Jujur, saya makin sering kepikiran. Tiap kali buka media sosial, lihat teman pamer gambar keren buatan AI. Juga tiap kali dengar soal ChatGPT yang bisa bikin skripsi dalam hitungan menit. Di satu sisi kagum, di sisi lain ada rasa was-was yang merayap di belakang leher. Jangan-jangan, kita ini sedang mempersiapkan pengganti kita sendiri?
Keresahan ini ternyata bukan cuma milik saya. Ada seorang sejarawan pintar, namanya Yuval Noah Harari, yang punya ramalan cukup untuk bikin kopi pagi jadi terasa pahit. Katanya, kalau dulu revolusi industri melahirkan kelas pekerja, revolusi AI sekarang ini akan melahirkan kelas baru: kelas tak berguna.
Lebih dari sekadar nganggur: Apa sih ‘kelas tak berguna’ itu?
Tunggu dulu, mari kita pahami ini baik-baik. Istilah “kelas tak berguna” terdengar sangat kejam, tapi ini bukan sekadar pengangguran biasa. Orang menganggur masih punya harapan bisa bekerja lagi. Tapi “kelas tak berguna” adalah kondisi di mana seseorang secara fundamental tidak bisa dipekerjakan (un-employable). Skill yang mereka miliki sudah usang total, dan tidak ada lagi pekerjaan baru yang bisa mereka pelajari yang tidak bisa dilakukan lebih baik oleh AI.
Bagi kita di Indonesia, ini adalah alarm yang bunyinya paling kencang. Kita selalu bangga dengan “bonus demografi”—jutaan anak muda produktif yang siap membangun bangsa. Pertanyaannya, bagaimana jika bonus itu justru berbalik menjadi beban demografi? Bagaimana jika jutaan anak muda kita, yang disekolahkan dengan susah payah, ternyata masuk ke dalam pasar kerja di mana ijazah dan keahlian mereka sudah tidak relevan lagi?
Anda tidak bisa lagi menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan pasar. Kontribusi Anda terhadap PDB hanya konsumsi. Itu pun kalau Anda punya gaji. Btw, kalau tak bekerja, darimana kita dapat gaji?

Dulu, penguasa butuh rakyat jelata sebagai tentara dan pekerja pabrik. Suara massa itu penting. Tapi jika perang dilakukan oleh drone dan pabrik dijalankan oleh robot, para elite tidak lagi membutuhkan kita. Kita bukan lagi aset, melainkan beban administratif yang harus dikelola, mungkin lewat program sejenis bansos seumur hidup. OMG!
Bayangkan betapa anehnya hidup dalam kondisi itu. “Kerja di mana?” adalah pertanyaan basa-basi paling standar di setiap kumpul keluarga pas Lebaran. Apa jadinya jika jutaan orang harus menjawab, “Enggak kerja. Dan kayaknya enggak akan pernah bisa kerja lagi.” Ini bukan cuma krisis ekonomi, tapi krisis identitas dan harga diri yang luar biasa.
Katanya manusia spesial, ternyata…
“Ah, dari dulu juga begitu,” mungkin ada yang bilang. “Mesin cuci muncul, tukang cuci enggak langsung punah semua. Selalu ada pekerjaan baru.” Dulu saya juga berpikir begitu. Kita selalu percaya bahwa manusia punya “sesuatu” yang spesial—kreativitas, intuisi, perasaan—yang enggak akan pernah bisa ditiru mesin.
Tapi Harari, dengan kejam tapi logis, membantah angan-angan itu. Jawaban ilmiahnya bisa diringkas jadi tiga prinsip sederhana. Pertama, makhluk hidup, termasuk kita, pada dasarnya cuma algoritma biologis yang disempurnakan alam selama jutaan tahun. Kedua, hitungan algoritma tidak peduli bahannya apa. Dua tambah dua hasilnya tetap empat, mau dihitung pakai sempoa kayu atau cip supercanggih. Jadi, ketiga, tidak ada alasan logis untuk percaya algoritma biologis (kita) bisa melakukan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilakukan algoritma non-biologis (AI).

Dulu kita menepuk dada, “Komputer enggak akan pernah bisa mengenali wajah sepintar bayi!” Nyatanya? Sekarang AI di ponsel kita bisa mengenali wajah lebih akurat dari kita sendiri. Dulu para ahli bilang, menyetir truk itu pekerjaan yang mustahil diotomatisasi.
Frank Levy dan Richard Murnane, dua profesor dari MIT dan Harvard, bahkan menuliskannya dalam studi mereka di 2004. Eh, baru 10 tahun kemudian, Google dan Tesla bukan cuma membayangkannya, mereka sudah membuatnya jadi kenyataan. Ternyata, kata “selamanya” di dunia teknologi itu sering kali artinya cuma “10 sampai 20 tahun lagi”.
Makin ahli, makin gampang diganti
Ada satu hal lagi yang bikin saya makin pusing. Ternyata, semakin kita terspesialisasi, semakin gampang kita digantikan. Coba bayangkan manusia purba. Untuk bertahan hidup, dia harus bisa segalanya: bikin tombak, berburu, membedakan jamur beracun, hingga bekerja sama. Membuat robot yang bisa melakukan semua itu rumitnya bukan main.
Sekarang bandingkan dengan kita. Ada yang ahli bedah jantung, ada yang jago bikin laporan keuangan, ada yang lihai jadi kasir Indomaret. Kita menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk jadi ahli di satu bidang yang sangat sempit. Justru inilah yang membuat kita jadi sasaran empuk. AI tidak perlu jadi manusia seutuhnya untuk menggantikan kita.
Faktanya, 99 persen dari totalitas kemanusiaan kita—kemampuan kita untuk tertawa, mencintai, bergosip, atau merasa galau—ternyata tidak dibutuhkan untuk sebagian besar pekerjaan modern. AI cukup lebih unggul di 1 persen keahlian teknis yang dibutuhkan, dan kita pun tersingkir.

