Di kancah sepak bola Turki yang penuh gairah dan sarat muatan politis, stadion bukan sekadar arena olahraga. Ia adalah cerminan masyarakat, sebuah panggung di mana identitas, kelas, dan ideologi berbenturan.
Di Kota Istambul, tiga klub yang merajai Liga Turki atau Süper Lig, yakni Galatasaray, Fenerbahçe, dan Beşiktaş, bertakhta dengan identitas yang mengakar kuat dalam sejarah Turki.
Galatasaray adalah wajah Eropa, klub kaum elite terpelajar yang lahir dari sekolah mentereng era Ottoman. Di seberang selat, Fenerbahçe menjadi simbol kebanggaan kaum nasionalis-borjuis di sisi Asia, dekat dengan lingkaran kekuasaan dan aparatur negara.
Lalu, ada Beşiktaş Jimnastik Kulübü (BJK). Lahir paling awal pada 1903, klub ini berasal dari distrik kelas pekerja yang sederhana, menjadi rumah bagi kaum minoritas dan mereka yang merasa terpinggirkan. Beşiktaş adalah “tim rakyat” (halkın takımı). Juara 16 kali Süper Lig ini punya tradisi politik progresif. Besiktas selalu menjadi pusat dari perlawanan terhadap konservatisme maupun otoritarianisme.
Dari rahim yang penuh semangat perlawanan inilah, sebuah denyut nadi pemberontakan lahir pada tahun 1982. Mereka menamakan diri Çarşı.

Nama Çarşı (dibaca: Char-shee) berarti “pasar”. Sebuah nama yang jujur dan merakyat. Kisahnya berawal dari sekelompok anak muda yang sering berkumpul di pasar distrik Beşiktaş. Karena tak mampu membeli seragam orisinal yang mahal, mereka patungan membeli kaus tim bajakan. Dari sebuah pasar, mereka tumbuh menjadi gerakan suporter paling berpengaruh di Turki.
Ketika banyak kelompok ultras di Eropa terseret arus fasisme, Çarşı dengan sadar memeluk spektrum kiri. Mereka adalah sebuah payung besar bagi kaum anarkis, sosialis, çevreci (environmentalis), feminis, dan siapa pun yang muak dengan ketidakadilan. Identitas ini mereka pamerkan tanpa ragu, salah satunya dengan menyematkan simbol ‘A’ anarki pada logo mereka.
Slogan mereka, “Çarşı her şeye karşı!” (“Çarşı menentang segalanya!”), sering disalahpahami sebagai sikap anti yang membabi buta. Padahal, ini adalah deklarasi perang terhadap segala bentuk penindasan. Jauh sebelum dunia mengenal mereka, nadi aktivisme Çarşı sudah berdenyut kencang. Mereka menginisiasi kampanye donor darah, menggalang dana jutaan dolar untuk korban gempa bumi dahsyat di Van pada 2011, mengumpulkan buku untuk dikirim ke sekolah-sekolah desa, dan berdiri di garis depan membela para buruh tembakau Tekel yang mogok kerja. Bagi mereka, sepak bola dan tanggung jawab sosial adalah dua sisi dari koin yang sama.

Panggung dunia akhirnya menyorot mereka pada musim panas 2013. Ketika pemerintah berencana menggusur Gezi Park, salah satu ruang hijau terakhir di jantung Istanbul, untuk membangun replika barak militer Ottoman dan mal, sebuah protes kecil meletus. Protes ini dengan cepat berubah menjadi gelombang perlawanan nasional terhadap rezim Recep Tayyip Erdoğan yang semakin otoriter. Siapa yang berada di garis depan, menghadapi meriam air dan gas air mata? Çarşı!
Pengalaman bertahun-tahun berhadapan dengan polisi di jalanan membuat mereka menjadi tulang punggung perlawanan. Mereka datang dengan terorganisir: membawa helm, masker gas, kaca mata renang, dan perlengkapan P3K. Mereka mengajari para aktivis mahasiswa cara bertahan dari gas air mata dan membangun barikade. Dalam salah satu momen paling legendaris, mereka bahkan disebut-sebut merebut sebuah buldoser dan menggunakannya untuk menerobos barikade polisi.

Namun, keajaiban terbesar adalah saat Çarşı berhasil melakukan hal yang mustahil: menyatukan musuh bebuyutan. Di tengah kekacauan, mereka menginisiasi aliansi “Istanbul United”. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, suporter Beşiktaş, Fenerbahçe, dan Galatasaray berjalan bahu-membahu, saling melindungi, menyanyikan yel-yel “Istanbul, United, Omuz Omuza!” (Istanbul bersatu, bahu-membahu!). Tribun yang biasa menjadi medan perang kini melebur menjadi front persatuan melawan tirani Erdogan.
Tentu saja, peran sentral ini menjadikan Çarşı musuh nomor satu negara. Rezim Erdoğan membalas. Pada Desember 2014, sebanyak 35 anggota terkemuka Çarşı ditangkap dan diadili dengan dakwaan yang terdengar seperti lelucon kelam: mencoba melakukan kudeta militer untuk menggulingkan pemerintah, sebuah kejahatan dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup. Persidangan ini adalah upaya untuk membingkai perlawanan organik rakyat sebagai plot teroris. Meskipun pada akhirnya mereka dibebaskan, pesan dari penguasa sudah jelas: perlawanan tidak akan ditoleransi.
Kisah Çarşı adalah sebuah pelajaran berharga. Ia adalah bukti bahwa semangat perlawanan bisa lahir dari tempat yang tak terduga, bahkan dari riuh rendah tribun sepak bola. Mereka adalah suara hati nurani, pengingat bahwa di tengah menyempitnya ruang demokrasi, stadion bisa menjadi parlemen terakhir bagi rakyat. Di saat sepak bola modern semakin tergerus oleh uang dan kekuasaan, Çarşı adalah detak jantung yang terus berdegup kencang, membuktikan bahwa jiwa sejati permainan ini ada di jalanan, di tengah rakyat, dan dalam setiap teriakan menentang ketidakadilan.