiga minggu, atau sejak dirilis pada 31 Maret 2025. Jumlah penonton dipastikan akan semakin membesar alias jumbo, karena film ini juga bakal ditayangkan di 17 negara, termasuk Rusia dan Ukraina.
Bukan mimpi, ini kenyataan. Judul film ini Jumbo. Dan, ia bukan sekadar film. Ia juga penanda bahwa industri animasi lokal siap berkiprah di kancah dunia.
Diproduksi Visinema Studios dan disutradarai Ryan Adriandhy, Jumbo sukses besar. Ia bukan cuma memecahkan rekor sebagai film animasi terlaris sepanjang masa di Indonesia—melampaui Si Juki the Movie—tapi juga menjadi simbol kebangkitan yang telah lama ditunggu oleh para pelaku industri kreatif dalam negeri.
Cerita yang dekat dengan kehidupan keseharian
Salah satu kekuatan utama Jumbo adalah ceritanya yang membumi, tapi punya daya jangkau luas. Kita yang menonton film ini merasa memiliki kedekatan dengan pengalaman sehari-hari.
Tokoh utama film Jumbo adalah Don (disuarakan oleh Prince Poetiray), seorang anak yatim piatu yang tinggal bareng neneknya, Oma (mendiang Ratna Riantiarno). Don punya tubuh besar, dan sayangnya itu sering jadi alasan teman-teman sekolahnya buat ngejek. Mereka menjulukinya “Jumbo”. Tapi meski sering dibully, Don enggak patah semangat. Ia tetap kuat karena punya dua bekal penting: imajinasi yang liar dan kenangan manis tentang orangtuanya.
Don menyukai dongeng. Dan, karena itu, ia menyimpan dengan penuh sayang buku warisan kedua orangtuanya, Pulau Gelembung. Buku itu bukan cuma hiburan, tapi juga pengingat akan cinta dan kebersamaan keluarganya. Don sering banget membacakan kisah dari buku itu buat dua sahabat setianya: Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail).
Masalah mulai muncul waktu buku kesayangan Don dicuri Atta (Muhammad Adhiyat), anak iseng yang sering usil dan suka cari gara-gara. Don dan sahabat-sahabatnya sebenarnya sedang latihan buat tampil di pentas seni sekolah, membacakan dongeng dari Pulau Gelembung. Tapi Atta yang kesal karena enggak terpilih ikut pentas, malah menyabotase rencana mereka dengan mencuri bukunya. Don pun nyaris gagal tampil.
Tapi Don bukan tipe yang gampang menyerah. Bareng Nurman dan Mae, dia nekat memulai misi pencarian bukunya yang hilang. Di tengah petualangan itu, mereka bertemu Meri (disuarakan oleh Quinn Salman), seorang gadis misterius yang ternyata berasal dari dunia lain. Bukan sembarang anak, Meri adalah hantu kecil yang juga lagi mencari kedua orangtuanya.
Meri punya kemampuan luar biasa: bisa terbang, menghilang, bahkan memindahkan benda dengan pikiran alias telekinesis. Sejak Meri bergabung, petualangan Don dan kawan-kawan jadi makin seru dan penuh kejutan. Dari yang awalnya cuma soal pentas seni, cerita melebar ke dunia lain yang ajaib dan tak terduga.
Inilah kekuatan utama Jumbo: mengajak penonton melihat dunia lewat mata anak-anak—yang penuh warna, liar, imajinatif, dan menyentuh.
Ditambah kualitas visual yang ciamik dan musik yang menyentuh (Bunga Citra Lestari dan Maliq & D’Essentials!), Jumbo menyuguhkan pengalaman menonton yang komplet.
Perjuangan panjang
Butuh lima tahun dan lebih dari 400 animator untuk mewujudkan Jumbo. Ini bukan proyek asal jadi. Film ini digarap dengan telaten: dari gerak rambut tertiup angin, tekstur kain, sampai suasana kampung Indonesia yang akrab dengan coretan tembok dan toko kelontong.
Tak cuma animasinya yang niat banget, pengisi suara juga tampil prima. Anak-anak merasa terwakili, orang dewasa pun ikut tersentuh. Ini adalah bukti bahwa Indonesia sudah bisa memproduksi film animasi berkualitas tinggi, bukan cuma sebagai “alternatif”, tapi sebagai tontonan utama.
Pelajaran dari Jepang dan Korea Selatan
Visinema punya ambisi menjadikan Jumbo sebagai “evergreen IP”—karakter dan dunia yang bisa hidup dalam jangka panjang, tak berhenti di satu film. Mereka enggak ngarang. Jepang dan Korea sudah buktikan resep ini berhasil.
Lihat saja Jepang. Doraemon, Pokémon, bahkan Ghibli. Mereka bukan sekadar film. Mereka ekosistem. Mereka masuk ke TV, mainan, buku, taman hiburan, dan bahkan menjadi identitas budaya pop nasional.
Korea pun tak mau ketinggalan. Pororo dan Larva yang awalnya hanya ditonton anak-anak lokal, kini mendunia dan jadi komoditas ekspor budaya. Mereka tidak asal bikin film, tapi membangun karakter dan cerita yang bisa dijual dalam berbagai bentuk.
Indonesia harus meniru langkah ini. Kalau kita ingin animasi lokal berjaya, kita enggak boleh berhenti di layar lebar. Kita harus menciptakan dunia-dunia fiksi yang terus hidup dan tumbuh—baik dalam game, aplikasi, buku cerita, hingga serial streaming.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Agar Jumbo bukan jadi sekadar fenomena, Indonesia butuh langkah strategis. Ini bukan tugas Visinema saja. Ini kerja kolektif.
Investasi pada SDM dan pendidikan animasi. Banyak anak muda Indonesia jago gambar dan bikin animasi, tapi akses ke pendidikan dan pelatihan masih terbatas. Pemerintah bisa masuk lewat beasiswa, inkubator kreatif, atau kerja sama dengan studio besar.
Pertama, dukung studio kecil dan independen. Jangan cuma tunggu karya jadi. Pemerintah dan swasta bisa bikin dana pendampingan produksi, seperti yang dilakukan Korea lewat Korea Creative Content Agency (KCCA).
Kedua, bangun jaringan distribusi internasional. Banyak film bagus Indonesia mentok di bioskop lokal. Kita perlu jaringan ekspor konten budaya—layaknya K-Pop dan anime—yang aktif dan strategis.
Ketiga, berani bermain di pasar merchandise dan IP. Jangan takut jualan boneka, buku, game, atau bahkan NFT dari karakter lokal. Justru dari sinilah industri animasi bisa tumbuh sehat secara ekonomi.
Kita pasti bisa!
Kesuksesan Jumbo bukan sekadar statistik. Ini adalah penegasan bahwa anak bangsa bisa bikin karya hebat, menyentuh, dan laku secara komersial. Ini bukan soal ingin tanding sama Pixar atau Ghibli. Ini soal kita percaya pada diri sendiri, pada cerita-cerita kita, pada dunia yang ingin kita bangun.
Sudah saatnya Indonesia berhenti hanya jadi penonton dan konsumen. Jumbo telah membuka pintu. Tugas kita sekarang adalah memastikan pintu itu tetap terbuka, dan semakin banyak kreator lokal bisa masuk dan berkembang di dalamnya.