Ketika mesin jadi tuan tanah baru
Ketika algoritma menyingkirkan kita dari pasar kerja, kekayaan dan kekuasaan akan menumpuk di tangan segelintir elite yang memiliki algoritma itu. Tapi ada skenario yang lebih aneh lagi: bagaimana jika algoritma itu sendiri yang jadi pemilik kekayaan?
Pikirkan ini: hukum kita sudah mengakui entitas fiksi seperti negara atau perusahaan sebagai “pribadi hukum”. PT Jarum atau Negara Republik Indonesia itu tidak punya tubuh dan pikiran, tapi mereka bisa punya tanah, uang, bahkan menuntut dan dituntut di pengadilan. Jika entitas fiksi seperti ini bisa jadi pemilik, kenapa algoritma tidak?
Bukan tidak mungkin, sebentar lagi algoritma bisa punya status hukum yang sama. Sebuah algoritma bisa menjadi pemilik sah perusahaan transportasi atau dana investasi raksasa, tanpa harus tunduk pada keinginan manusia manapun. Terdengar gila? Pikir lagi: sebagian besar bumi ini sudah dimiliki oleh entitas tak-manusia seperti negara dan korporasi. Bahkan 5.000 tahun lalu di Sumeria, sebagian besar tanah subur dimiliki oleh dewa-dewa khayalan seperti Enki dan Inanna. Kalau dewa saja bisa punya properti, kenapa algoritma tidak?
Lalu kita mau ngapain?
Ketika nilai ekonomi kita nol dan tuan tanah baru kita adalah program komputer, kita mau apa? Dalam studi di Oxford tahun 2013 oleh Frey dan Osborne, mereka memetakan pekerjaan mana saja yang paling mungkin lenyap dalam 20 tahun. Daftarnya panjang dan bikin deg-degan:
- Telemarketer dan agen asuransi: peluang diganti 99 persen
- Wasit olahraga: 98 persen
- Kasir: 97 persen
- Koki: 96 persen
- Pelayan restoran dan asisten hukum: 94 persen
- Pemandu wisata: 91 persen
- Tukang roti dan sopir bus: 89 persen
- Pekerja bangunan: 88 persen
- Satpam: 84 persen
- Bartender: 77 persen
- Tukang kayu: 72 persen
Yang katanya “aman” itu profesi seperti arkeolog (peluang diganti cuma 0,7 persen). Alasannya logis: pekerjaannya rumit, gajinya enggak seberapa, jadi enggak ada yang mau keluar modal besar untuk bikin robot arkeolog. Tapi pertanyaannya, memangnya berapa banyak dari kita yang mau jadi arkeolog?
Ramalan paling suram menyebutkan, kita yang tak lagi berguna ini akan diberi “kesibukan” berupa narkoba dan game realitas virtual (VR) yang supercanggih. Kita akan menghabiskan waktu di dunia fantasi yang jauh lebih seru daripada kenyataan di luar yang membosankan. Kalau sudah begini, apa sakralnya lagi jadi manusia? Apa bedanya kita dengan karakter NPC di dalam game?
Ini membawa saya ke pertanyaan yang paling menakutkan: nasib anak-anak kita. Kita sekolahkan mereka tinggi-tinggi, kita suruh ikut les ini-itu, tapi untuk apa? Apa yang mereka pelajari hari ini, kemungkinan besar sudah tidak relevan saat mereka berusia 40 tahun. Dulu hidup itu jelas: masa belajar, lalu masa kerja sampai pensiun. Pola itu sebentar lagi akan jadi barang rongsokan. Satu-satunya cara bertahan adalah terus belajar dan mengubah diri seumur hidup. Tapi, jujur saja, berapa banyak dari kita yang sanggup terus-menerus bertransformasi setiap sepuluh tahun?
Bahkan, ada skenario yang lebih ekstrem. Beberapa filsuf bilang kita tidak perlu pusing soal jadi pengangguran, karena begitu AI jauh lebih pintar dari kita, ia mungkin akan “mematikan” kita semua duluan. Entah karena takut kita berbuat macam-macam, atau karena kita dianggap hama yang menghalangi tujuannya yang agung—misalnya, mengubah seluruh alam semesta menjadi komputer raksasa untuk menghitung angka Pi sampai kiamat.
Entah mana yang lebih ngeri: hidup tanpa tujuan di dunia virtual, atau tidak hidup sama sekali. Yang jelas, setiap kali saya melihat kemajuan AI, saya tidak hanya melihat keajaiban. Saya juga melihat sebuah cermin, dan di pantulannya, saya bertanya-tanya: sebentar lagi, kita ini masih dibutuhkan, enggak ya?