Jujur saja, kalau kita melihat panggung politik Amerika Serikat (AS) dari jauh, ceritanya sering kali terasa membosankan dan mudah ditebak. Uang besar melawan uang besar, atau politisi mapan melawan politisi mapan lainnya. Kita kerap disuguhi dengan politik dua kutub yang tak banyak bedanya.
Namun, dari Kota New York, kota yang dijuluki jantungnya kapitalisme global, cerita berbeda dan mengejutkan terjadi. Zohran Mamdami, seorang anak muda berusia 33 tahun, seorang sosialis demokrat, dan keturunan imigran, berhasil mengalahkan Andrew Cuomo, dalam pemilihan pendahuluan (primary) Partai Demokrat untuk pemilu wali kota New York.
Cuomo ini bukan orang sembarangan. Dia mantan gubernur, seorang “pemain lama” dari trah politik yang sudah mendarah daging di New York. Istri pertamanya adalah kerabat Robert Kennedy. Di atas kertas, ini pertarungan yang berat sebelah.
Tapi hasilnya, Mamdani menang telak di pemilihan itu. Cuomo, sang raksasa politik, terpaksa mengakui kalah dari anak muda yang beberapa tahun lalu namanya mungkin tidak dikenal siapa-siapa.
Tentu kita di sini jadi bertanya-tanya: kok bisa, apa resepnya?

Setelah saya coba telusuri, kemenangan Mamdani ini bukan kebetulan. Ini adalah hasil dari sebuah strategi kampanye yang cerdasnya minta ampun. Langkah yang mungkin bisa jadi inspirasi di mana pun, termasuk gerakan progresif di Indonesia.
Pertama, ia bicara soal perut. Di saat politisi lain sibuk dengan jargon-jargon besar, Mamdani fokus pada satu hal: krisis biaya hidup. Isu yang relevan bagi semua orang, dari sopir taksi hingga perawat. Dari kelas pekerja, pemilik usaha kecil, hingga imigran.
Solusinya pun konkret dan berani untuk ukuran AS: bus umum gratis, toko sembako milik pemerintah, penitipan anak gratis, dan perumahan terjangkau yang dibangun besar-besaran oleh pemerintah. Bagi kelas pekerja New York yang setiap hari pusing dengan tagihan, tawaran ini jelas masuk akal.
Kedua, kampanye media sosial (medsos) yang keren dan kekinian. Ketika banyak kaum kiri dan liberal hanya meratap di pojokan saat medsos, terutama TikTok dan Instagram, dikuasai kampanye kaum kanan ekstrem, Zohran justru berhasil memanfaatkan media ini dengan sebaik-baiknya.
Ia membuat video pendek, dengan kualitas gambar yang bagus. Pesannya sangat kuat dan membumi. Gaya bicaranya ringan dan renyah. Ia tahu, medsos adalah medium menyebarkan pesan yang sederhana, tetapi menancap. Bukan ruang untuk berkhotbah tentang bobot teori yang berat, bahasa yang ndakik-ndakik, dan berlusin istilah yang njelimet.

Ketiga, mesin relawan yang bergerak door-to-door. Kampanyenya tidak bergantung pada iklan mahal di TV. Kekuatan utamanya adalah puluhan ribu relawan yang turun ke lapangan, mengetuk pintu rumah warga, dan berbicara langsung. Mirip gaya blusukan, tapi dilakukan secara masif dan terorganisir. Ini membuktikan bahwa politik akar rumput masih bisa mengalahkan gelontoran dana dari para “cukong” politik.
Ia melakukan canvassing secara cerdas. Mengajak mereka berbicara, berbagi cerita, lalu meminta nomor kontak yang bisa dihubungi jika ceritanya nyambung.
Keempat, kecerdikannya menghadapi isu sensitif. Lawan-lawannya mencoba menjatuhkannya dengan isu klasik: ia dicap radikal, anti-Israel, dan mau membubarkan polisi. Di sinilah kelihaian Mamdani diuji. Ia cerdas, punya pengetahuan luas, dan punya kemampuan retorika mumpuni.
Alih-alih terpancing, ia menjawab dengan tenang dan logis. Saat ditanya soal hak eksistensi Israel, ia tidak terjebak. Jawabannya: Israel berhak ada sebagai negara dengan hak yang setara bagi semua warganya. Sebagaimana Palestina juga berhak untuk ada dan dihormati kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa. Sebuah jawaban yang pro-kemanusiaan tanpa harus terdengar ekstrem.
Soal polisi, ia menolak mentah-mentah label “mau membubarkan” atau “defund the police”. Argumennya sederhana: polisi itu penting, tapi mereka sekarang dibebani pekerjaan yang bukan tugasnya, seperti mengurus orang dengan gangguan jiwa. Bukankah lebih baik ada profesional kesehatan mental yang menangani itu? Logikanya diterima publik.
Kemenangan Mamdani bukan cuma soal dirinya sendiri. Ia beruntung lawannya adalah Cuomo, politisi yang kariernya tamat akibat skandal pelecehan seksual dan korupsi. Rakyat sudah muak. Mamdani datang sebagai antitesis dari semua itu: muda, segar, berintegritas, dan menawarkan solusi nyata.
Kisah ini belum selesai. Mamdani masih harus bertarung di pemilihan umum melawan wali kota petahana dan calon dari Partai Republik. Lobi-lobi raksasa pro-Israel dan pebisnis real estate pasti akan menggelontorkan dana lebih besar lagi untuk menjegalnya.
Namun, kemenangan di babak ini saja sudah mengirimkan pesan kuat. Mamdani berhasil mengubah pertarungan lokal menjadi sebuah fenomena. Ia memaksa panggung politik untuk kembali bicara soal nasib kelas pekerja, soal rakyat biasa, soal hak hidup untuk semua, soal keadilan, dan soal hak asasi manusia.
Namun, jangan kira Zohran tidak punya prinsip. Ia jelas memposisikan dirinya sebagai antitesa dari rezim Trump dan agenda MAGA-nya.
“Sebuah kota yang wali kotanya menolak fasisme Trump. Dan menghentikan petugas ICE menangkapi tetangga-tetangga kita,” katanya dalam pidato kemenangan, Rabu (25/6).
Pertarungan ini seolah menyodorkan cermin, memaksa orang AS memilih: mau lanjut dengan politik para cukong yang korup atau mencoba jalan baru yang digerakkan oleh rakyat biasa?
Dari jauh, kita bisa mengamati. Tapi kisah David melawan Goliath seperti Zohran Mamdani ini memberi sedikit harapan, bahwa perubahan itu, di mana pun tempatnya, memang selalu mungkin terjadi. Kita lihat babak selanjutnya.